Minggu, 28 Oktober 2012

Kapitalisasi Media Massa


KAPITALISASI MEDIA MASSA
Oleh : Ali Sadikin
Latar Belakang
            Media massa adalah kekuatan keempat dalam pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maka perannya sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kemerdekaan yang dimiliki insan pers di era keterbukan sekarang, media massa telah bebas dari kungkungan kekuasaan yang otoriter di masa lalu.
            Empat keunggulan media massa adalah, pertama berfungsi sebagai issue intensifier, yaknin media berpotensi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnnya. Media dapat memblow up realita menjadi isu sehingga demensi isu menjadi transparan. Kedua, conflict diminisher, media dapat meneggelamkan suatu isu atau konflik, secara sengaja media juga dapat meniadakan isu tersebut, terutama jika menyangkut kepentingan media tersebut, entah ideologis atau kapitalis. Ketiga, conflik resolution, media dapat menjadi mediator dengan menpilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesain konflik. Dan yang keempat adalah  media sebagai pembentuk opini publik.
            Dengan keunggulan tersebut media massa seharusnya berpihak kepada kebenaran universal, berpihak pada obyaktifitas berita, tetapi kenyataannya media massa, di mana saja sering terjebak pada pemihakan atau tidak berdaya pada kekuasaan. Di masa lalu, terutama di negara-negara otoriter, media tidak berdaya pada kekuasaan pemerintah. Di era sekarang, ketika keterbukan dan alam demokrasi sudah menang, media bukan tidak bebas dari belenggu kekuasaan, bedanya media sekarang terjebak pada para pemilik modal atau kapital. Maka yang terjadi adalah kapitalisasi media massa.
            Padahal, menurut Bill Kovach, ketua Committe of Concerned Journalist- lembaga Kewartawanan yang peduli kepada publik, setidaknya terdapat 9 elemen dalam media massa yang harus menjadi pedoman dalam memberitakan informasi kepada masyarakat, yaitu media harus mengungkap kebenaran dalam pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, menjujung tinggi disiplin verivikasi, menjaga independensi terhadap sumber berita, harus menjadi pemantau kekuasaan pemerintah, menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan masyarakat, berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan, harus menjaga berita tetap komprehensif dan proposional, dan yang terakhir media menulis berita berdasarkan hati nurani.

Ketergantungan Media Massa pada Iklan
Menurut Danny Schechter, wartawan investigasi British Journalism Review ( Juni, 2009 ). Media massa atau pers Amerika Serikat punya andil besar atas terjadinya krisis finansial di AS.  Ada hubungan dialektika antara krisis finansial dan kegagalan pers. Media Amerika dianggap tidak mampu memberikan peringatan dini kepada publik, pers AS juga jarang melakukan investigasi terhadap penyimpangan dalam bisnis finansial yang sudah berlangsung dari tahun 2002 sampai 2007. Padahal pers AS menikmati keuntungan miliaran dollar AS dari belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real estate. Tapi tidak ada sikap skeptis sedikitpun bagaimana uang itu diperoleh.
Walter Pincus, wartawan The Washington Post, menulis otokritik di Columbia Journalism Review ( Juni, 2009 ). Mengemukakan, manipulasi media massa mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan Presiden Bush. Banyak berita dari kegiatan public relations. Pers AS tidak kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk menggulingkan Saddam Hussien. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, perang Irak juga menguras keuangan negara ratusan milliar dollar AS.
Industri surat kabar AS juga mempunyai ketergantungan yang akut pada iklan. Awalnya, pendapatan media AS ditopang dari pelanggan dan iklan. Tetapi komposisinya dari masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard ( Newspaper Research Journal, 2004 ) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal dari pelanggan dan iklan dengan proporsi yang sama. Pada abad ke-20 industri surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk rendah, maka pemdapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi pendapatan dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan. Penambahan modal industri surat kabar juga datang dari dana publik.
Memasuki abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan mencapai lebih dari 80 persen. Absolutly power absolutly corrupt berlaku. Media tidak lagi bebas nilai dan merdeka dari para pemilik modal. Celakanya kita semua mengetahui oligarki para pemilik modal besar dan kekuasaan negara sangat sulit dipisahkan. Bahkan pemerintah dibanyak negara seperti tidak berdaya dan dikendalikan oleh corporate multi nasional. Perusahaan surat kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi menguasai pasar.
Ketergantungan media terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media, Robert Mc Chesney. Dalam bukunya The Problem of The Media : US Communication Politics In The 21 Century ( 2004 ), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang dianut AS, industri media menjadi salah satu industri yang penting. Namun tekanan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional.
Media massa elektronik, khususnya televisi ketergantungan terhadap iklan komersial yang notabene produk kapitalis  juga sangat dominan. Bagaimana kita sejak bangun tidur telah disuguhi iklan-iklan yang menawarkan produk-produk konsumsi. Iklan komersial adalah bagian dari dunia industri dan ekonomi perdagangan. Hant dan Seldon mengatakan, periklanan komersial sebagai media publik, dibuat sebagai informasi dan promosi penjualan untuk tujuan pasar.
Dalam masyarakat kapitalis, periklanan tidak dapat dihindari karena merupakan mata rantai kegiatan ekonomi kapitalis, dalam arti iklan adalah bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan perusahaan yang tidak lain adalah milik kapitalis. Kehadiran iklan komersial semata-mata membawa dan menyampaikan pesan kapitalis. Sehingga dapat dipastikan iklan komersial hanya lahir dari konsep-konsep kapitalis, karena itu pula iklan tetap hidup dan berkembang bersama dengan kapitalis.
Hal tersebut diatas menjadi linier ketika televisi sebagai media massa juga  sudah menjadi institusi kapitalis yang menjual jasa informasi, maka iklan komersial di televisi adalah bagian produk dalam kategori komersial yang merupakan sumber pendapatan utama bagi sebuah perusahaan pertelevisian.  Televisi menggantungkan hidupnya untuk mengait sebanyak-banyaknya sumber dari periklanan atau acara yang dapat diiklankan. Sebaliknya, dunia periklanan melihat televisi adalah media paling ideal untuk menyampaikan ide-ide iklan, karena televisi adalah media yang mempunyai kemampuan maksimal sebagai media audiovisual yang murah dan dimiliki secara umum atau mudah dijangkau oleh mayoritas masyarakat dari berbagai golongan.
Televisi juga adalah media massa yang merakyat dengan kemampuan publikasi yang maksimal, sehingga televisi juga disebut sebagai saluran budaya massa. Dengan melihat hal itu, maka periklanan dan pertelevisian saat ini adalah dua bidang yang sulit dipisahkan. Karena keduanya memiliki hubungan simbiosismutualistis, dimana keduanya saling menguntungkan.
Penguasaan televisi oleh kapitalis tidak hanya disebabkan karena televisi sendiri hidup dari kekuatan modal raksasa, karena membangun televisi membutuhkan investasi dengan jumlah yang sangat besar, tetapi bagaimana membangun kinerja program yang spekulatif dapat mengundang kapital baru untuk masuk dalam jaringan televisi. Kinerja ini berperan untuk menjadikan televisi sebagai total kapitalis.
Konsep total kapitalis ini maksudnya adalah televisi sendiri adalah kapitalis kemudian ia bekerja untuk mengundang kapital masuk dlam jaringannya melalui penanaman saham di televisi dan dana yang harus dikeluarkan untuk produk-produk iklan yang ditayangkan. Dari sini kemudian televisi bekerja untuk menghasilkan kapital baru.
Kekuatan kapitalis tidak terbatas pada bagaimana ia membangun modal dalam dunia televisi, namun sejauh itu kapitalis telah mengubah kekuatannya menjadi kekuasaan-kekuasaan baru dalam dunia pertelevisian swasta.

