Selasa, 30 Oktober 2012


Tinjauan Buku

 Penerbit Buku Kompas, 2010 - 514 halaman
History of the 1965 coup d'état in Indonesia.


Gerakan 30 September : Pelaku, Pahlawan dan Petualang
                                                  
Oleh : Ali Sodikin

Ada istilah yang mengatakan orang tua bicara sejarah, anak muda bicara arah. Sejarah, baik kegemilangan suatu peradaban atau kekelaman sebuah perjalanan bangsa adalah pelajaran. Kita akan cenderung keliru menentukkan arah perjalanan bangsa jika kita juga belum mampu mengurai sejarah secara benar dan obyektif.

Sejarah kelam kita yang terjadi pada tahun 1965 dengan meletusnya G-30 S/PKI adalah fakta yang menjadi titik point perjalanan Bangsa Indonesia hingga sekarang. Sebuah pelajaran yang terlalu mahal, terlalu dalam meninggalkan bekas luka, terlalu kelam. Kejadian sejarah yang tidak boleh terulang lagi untuk bangsa ini dengan alasan apapun.


Buku yang ditulis Julius Pour wartawan senior Kompas ini menggambarkan betapa perilaku politik dengan kekerasan adalah sifat kekanak-kanakan para politisi Partai Komunis Indonesia. Meski isi buku yang menggambarkan 13 tokoh-tokoh yang terlibat dalam pergolakan tahun 1965 ini berusaha tidak mengadili atau menghakimi siapapun, namun kita akan dapat memetik banyak pelajaran penting, menarik benang merah dan menentukan sudut pandang, mana tokoh yang masuk kategori pelaku, pahlawan dan yang mana tokoh petualang.

Buku yang diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas September 2010 ini mengurai satu persatu aktor-aktor utama dalam peristiwa kelam G-30 S/PKI yang terdiri dari 13 orang. Penulis sendiri mengakui dan meminta maaf dalam sebuah peristiwa misal yang bagaikan jaring laba-laba, membelit banyak pihak, beragam organisasi, dan sejumlah kepentingan, pengambilan 13 nama jelas sangat dan bahkan sama sekali tidak memadai. Tokoh-tokoh tersebut adalah : Aidit, Bung Karno, Heroe, Latief, Mangil, Nasution, Sarwo Edhie Wibowo, Soebandrio, Soeharto, Soepardjo, Untung, Nyoto, dan Omar Dani. 

Buku ini sangat enak  dibaca, meski penulis sendiri mengaku tidak mungkin dan tidak bisa ikut memberikan penilaian kepada 13 tokoh tersebut karena tidak berada di lokasi dan waktu itu terdapat beragam kendala untuk memahaminya. Metode yang dilakukan Julius Pour adalah dengan meniru Rhasomon, sejumlah pelaku diminta menceritakan kembali, atau lebih tepat mencatat ulang apa saja yang sudah pernah diceritakan oleh masing-masing tokoh, sekaligus yang dikatakan orang lain mengenai mereka.

Penulisan tokoh pertama di mulai dari Ketua Umum CC PKI (Central Comite Partai Komunis Indonesia) Dipa Nusantara Aidit. Nama aslinya adalah Achmad, sulung dari lima laki-laki bersaudara. Menurut Sobron adiknya, Achmad dilahirkan tanggal 30 Juni 1922, di Dusun Air Berutak, Desa Pangkal Lahang, Tanjung Pandan, Beliting, Riau Kepulauan. Ayahnya adalah Abdullah aidit, pegawai dinas kehutanan sekaligus pengurus perkumpulan keagamaan Nurul Islam, dan pernah menjadi anggota DPRS-Republik Indonesia Serikat, mewakili Belitung. Ibunya bernama Maelani, keturunan ningrat setempat. Namun Sebagai tokoh politik, dalam wawancara dengan majalah Intisari Aidit mengaku kelahiran Medan 30 Juni 1923.

Utuy Tatang Sontani, dalam bukunya Dibawah  Langit tak Berbintang (tahun 2001), melukiskan perkenalannya dengan Aidit sewaktu sama-sama bekerja di Kantor Poetera (Poesat Tenaga Rakjat, organisasi massa yang didirikan Jepang untuk menghimpun kegiatan masyarakat, membantu memenangi Perang Pasifik) cabang Bandung, “ suatu hari, kepala kantor mengeluarkan pemberitahuan, akan datang seorang tenaga baru dari Jakarta, disebutkan sebagai anak mas Bung Hatta.”

