KAPITALISASI MEDIA MASSA
Oleh : Ali Sadikin
Latar Belakang
Media massa
adalah kekuatan keempat dalam pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Maka perannya sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan kemerdekaan yang dimiliki insan pers di era keterbukan
sekarang, media massa telah bebas dari kungkungan kekuasaan yang otoriter di
masa lalu.
Empat keunggulan media massa adalah,
pertama berfungsi sebagai issue intensifier, yaknin media berpotensi
memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnnya. Media dapat memblow up
realita menjadi isu sehingga demensi isu menjadi transparan. Kedua, conflict
diminisher, media dapat meneggelamkan suatu isu atau konflik, secara sengaja
media juga dapat meniadakan isu tersebut, terutama jika menyangkut kepentingan
media tersebut, entah ideologis atau kapitalis. Ketiga, conflik resolution,
media dapat menjadi mediator dengan menpilkan isu dari berbagai perspektif
serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesain konflik. Dan yang keempat
adalah media sebagai pembentuk opini
publik.
Dengan keunggulan tersebut media
massa seharusnya berpihak kepada kebenaran universal, berpihak pada
obyaktifitas berita, tetapi kenyataannya media massa, di mana saja sering
terjebak pada pemihakan atau tidak berdaya pada kekuasaan. Di
masa lalu, terutama di negara-negara otoriter, media tidak berdaya pada
kekuasaan pemerintah. Di era sekarang, ketika keterbukan dan alam demokrasi
sudah menang, media bukan tidak bebas dari belenggu kekuasaan, bedanya media
sekarang terjebak pada para pemilik modal atau kapital. Maka yang terjadi
adalah kapitalisasi media massa.
Padahal, menurut Bill Kovach, ketua
Committe of Concerned Journalist- lembaga Kewartawanan yang peduli kepada
publik, setidaknya terdapat 9 elemen dalam media massa yang harus menjadi
pedoman dalam memberitakan informasi kepada masyarakat, yaitu media harus
mengungkap kebenaran dalam pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat,
menjujung tinggi disiplin verivikasi, menjaga independensi terhadap sumber
berita, harus menjadi pemantau kekuasaan pemerintah, menyediakan forum publik
untuk kritik maupun dukungan masyarakat, berupaya membuat hal yang penting,
menarik dan relevan, harus menjaga berita tetap komprehensif dan proposional,
dan yang terakhir media menulis berita berdasarkan hati nurani.
Ketergantungan Media Massa pada Iklan
Menurut
Danny Schechter, wartawan investigasi British Journalism Review ( Juni, 2009 ).
Media massa atau pers Amerika Serikat punya andil besar atas terjadinya krisis finansial
di AS. Ada hubungan dialektika antara
krisis finansial dan kegagalan pers. Media Amerika dianggap tidak mampu
memberikan peringatan dini kepada publik, pers AS juga jarang melakukan
investigasi terhadap penyimpangan dalam bisnis finansial yang sudah berlangsung
dari tahun 2002 sampai 2007. Padahal pers AS menikmati keuntungan miliaran
dollar AS dari belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real
estate. Tapi tidak ada sikap skeptis sedikitpun bagaimana uang itu diperoleh.
Walter Pincus, wartawan The Washington
Post, menulis otokritik di Columbia Journalism Review ( Juni, 2009 ). Mengemukakan,
manipulasi media massa mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan
Presiden Bush. Banyak berita dari kegiatan public relations. Pers AS tidak
kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk
menggulingkan Saddam Hussien. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, perang
Irak juga menguras keuangan negara ratusan milliar dollar AS.
Industri
surat kabar AS juga mempunyai ketergantungan yang akut pada iklan. Awalnya,
pendapatan media AS ditopang dari pelanggan dan iklan. Tetapi komposisinya dari
masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard ( Newspaper
Research Journal, 2004 ) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam
bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal
dari pelanggan dan iklan dengan proporsi yang sama. Pada abad ke-20 industri
surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk rendah,
maka pemdapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi pendapatan
dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan. Penambahan modal
industri surat kabar juga datang dari dana publik.
