Sabtu, 04 Agustus 2018

Menimbang Anies Capres Alternatif


Menimbang Anies Capres Alternatif

Oleh : Ali Sadikin

Sejak kemarin pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden sudah dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU RI), belum nampak satupun pasangan yang mendaftarkan diri. Tetapi publik sudah mahfum, ada dua nama besar yang diperkirakan akan bertarung dalam kompetisi politik tertinggi di Republik ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dua nama ini adalah seteru di pemilihan presiden 2014 lalu.

Dari banyak ruang diskusi, baik tingkat hotel mewah hingga warung kopi dengan sejumlah kawan-kawan aktivis gerakan. Tema pertarungan Pilpres yang sudah di depan mata paling banyak dibahas. Seperti biasa, banyak analisis yang muncul di diskusi tersebut. Salah satunya tentang, betapa tidak menariknya jika Pilpres 2019 ini hanya menjadi ajang rematch Joko Widodo vs Prabowo Subianto.

Salah satu senior menyatakan : “Dulu, saat Jokowi belum mengerjakan apapun untuk Republik ini, dia bisa menang. Saat ini, Jokowi sudah melakukan banyak hal sebagai Presiden, jadi mudah baginya untuk menang lagi”.

Dari sejumlah diskusi dan analisis yang muncul tersebut, ada yang menarik perhatian. Sebagian dari kita sebenarnya meyakini, bahwa  ada calon kuat selain prabowo yang bisa menang jika hadapkan dengan Jokowi : Anies Baswedan. Iya, Anies, Gubernur DKI Jakarta.

Sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies memang tak berhenti mendapatkan serangan bertubi-tubi secara politik entah darimana, meski jika ditelisik rata-rata mereka membawa simbol dari kubu Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang secara sederhana dianggap juga sebagai representasi dari pendukung Presiden Joko Widodo. Nyaris tidak ada kebijakan Anies yang baik dimata pendukung Jokowi (Ahok) ini. Para pendukung yang secara tersirat maupun tersurat, meminjam istilah Rocky Gerung, mereka telah dibutakan oleh fanatisme sempit ini hanya sibuk menyerang Anies dan Sandi, tanpa sedikitpun melihat kebaikan yang ada di dalamnya.

Ketika Anies menutup tempat prostitusi Alexis, pendukung Jokowi (Ahok) teriak itu langkah politik. Padahal Alexis adalah janji Anies saat kampanye, dan Ia tunaikan tak lama setelah Ia menjabat. Awal Tahun 2018, Anies melakukan ground breaking hunian DP 0 di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, para supporter Ahok meledek bahwa itu akan sulit terealisasi. Lalu, Ketika Anies hadir sendiri dan menyegel hampir seribu bangunan di Pulau Reklamasi, yang menjadi penyegelan terbesar sepanjang sejarah Jakarta, Ia lagi-lagi dituduh tengah mengambil langkah politik.

Anies adalah pemimpin politik, lahir dari sebuah proses politik. Kita semua meyakini bahwa langkah politiklah yang bisa membuat Jakarta bisa lebih baik seperti hari ini. Jadi, tak ada yang salah jika Anies mengambil langkah politik. Justru kita perlu bertanya jika Anies tak menjadikan langkah politk sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan keadilan di Jakarta.

Hari ini terpampang dengan jelas, bahwa ada semacam kekuatiran  bagi kubu Joko Widodo, apapun yang dilakukan Anies adalah antitesa keberhasilan  mereka. Karena itu label gagal harus selalu distempelkan ke Anies. Secara sederhana, para pendukung Ahok (yang notabene adalah pendukung Joko Widodo) selalu melihat keberhasilan Anies sebagai pengurang dari elektabilitas Jokowi.

Maka, gempur, jangan kasih ampun. Maka tak heran, pernah ada sebuah kicauan di twitter yang diposting oleh pendukung Jokowi, isinya sama : hoax bahwa Anies melanjutkan Reklamasi. Siapa yang nge-twit ?  sebut saja Addie MS, Gunawan Muhammad, Yunarto Wijaya, Chico Hakim, Saiful Mujani, dan banyak lagi.

Maka, dari pihak yang ingin perubahan,  membahas bahwa  Pilpres 2019,  bukan hanya  momentum untuk bertarung di Arena Pilpres. Tetapi saat yang tepat untuk mengalahkan Jokowi. Pilpres 2019 tidak sekedar  momentum untuk bertarung saja, tetapi bertarung untuk menang. Lalu bagaimana mewujudkannya? Kita harus sepakat, bahwa menghadirkan Antitesa Jokowi sebagai lawan adalah faktor kunci untuk merebut kursi Presiden.

Oposisi pemerintah perlu memikirkan, menimbang Anies Baswedan untuk menjadi lawan yang setara bahkan lebih kuat dari Jokowi. Anies memiliki semuanya, elektabilitas, pendukung yang kuat di akar rumput dan jiwa kepemimpinan yang tidak khianat. Ingat minggu lalu, Anies berkata “Saya tidak ingin menjadi daftar orang yang mengkhianati promotornya”. Anies hanya perlu dukungan dari Prabowo dan Parpol untuk menjadi penantang Jokowi.