Keesokan harinya datang seorang pemuda bersemangat, kelihatan pada sorot matanya yang belotot, pada gerak-geriknya yang kaku kasar dan pada suaranya, datar lurus tanpa punya irama. Memperkenalkan diri dengan nama Dipa Nusantara, bisa dipastikan bukan nama pemberian orang tuanya, Dipa Nusantara jelas berarti meneriakkan semangat kepahlawanan.

Sesudah terlibat dalam kegiatan politik, Achmad yang dilukiskan sebagai anak mas Bung Hatta menjadi lebih radikal dan sekaligus semakin merah. Setelah namanya berubah, dia melengkapi dengan beragam langkah revolusioner, antara lain menjadi anggota ormas semimiliter nasionalis Barisan Banteng, Aidit kemudian membentuk faksi sendiri dengan sebutan Banteng Merah. Jadilah dia, secara bertahap, kemudian tumbuh menjadi merah, selaku aktivis komunis militan.

Perjalanan sejarah Aidit mempertemukan dengan Lukman dan Nyoto. Hakim Lukman kelahiran Tegal, tahun 1920 yang tumbuh dewasa di Kamp Tahanan Politik Digoel, mengikuti ayahnya, seorang Kyai pemimpin agama Islam yang dituduh sebagai komunis karena menjadi anggota Serikat Rakyat. Nyoto kelahiran Bondowoso, Jawa Timur tahun 1925, anak tokoh komunis asal Solo. Dengan demikian Nyoto sudah menjadi komunis sejak remaja.

Kerjasama mereka bertiga ; Aidit, Lukman dan Nyoto berlangsung sejak sama-sama mengelola majalah Bintang Merah di Yogyakarta semasa perang kemerdekaan. Kombinasi mereka bertiga sangat menarik, kerjasama yang baik, saling mengisi, sesuai dengan latar belakang masing-masing. Ketiga sosok inilah yang kemudian membangun sekaligus menata ulang organisasi PKI setelah compang-camping terimbas peristiwa Madiun. Mereka meluncurkan dokumen Djalan baru untuk Memenangkan Revolusi,Aidit menjabat Sekretaris Jenderal, MH Lukman Wakil Sekjen I, dan Nyoto Wakil Sekjen II.

Sejak tahun 1959, Aidit mengubah istilah Sekretaris Jenderal menjadi Ketua, sejak itu dia dipanggil dengan sebutan Kawan Ketua. Salam mereka tidak lagi membungkuk sebagaimana kebiasaan feodal, tetapi mengepalkan tangan ke atas. Dengan begitu Aidit berhasil membawa partainya semakin besar, melalui penataan agitasi, pengelolaan organisasi, sambil menempuh garis politik baru, yakni militansi massa secara damai berbuah pada Pemilu 1955, PKI meraih posisi nomor empat setelah PNI, Masjumi dan Nahdlatul Ulama. PKI berhasil meraih 6,1 juta suara atau 16,4 persen.

Mengapa Gerakan 30 September gagal ?, mungkin rumusan Bung Karno paling tepat dan mendasar, yakni : “ akibat keblinger-nya pemimpin PKI, lihai-nya kekuatan Nekolim serta keberadaan oknum-oknum tidak benar.” Tokoh keblinger paling utama tentu saja Aidit, Ketua Umum CC PKI, karena begitu saja mempercayakan gagasan melakukan operasi militer kepada SJam, ketua Biro Chusus PKI. Seorang warga sipil, bekas anggota laskar dalam perang kemerdekaan, tetapi selalu menyombongkan diri pernah ikut bertempur di daratan China (dan ternyata tidak pernah).

Aidit menemui ajalnya di Bojolali Jawa Tengah, nyawanya melayang di tangan anggota Brigif IV Kostrad yang dipimpin oleh Kolonel Jasir Hadibroto, sebelum ditembak mati, Aidit membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Menurut Jasir dokumen tersebut diserahkan kepada Mayor Jenderal Surjosupeno Panglima Kodam VII Diponegoro. Meski banyak yang meragukan keasliannya, Risuke Hiyashi, koresponden Asahi Evening News di Jakarta pernah menerbitkan dalam Koran Asahi edisi bahasa Inggris.