Keberpihakan Media pada kapitalisme
Lebih jelas Prof. Burhan Bangin, dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, mengatakan keperpihakan media kepada kapitalisme. Saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Dengan demikian media massa tidak bedanya dengan supermarket, pabrik kertas, pabrik uranium,  dan sebagainya. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berfikir untuk melayani kapitalisnya. Ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku dimasyarakat.
Keberpihakan media massa kepada masyarakat bersifat semu. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “ menjual berita “ dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Memang slogan-slogan tentang  visi media massa yang menggaungkan keberpihakan kepada kepentingan umum masih terdengar. Namun visi tersebut pada akhir-akhir ini tak pernah lagi menunjukkan jati dirinya. Padahal bentuk keberpihakkan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya  adalah visi setiap media massa.

Dosa-Dosa Media Massa
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bagaimana kapitalisasi media tidak dapat dihindarkan. Secara sistematis Paul Johnson, jurnalis dan ahli sejarah Amerika mengidentifikasi ada 7 dosa-dosa media massa ( seven deadly sins jurnalism ), yaitu :
1. Distorsi informasi.
Biasanya dilakukan wartawan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik opini maupun fakta, sehingga tidak lagi sesuai dengan sumbernya.
2. Dramatisasi fakta palsu.
Hal tersebut dilakukan wartawan atau media secara naratif ( dalam bentuk kata-kata ), penyajian fota/gambar dengan tujuan membangun citra negatif terhadap suatu pemberitaan.

3.  Mengganggu Privasi
Umumnya yang menjadi korban wartawan dalam hal peliputan ini adalah selebritis atau kaum elit yang tengah terlibat suatu masalah. Berbagai cara dilakukan media untuk mendapatkan informasi dengan mengesampingkan hak-hak privasi seseorang.
4.  Pembunuh Karakter
Praktek ini dilakukan untuk mengeksploitasi, menggambarkan atau menonjolkan sisi buruk narasumbernya. Padahal, seharusnya insan pers harus memuat berita secara berimbang dan obyaktif.
5.  Eksploitasi Sek
Praktek-praktek seperti ini banyak dilakukan wartawan dan media massa dengan cara menempatkan berita tentang wanita atau hal-hal yang berbau seksual di halaman depan suratkabar dengan tulisan bermuatan sek.
6.  Meracuni Anak-Anak
Praktek ini dilakukan dengan menempatkan figur anak-anak pada berbagai macam produk atau isu pemberitaan.
7.  Penyalahgunaan kekuasaan
Abuse of Power juga sering terjadi dikalangan pemegang kontrol kebijakan editorial pemberitaan media massa. Para pemegang kekuasaan editorial memuat berita untuk kepentingan  bisnis atau kelompok penguasa tertentu.




Daftar Pustaka
Burhan, Bungin, 2008. Sosiologi Komunikasi-Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Burhan bungin, 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta : kencana Prenada Media Group.
Setaiti. Eni.2005. Ragam Jurnalistik baru dalam Pemberitaan. Jogyakarta :CV Andi Offset.
Kompas. 28 juni 2009. hal 1-15- Pelajaran di tengah Prahara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukkan alamat email anda