Di akhir tulisan ini, mari kita sama-sama menunggu, apakah Prabowo akan rasional ingin Joko Widodo kalah, atau dia tetap ingin masuk arena dan membiarkan Jokowi melenggang dua periode. Kita tunggu saja. (-)

Senin, 30 Juli 2018

Ketua KSN : Jejak Politik dan Reformasi 1998

Ketua KSN : Jejak Politik dan Reformasi 1998

Oleh : Ali Sodikin


Sofian Effendi, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), melakukan serangan politik melalui siaran pers yang dikeluarkannya terhadap Gubernur DKI dan Pemprov DKI Jakarta. Isi siaran pers itu berisi ancaman untuk merekomendasikan Presiden agar memberhentikan Gubernur Anies jika keinginan mereka tidak diikuti. Di antara rekomendasi itu adalah meminta Anies mengembalikan jabatan para walikota yang sudah dirotasi dan mutasi beberapa waktu lalu, juga meminta sejumlah pejabat yang sudah mengajukan pensiun ke jabatan semula.

Ini gila. Kalau orang yang pikirannya sehat pasti berpikir rekomendasi Sofian ini ngawur sengawur-ngawurnya. Ke mana saja dia selama ini, saat Jakarta dipimpin Ahok. Hampir setiap bulan Ahok memecat orang tanpa kejelasan, tak berdasarkan bukti, asal Ahok tak senang, tapi KASN tak pernah bersuara. Ini sengaja atau ada apa?

Siapa sebenarnya Sofian Effendi ini? Mengapa tiba tiba garang? Dalam catatan digital, Sofian ini dosen yang lahir di Bangka, Sumatera Selatan pada 28 Februari 1945. Usianya kini 73 Tahun, haruanya sudah pensiun. Sejumlah catatan yang berserak di dunia maya menyebutkan, Sofyan punya peran signifakan untuk menghambat hadirnya Orde Reformasi 1998.

Catatan miring tentang Sofian di era reformasi begitu banyak. Tirto.id pada 20 April 2018 menulis bahwa Sofian pernah menyampaikan memo hasil rapat aktivis reformasi kepada Wapres B.J.Habibie, yang kemudian membuat Amien Rais, Arifin Panigoro, dll dituduh akan melakukan akar. Koran Media Indonesia edisi 22 Maret 1998 pun mencatat pengkhianatan Sofian ini.

Tak hanya itu, di Universitas Gajah Mada (UGM) Sofian ini juga dikenal sebagai “penjahat” reformasi. Hal ini dikuatkan tulisan Herman Saksono di blog pribadinya:

Pada masa reformasi tahun 1998, rektor UGM masa jabatan 2002-2007, Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA. pernah disebut sebagai pengkhianat agenda reformasi karena membocorkan pertemuan rahasia antara Amien Rais, Afan Gaffar, Ichlasul Amal, serta sejumlah tokoh reformasi lain. Sofian menulis memo tentang rapat tersebut kepada Habibie, yang waktu itu masih menjabat sebagai wakil presiden.

Sofian Effendi saat itu tergabung dalam sebuah pusat studi dan suatu ketika pusat studi itu mengumpulkan para intelektual dalam sebuah diskusi yang diadakan di Hotel Radisson, di Yogyakarta.

Dalam diskusi itu tercetus ide-ide untuk menyelamatkan bangsa, yaitu melalui reformasi. Diskusi di Hotel Radisson ini sifatnya rahasia. Tapi, Sofian yang saat itu mengikuti diskusi malah membocorkan catatannya kepada pemerintahan. Sejarah menyebutnya dengan Memo dari Sofian Effendi. Coba lihat, sejarah mencatat tindakannya dengan menyebut secara jelas namanya dalam nada buruk.

Dalam Memo itu terdapat informasi bahwa akan ada sejuta massa untuk penggulingan Soeharto yang digerakkan Amien Rais. Efek dari laporan ini adalah beberapa orang yang terlibat dalam diskusi itu dituduh makar oleh negara, seperti pengusaha Arifin Panigoro yang dianggap menyokong gerakan ini dan  intelektual Ichlasul Amal.

Saat itu, sebagai dosen PNS ala Orde Baru, Sofian mengambil langkah politik dengan menuliskan memo yang nyaris menggagalkan jalannya reformasi. Namun ketika gerbong reformasi bergulir, Sofian justru berada di atas Gerbong. Ia tengah menjalankan politik dua muka atau mungkin politik dasa muka. Atau pada dasarnya dia memang tak memiliki urat malu!

Dengan riwayat hidupnya ini makanya tak aneh kalau dia memang sedang bermain politik. Mungkin dia berharap bisa dapat perhatian Presiden Jokowi dan timnya, dengan menyerang Gubernur DKI, siapa tahu bisa dipilih jadi Menteri.

Ia pernah menjadi pengkhianat reformasi, dan bukan tak mungkin dia akan menjadi pengkhianat demokrasi. Orang seperti dia mestinya tak lagi memegang jabatan apa pun di negeri ini, apalagi sepenting KASN.

Sofian Efendi sesungguhnya penumpang gelap reformasi, yang bergerak karena angin politik. Ia menjadi ancaman nyata demokrasi kita.(-)