Kematian D.N Aidit secara rinci dijelaskan Mayor Jenderal (Purn) Jasir Hadibroto tanggal 29 September 1998, ketika diwawancarai Koran sore Suara Pembaharuan. Dimarkas Batalyon 444, disebuah sumur tua belakang rumah dinas Mayor Trisno Komandan Batalyon 444, Jasir membawa Aidit dan mempersilahkan mengucapkan pesan terakhir. Aidit berpidato dengan berapai-api, “daripada saya ditangkap lebih baik kalian bunuh saja”. Maka, dor, tubuh Ketua Umum CC PKI tersebut masuk kedalam sumur.  


Tokoh berikutnya adalah Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia ini tertuduh sakah satu tokoh yang dianggap terlibat pada peristiwa G-30 S/PKI. Tuduhan tersebut muncul hanya beberapa jam sesudah kejadian. Indikasi mengenai keterlibatan tersebut diawali dengan anggapan, Letnan Kolonel (Inf) Untung Sjamsuri telah melaporkan lewat surat mengenai kesiapannya dalam memulai pem-bersih-an. Surat disampaikan kepada Bung Karno, dititipkan lewat seorang anggota Tjakrabirawa, di Istora Senayan di tengah acara Pembukaan Munastek (Musyawarah Nasional Teknik) hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965.

Hal tersebut terungkap pada pengakuan Letnan Kolonel (KKO) Bambang Setijono Widjarnako, ajudan Presiden ketika diperiksa oleh Letnan Kolonel (CPM) Soegiarjo dan AKBP Azwier Nawie dari Teperpu ( Team Pemeriksa Pusat). Pernyataan ini yang kemudian tersebar melalui buku bertajuk The Devious Dalang, eye-witness report by Bambang Widjarnako (1974).   

Menurut Bambang Widjarnako, surat tersebut dilengkapi fakat-fakta sebagai berikut :
Pertama, adanya beberapa Jenderal yang telah melaporkan kepada Presiden mengenai rekannya yang tidak loyal. Kedua,Perintah Presiden kepada Untung tanggal 4 Agustus 1965, menugaskannya untuk melakukan penindakan. Ketiga, Perintah Presiden kepada Jenderal Sabur, Jenderal Sunarjo dan Jenderal soedirgo tanggal 23 September 1965 untuk segera mengambil tindakan terhadap para Jenderal tidak loyal. Keempat,sikap Presiden pada malam hari tanggal 30 September 1965 di Istora Senayan, yang bersemangat dan sangat gembira, sampai-sampai mengutip Bhagavad Gita, kisah yang tidak ada kaitannya dengan tema pertemuan malam itu. Kelima, tindakan Presiden merobek serta menghilangkan surat dari Untung tanggal 1 Oktober di Halim setelah surat dari dalam baju seragam Panglima tertinggi tersebut diambil oleh Letnan Kolonel (Tituler) Soeparto dari kediaman Ny. Ratna Sari Dewi.

Kedekatan Bung karno dengan Aidit memang terlihat jelas, ketika berpidato dalam peringatan 45 tahun PKI, bulan Mei 1965 Bung Karno mengatakan “ yo sanakku, yo kadangku. Yen PKI mati, aku melu kelangan  (dia kerabatku dan juga sahabatku. Kalau PKI mati, aku akan merasa kehilangan),”. Dan empat bulan kemudian, tanggal 13 September, Presiden dengan senyum lebar bukan sekedar memeluk Aidit. Ketua Umum CC PKI diberi anugerah bintang kehormatan sangat prestisius, Mahaputra.

Benedict Anderson bersama Ruth McVey menulis buku dalam tajuk A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971), mereka menyangsikan keterlibatan Bung Karno dengan alasan :

Pertama, bagaimana mungkin Presiden Soekarno menugaskan pembersihan para jenderal tidak loyal kepada Untung ? seseorang yangt baru lima bulan pindah tugas dari Semarang untuk menjabat Komandan Batalyon Tjakarabirawa di Jakarta ? Dengan demikian, baru lima bulan Bung Karno kenal, tanpa tahu latar belakang berikut kemampuannya untuk melaksanakan tugas menculik. Tugas rumit dengan resiko kegagalan sangat tinggi.