Memasuki
abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada
industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan
mencapai lebih dari 80 persen. Absolutly power absolutly corrupt berlaku. Media tidak
lagi bebas nilai dan merdeka dari para pemilik modal. Celakanya kita semua
mengetahui oligarki para pemilik modal besar dan kekuasaan negara sangat sulit
dipisahkan. Bahkan pemerintah dibanyak negara seperti tidak berdaya dan
dikendalikan oleh corporate multi nasional. Perusahaan surat
kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi
menguasai pasar.
Ketergantungan
media terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media, Robert Mc
Chesney. Dalam bukunya The Problem of The Media : US Communication Politics In
The 21 Century ( 2004 ), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan
terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang
dianut AS, industri media menjadi salah satu industri yang penting. Namun
tekanan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan
pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional.
Media
massa elektronik, khususnya televisi ketergantungan terhadap iklan komersial
yang notabene produk kapitalis juga
sangat dominan. Bagaimana kita sejak bangun tidur telah disuguhi iklan-iklan
yang menawarkan produk-produk konsumsi. Iklan komersial adalah bagian dari
dunia industri dan ekonomi perdagangan. Hant dan Seldon mengatakan, periklanan
komersial sebagai media publik, dibuat sebagai informasi dan promosi penjualan
untuk tujuan pasar.
Dalam
masyarakat kapitalis, periklanan tidak dapat dihindari karena merupakan mata
rantai kegiatan ekonomi kapitalis, dalam arti iklan adalah bagian yang tak
terpisahkan dari rangkaian kegiatan perusahaan yang tidak lain adalah milik
kapitalis. Kehadiran iklan komersial semata-mata membawa dan menyampaikan pesan
kapitalis. Sehingga dapat dipastikan iklan komersial hanya lahir dari
konsep-konsep kapitalis, karena itu pula iklan tetap hidup dan berkembang
bersama dengan kapitalis.
Hal
tersebut diatas menjadi linier ketika televisi sebagai media massa juga sudah menjadi institusi kapitalis yang
menjual jasa informasi, maka iklan komersial di televisi adalah bagian produk
dalam kategori komersial yang merupakan sumber pendapatan utama bagi sebuah
perusahaan pertelevisian. Televisi
menggantungkan hidupnya untuk mengait sebanyak-banyaknya sumber dari periklanan
atau acara yang dapat diiklankan. Sebaliknya, dunia periklanan melihat televisi
adalah media paling ideal untuk menyampaikan ide-ide iklan, karena televisi
adalah media yang mempunyai kemampuan maksimal sebagai media audiovisual yang
murah dan dimiliki secara umum atau mudah dijangkau oleh mayoritas masyarakat
dari berbagai golongan.
Televisi
juga adalah media massa yang merakyat dengan kemampuan publikasi yang maksimal,
sehingga televisi juga disebut sebagai saluran budaya massa. Dengan melihat hal
itu, maka periklanan dan pertelevisian saat ini adalah dua bidang yang sulit
dipisahkan. Karena keduanya memiliki hubungan simbiosismutualistis, dimana
keduanya saling menguntungkan.
Penguasaan
televisi oleh kapitalis tidak hanya disebabkan karena televisi sendiri hidup
dari kekuatan modal raksasa, karena membangun televisi membutuhkan investasi
dengan jumlah yang sangat besar, tetapi bagaimana membangun kinerja program
yang spekulatif dapat mengundang kapital baru untuk masuk dalam jaringan
televisi. Kinerja ini berperan untuk menjadikan televisi sebagai total
kapitalis.
Konsep
total kapitalis ini maksudnya adalah televisi sendiri adalah kapitalis kemudian
ia bekerja untuk mengundang kapital masuk dlam jaringannya melalui penanaman
saham di televisi dan dana yang harus dikeluarkan untuk produk-produk iklan
yang ditayangkan. Dari sini kemudian televisi bekerja untuk menghasilkan kapital
baru.