Kedua, mengapa Presiden malahan berada di Halim dan secara otomatis justru mendekati Lubang Buaya ? Apakah Bung Karno tidak sadar, mengungsi ke Halim mengandung resiko politis sangat besar ? Jika dia memang sebagai Dalang peristiwa, maka jelas dia adalah Dalang Bodoh, oleh karena langkah ke Halim bagaikan menggali lubang kuburnya sendiri.

Ketiga, mengapa dalam aksi penculikan melibatkan massa komunis yang baru saja selesai melakukan latihan militer dasar  di Lubang Buaya ? Kalau memang benar Bung Karno punya rencana meringkus para Jenderal tidak setia, sudah pasti dia menggunakan prajurit terlatih dan profesional, bukan para pemuda amatiran, yang belum pernah bertempur serta baru selesai mengikuti latihan baris-berbaris.   

Oleh karena itu, Anderson bersama McVey menarik kesimpulan, tuduhan bahwa Soekarno merencanakan kegiatan termaksud tidak masuk akal. Apalagi yang justru terjadi hari itu, tidak pernah ada massa komunis turun ke jalan. Atau terjadi pergolakan missal di tengah kehidupan masyarakat di seluruh Jakarta.

Apakah mungkin Bung Karno sudah mengetahui mengenai rencana kelompok Jenderal tidak loyal untuk tampil menantang kepemimpinannya ? Minimal sudah menduga mengenai kemungkinan tersebut, dan kemudian memutuskan untuk mendahului ? Apakah hanya untuk itu, Soekarno menjawab dengan mengambil keputusan nekad ? keputusan yang justru menunjukkan perasaan putus asa ?

Menurut catatan, belum pernah Bung Karno mengambil keputusan nekat. Dia selalu memutuskan segala sesuatu melalui pertimbangan cerdik, sesuai reputasinya sebagai politikus dengan track record pengalaman selama puluhan tahun. Tetapi, kebenaran ditentukan oleh sang pemenang, Begitu sebuah kalimat bersayap mengisyaratkan.

Dari 13 tokoh yang ada dalam buku setebal 514 halaman ini, Letnan Kolonel (Inf) Untung Sjamsuri adalah tokoh utama dan sekaligus pengerak dalam operasi militer G-30 S/PKI. Nama aslinya adalah Koesman, ketika remaja senang main bola, menjadi anggota Kaparen Voetball Club di Kampung Kaparen, Kelurahan Djajengan, Solo. Nama ayahnya angkatnya  Sjamsuri seorang buruh batik.

Raut tubuhnya agak pendek, cenderung gemuk. Namun nampak otot-ototnya semua penuh, menunjukkan bahwa dia memang perwira lapangan. Letnan Kolonel Infantri, NRP 11284, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Sebuah kesatuan khusus, terdiri dari pasukan pilihan yang direkrut dari keempat angkatan dan bertugas mengawal Presiden Soekarno. Untung dipindah ke Jakarta pada awal bulan Mei 1965 dari Semarang, dari Komandan Batalyon 454/Para. Sebuah pasukan elit Komando Militer VII Diponegoro, yang lebih populer dalam sebutan Banteng Raiders, disingkat BR.

Banteng Raiders dibentuk dari pengalaman tempur Divisi Diponegoro tahun 1950-an ketika menumpas gerombolan pengacau keamanan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Daerah opeeasi militer tersebut kemudian diberi nama wilayah Gerakan Banteng Nasional, disingkat GBN, sehingga pasukan khusus dengan kualifikasi antigerilya di sana juga diberi nama Banteng Raiders. Perwira militer yang pernah merintis karier Di BR adalah Achmad Yani, Pranoto Reksosamodra dan Ali Moertopo.

Namun Untung Sjamsuri eks perwira Banteng Raiders kelahiran Desa Sruni, Kedungbadjul, Kebumen Jawa Tengah 3 Juli 1926 tersebut, selama ini dikesankan kinerjanya kurang meyakinkan, bahkan sosok yang berani secara terbuka lewat siaran radio menyebut dirinya Ketua Dewan Revolusi ini diringkus massa di sebuah kebun tebu pada pertengahan Oktober 1965.

Setelah gagal memimpin operasi G-30 S/PKI dia berkelana selama sepuluh hari di Jakarta, kemudian Untung mencoba menyelamatkan diri dengan lari menuju daerah kelahirannya, Kebumen Jawa Tengah dengan naik bus malam. Mengenakan pakaian sipil dia mencoba berbaur dengan para penumpang. Menjelang bus masuk Tegal, ada pemeriksaan dan bus berhenti. Untung panik dan segera turun dari bus, melarikan diri. Sebuah langkah fatal dan memalukan sebab dilakukan oleh seorang komandan batalyon, dengan kualifikasi Raiders, yang sudah berkali-kali memimpin operasi tempur.

Tanggal 7 Maret 1966, Majelis Hakim dengan Ketua Letnan Kolonel CKH Soedjono Wirjohatmodjo SH menjatuhkan hukuman mati terhadap letnan Kolonel (INf) Untung Sjamsuri. Meski Gumuljo Penasehat hukumnya mengajukan Grasi kepada Presiden tanggal 16 Maret 1966, namun Untung menolak untuk mengajukan grasi.

Surat Untung menyatakan menolak untuk mengajukan grasi dilampiri tiga butir pernyataan :

Pertama, Gerakan 30 September tidak mempunyai tujuan lain, kecuali menyelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dari rencana coup Dewan Jenderal.

Kedua,Prolog gerakan 30 September, yakni rencana coup Dewan Jenderal, belum pernah diselesaikan. Untuk mendapatkan keadilan bagi semua pihak, Untung mengharapkan Presiden membentuk sebuah panitia yang akan memeriksa semua pihak terkait dalam Prolog.

Ketiga, Menolak tuduhan berniat menggulingkan pemerintah serta melakukan pemberontakan bersenjata. Oleh karena sesudah peristiwa meletus, Gerakan 30 September telah melapor, meminta restu dan menaati semua perintah Presiden.

Dalam surat pernyataan yang ditanda tangani di Tjimahi tanggal 18 Maret 1966, Untung secara kesatria menegaskan, dia bertanggung jawab, “ tentang pembunuhan terhadap para Jenderal dan seorang Perwira pertama, dalam sidang Mahmilub saya telah nyatakan, saya yang bertanggung jawab. Akhir Maret 1966, seiring dengan datangnya senja, dengan pengawalan superketat, Untung Sjamsuri berjalan menuju pintu gerbang, dibawa meninggalkan Inrehab Tjimahi.

Disebuah desa di luar Bandung Untung di eksekusi, sebelum peluru menyambar tubuhnya, Untung dengan mata tertutup kain hitam berteriak lantang, Hidup Bung Karno.


Nasution, tepatnya Jenderal Abdul Haris Nasution, adalah satu-satunya Perwira AD yang lolos dari penyergapan. 13 Februari 1967, Nasution secara terbuka menuduh Presiden Soekarno terlibat Peristiwa G-30 S/PKI, minimal mengetahui akan terjadi penculikan terhadap tujuh orang Jenderal Angkatan Darat.

Nasution sendiri tidak seputih kertas, dalam buku bertajuk Indonesia Under Soeharto (1987) tulisan nawas Mody yang diangkat dari disertasinya di Bombay University, India, menyebutkan,” tanggal 2 Oktober 1965, Atase Militer Kedutaan Besar AS di Jakarta Kolonel Willis Ethel berhasil menjalin kontak dengan Jenderal Nasution yang masih dalam persembunyian. Dia menanyakan apa rencana Nasution sekaligus menjanjikan kan bersedia memberikan bantuan.

Setelah memahami terjadinya kesulitan komunikasi antarpasukan dalam melakukan operasi penumpasan terhadap penculik, dia langsung mengirim bantuan 24 pesawat Walkie-talkie. Beberapa waktu kemudian, melalui pihak ketiga, menyusul datangnya bantuan senilai 400.000 dollar AS berupa obat-obatan berikut peralatan komunikasi.

Bantuan berikut dukungan secara tertutup tersebut diputuskan CIA berdasar laporan Konsul AS di Medan pukul 11.56 tanggal 2 Oktober 1965, bahwa  “ pihak militer Indonesia akan segera melancarkan operasi penumpasan PKI. Mengingat rumitnya persoalan serta luasnya implikasi selanjutnya, mereka nampaknya membutuhkan dukungan kita.”

Menurut Nawas Mody, dari berbagai indikasi yang kemudian terbuka, CIA agaknya memiliki sumber informasi sangat terpercaya  dalam pucuk pimpinan militer. Pada memo Inteljen CIA tertanggal 5 Oktober 1965, mereka memastikan Soekarno berikut dukungan para loyalisnya bakal terus melemah. Oleh karena itu, disimpulkan, for Army leaders it was now or never.