Kekuatan
kapitalis tidak terbatas pada bagaimana ia membangun modal dalam dunia
televisi, namun sejauh itu kapitalis telah mengubah kekuatannya menjadi
kekuasaan-kekuasaan baru dalam dunia pertelevisian swasta.
Keberpihakan Media pada kapitalisme
Lebih
jelas Prof. Burhan Bangin, dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, mengatakan
keperpihakan media kepada kapitalisme. Saat ini hampir tidak ada lagi media
massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti, media massa digunakan
oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin
penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Dengan demikian media massa tidak
bedanya dengan supermarket, pabrik kertas, pabrik uranium, dan sebagainya. Semua elemen media massa,
termasuk orang-orang media massa berfikir untuk melayani kapitalisnya. Ideologi
mereka adalah membuat media massa yang laku dimasyarakat.
Keberpihakan
media massa kepada masyarakat bersifat semu. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat,
namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “ menjual berita “ dan menaikkan rating
untuk kepentingan kapitalis. Memang slogan-slogan tentang visi media massa yang menggaungkan
keberpihakan kepada kepentingan umum masih terdengar. Namun visi tersebut pada
akhir-akhir ini tak pernah lagi menunjukkan jati dirinya. Padahal bentuk
keberpihakkan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya adalah visi setiap media massa.
Dosa-Dosa Media Massa
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bagaimana kapitalisasi media tidak dapat
dihindarkan. Secara sistematis Paul Johnson, jurnalis dan ahli sejarah Amerika
mengidentifikasi ada 7 dosa-dosa media massa ( seven deadly sins jurnalism ),
yaitu :
1. Distorsi
informasi.
Biasanya dilakukan wartawan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik
opini maupun fakta, sehingga tidak lagi sesuai dengan sumbernya.
2. Dramatisasi
fakta palsu.
Hal tersebut dilakukan wartawan atau
media secara naratif ( dalam bentuk kata-kata ), penyajian fota/gambar dengan
tujuan membangun citra negatif terhadap suatu pemberitaan.
3. Mengganggu Privasi
Umumnya yang menjadi korban wartawan
dalam hal peliputan ini adalah selebritis atau kaum elit yang tengah terlibat
suatu masalah. Berbagai cara dilakukan media untuk mendapatkan informasi dengan
mengesampingkan hak-hak privasi seseorang.
4. Pembunuh Karakter
Praktek ini dilakukan untuk
mengeksploitasi, menggambarkan atau menonjolkan sisi buruk narasumbernya.
Padahal, seharusnya insan pers harus memuat berita secara berimbang dan
obyaktif.
5.
Eksploitasi Sek
Praktek-praktek seperti ini banyak
dilakukan wartawan dan media massa dengan cara menempatkan berita tentang
wanita atau hal-hal yang berbau seksual di halaman depan suratkabar dengan
tulisan bermuatan sek.
6.
Meracuni Anak-Anak
Praktek ini dilakukan dengan
menempatkan figur anak-anak pada berbagai macam produk atau isu pemberitaan.
7. Penyalahgunaan kekuasaan
Abuse of Power juga sering terjadi
dikalangan pemegang kontrol kebijakan editorial pemberitaan media massa. Para
pemegang kekuasaan editorial memuat berita untuk kepentingan bisnis atau kelompok penguasa tertentu.
Daftar Pustaka
Burhan, Bungin, 2008. Sosiologi
Komunikasi-Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi komunikasi di masyarakat.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Burhan bungin, 2008. Konstruksi
Sosial Media Massa. Jakarta : kencana Prenada Media Group.
Setaiti. Eni.2005. Ragam Jurnalistik
baru dalam Pemberitaan. Jogyakarta :CV Andi Offset.
Kompas. 28 juni 2009. hal 1-15-
Pelajaran di tengah Prahara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
masukkan alamat email anda