Julius Pour menggunakan ungkapan Belanda eenmalig, hanya sekali saja untuk menggambarkan kejadian bersejarah. Dimana Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo tampil. Yakni usaha kudeta G30S/PKI, yang berhasil dia gagalkan dan situasi itu kemudian menciptakan kelahiran Orde Baru. Pada masa itu selain Jenderal Soeharto dan Jenderal Nasution, Komandan RPKAD Kolonel sarwo Edhie Wibowo, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Kemal Idris dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal HR Dharsono sangatlah menentukkan peranannya.  

Dalam detik-detik paling menentukan inilah, Sarwo Edhie Wibowo lantas muncul di pentas sejarah secara pas. Dia langsung berbuat sesuai peran yang diperintahkan kepada dirinya. Dia segera membebaskan RRI, mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah dan bahkan terus dilanjutkan dengan menumpas aksi pembangkangan dari para pengikut Gerakan 30 September di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

Eenmalig, suku kata bahasa Belanda ini melukiskan segala sesuatu sering terjadi hanya sekali. Karena itu, setiap orang harus siap untuk bisa muncul dalam panggung sejarah dalam waktu dan saat yang tepat. Suku kata tersebut sangat cocok untuk melukiskan kehadiran Sarwo Edhie Wibowo. Khususnya dalam hari-hari panjang, pada saat penumpasan terhadap Gerakan 30 September serta perjuangan menegakkan Orde Baru.

Buku yang oleh penulisnya di akui sebagai usaha melacak serta mencari penyebab peristiwa 30 September semata-mata sebagai mencari jawaban atas kerisauan pribadi. Dengan banyak menemui dan bertanya kepada sebanyak mungkin pelaku serta membaca sebanyak mungkin publikasi dari segala macam pihak, “dalam usaha memecahkan setiap jigsaw puzzle, semakin banyak potongan kertas bisa ditemukan, semakin mudah puzzle tersusun gambarnya.

Sayangnya, dalam kasus Gerakan 30 september, bukan hanya masih banyak potongan kertas belum tersedia. Kenyataannya semakin diperburuk dengan beragam potongan kertas palsu atau rekayasa, yang ikut disebarkan ke tengah masyarakat. Bagaimana peran Jenderal Soeharto yang kemudian tampil memimpin penumpasan G30 S/PKI sampai menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia paska kejatuhan Soekarno ?.

Siapa Jenderal Soepardjo, yang datang jauh-jauh dari pedalaman Kalimantan meninggalkan posnya datang ke Jakarta. Jabatan resminya saat itu adalah Pangkopurgada (Panglima Komando Tempur Siaga Dua), markas komandonya di Bengkayang, Kalimantan Barat. Tugasnya memimpin penyerbuan ke Kuching Malaysia.

Apa peran Soebandrio yang dijuluki Durno dan Haji Peking. Letnan Kolonel (Udara) Heroe Atmodjo, Asisiten Direktur Produksi Inteljen DEPAU (Departemen Angakatan Udara) , sebagai dalang atau wayang ? Kolonel latief , kelahiran Madura 27 Juli 1926, gembong G30 S/PKI yang tertangkap pertama kali adalah Komandan Brigif I/Djaja Sakti , mengatakan Soeharto harusnya bersaksi atas peristiwa tersebut.

Buku ini juga memuat secara utuh kesaksian AKBP Mangil Martowidjoyo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa, tentang situasi Jakarta pada tanggal 1 Oktober dan bagaimana kondisi dan keberadaan Presiden Soekarno pada saat peristiwa G 30 S/PKI Meletus.

Buku yang ditulis bukan untuk mengorek luka lama bangsa ini, akan tetapi penulis berharap dengan semakin jernihnya sebuah fakta sejarah, kita dapat mengambil pelajaran agar arah perjalanan bangsa lebih baik. Para politisi dan tokoh-tokoh bangsa memiliki pandangan untuk menyelesaikan segala perbedaan dan kepentingan politik dengan cara lebih elegan dan dewasa. Kita sebagai bangsa harus menyadari bahwa peristiwa 30 September adalah sejarah kelam bangsa yang tidak boleh terulang lagi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukkan alamat email anda