Senin, 05 Desember 2011

Membangun Opini Publik Meraih Kemenangan Politik



0leh : Ali Sadikin

Opini Publik

Opini publik berasal dari bahasa latin, opinari berarti berpikir atau menduga, publicus artinya milik masyarakat luas. Kata opinion sendiri mengandung akar kata onis yang berarti harapan. Dalam bahasa Inggris opinion erat hubungannya dengan option dan hope yang juga berasal dari bahasa latin optio yang artinya pilihan atau harapan.  Opini publik menyangkut dugaan, perkiraan, harapan dan pilihan yang dilakukan banyak orang.

Obyek ini sangat penting karena sifat komunikasi yang dilakukan  menyangkut manusia dalam kedudukannya sebagai individu  maupun bagian dari masyarakat secara luas. Hubungan yang dilakukan oleh negara di manapun di dunia tidak lepas dari munculnya opini publik di masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam konteks demokrasi pada akhirnya harus mempertimbangkan aspek opini, persepsi, pendirian dan sikap publik.

Istilah opini publik berdasar latar belakangnya memang sangat kental dengan wilayah dan peristiwa-peristiwa politik. Pakar komunikasi mengidentifikasi sejarah kehadiran konsep tersebut di mulai di Eropa, khususnya Inggris dan Perancis pada pertengahan abad ke -18. Para penguasa pemerintah di berbagai penjuru dunia di ketahui sangat berkepentingan dengan opini publik, “anyting said aloud and heard by anyone” (siapapun akan mendengar pernyataan yang nyaring/keras).

Kondisi tersebut didasarkan oleh pandangan bahwa pemerintah demokratis wajib menjalankan kehendak rakyat, sementara itu rakyat sendiri secara luas sering memilih untuk diam, sehingga opininya sering tidak diketahui secara jelas. Untuk itulah lahir lembaga-lembaga yang sering mengakui bahwa kehadirannya tak lebih untuk menyuarakan kehendak rakyat, atau menyampaikan suara rakyat. Semacam organisasi sosial politik, keagamaan, mahasiswa dan media massa.

Membangun Opini, Memanage Isu

Memahami opini seseorang apalagi publik bukan pekerjaan yang mudah, RP Abelson merumuskan molekul opini ada tiga unsur, yakni :
  1. Belief (kepercayaan tentang sesuatu)
  2. Attitude ( apa yang sebenarnya dirasakan seseorang)
  3. Perception (persepsi)

Fakta di lapangan pengaruh belief dan attitude tidak otomaticly akan menjadikan apa yang dinyatakan seseorang melalui pernyataan akan sama. Ternyata tidak banyak orang yang dapat mengungkapkan opininya sesuai dengan sesuatu yang dipercayai atau apa  yang sebenarnya dirasakan, terutama pernyataan yang ditujukan kepada khalayak luas. 

Pernyataan yang tidak konsisten ini tercatat luas dalam berbagai sikap masyarakat, misalnya orang Amerika kulit putih, jika ditanya, selalu akan menyatakan bahwa orang negro sama baiknya dengan orang kulit putih, tetapi dalam memilih tempat tinggal mereka akan selalu menghindarai tinggal berdekatan. Seorang mahasiswa apalagi aktivis jika disurvei akan menyatakan penguasa dan pengusaha (konglomerat) mengisap keringat rakyat. Beberapa bulan kemudian setelah lulus, dia bekerja pada salah satu dari mereka yang belum lama di kritiknya.

Persepsi

Maka akar dari opini sebenarnya adalah persepsi. Persepsi ditentukan oleh faktor :
  1. Latar belakang budaya.
  2. Pengalaman masa lalu.
  3. Nilai-nilai yang dianut.
  4. Berita-berita yang berkembang.

Faktor satu sampai tiga akan membentuk pendirian (attituted) seseorang. Akan tetapi seperti di jelaskan diatas pendirian tidak atomatis mampu membuat seseorang jujur atau berani menyatakan opininya, terutama ke masyarakat luas atau lebih banyak memilih diam terhadap kondisi yang ada.

Pendirian sering juga disebut sebagai sikap, yang merupakan opini yang masih tersembunyi di dalam batin seseorang (Latent Opinion). Masih banyak orang yang menyembunyikan opininya karena manusia adalah mahluk sosial. Mereka melakukan hal tersebut semata-mata untuk menjaga relasinya dengan orang lain disekitarnya. “Attitude is the feeling one has for oneself.”
Memanage Isu dengan Agitasi dan Propaganda

Akan tetapi pendirian (attitude) akan membentuk persepsi, persepsi akan membangun opini. “What the individual says or put in a questionnaire”, pendirian yang diungkapkan dalam bentuk apapun (verbal, bahasa tubuh, symbol, raut muka, ekspresi, warna, pakaian, ruang, waktu) di sebut opini.

Opini individual akan berkembang menjadi konsensus bila masyarakat dalam segmen tertentu memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Kesamaan itu bisa berupa kesamaan kekecewaan, kegembiraan, atau pengalaman emosional lainnya. Konsensus yang sudah matang dan menyatu dalam masyarakat itulah yang di sebut opini publik.

Persoalannya adalah untuk membangun konsensus membutuhkan waktu dan juga tergantung banyak unsur, seperti emosi, tekanan dari luar, dan pengaruh berita-berita yang berkembang. Di sinilah waktu perlunya menajemen isu dengan melakukan  agitasi dan propaganda. Tujuannya adalah agar tercipta konsensus yang cepat dan opini publik terbentuk sesuai dengan agenda dan kemauan politik  yang menjadi target kita.

Manajemen isu sesungguhnya mengenai kekuasaan. Jika kita sebagai individu atau organisasi ingin membangun opini publik dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik, kita harus memiliki kekuasaan berdasarkan ide yang kita ambil. Kita dapat mengubah kebijakan masyarakat karena kita mampu menawarkan alasan yang masuk akal untuk menjustifikasi posisi atau kebenaran menurut kita. Kondisi tersebut harus diselaraskan dengan kepentingan publik, membangun hubungan yang efektif dan saling menguntungkan dan meningkatkan kepentingan komunitas.

Upaya proaktif mengelola gagasan, isu-isu, tren atau peristiwa potensial perubahan pendirian, persepsi dalam rangka membangun opini publik yang tujuannya untuk mempengaruhi dan merubah kebijakan publik atau tujuan politik kita itu yang disebut manajemen isu. Isu muncul ketika ada ketidaksesuaian antara lingkungan atau pengharapan publik dengan kenyataan (kebijakan pemerintah), juga karena perubahan kebijakan, disharmoni dan sebagainya. Isu bisa meliputi masalah, perubahan, peristiwa, situasi, kebijakan atau nilai.   

Mengelola isu dilakukan dengan melakukan penelitian, monitoring, mengidentifikasi, menganalisis dan akhirnya membuat langkah-langkah strategis. Menyimpulkan isu dan membangun opini publik yang semassif mungkin.

Agitasi dan Propaganda

Berasal dari bahasa latin, Agitare yang berarti bergerak, menggerakkan, dalam bahasa Inggris disebut Agitation. Agitasi beroperasi menggerakkan khalayak ( rakyat, anggota, komunitas) kepada suatu gerakan terutama gerakan politik. Upaya menggerakan massa dengan lisan atau tulisan, dengan cara merayu, mempengaruhi, merangsang , membangkitkan emosi khalayak menuju satu opini bersama dan pada akhirnya menjadi opini publik.

Agitasi dimulai dengan membuat kontradiksi atau pertentangan dalam masyarakat  dan menggerakkan khalayak untuk menentang kenyataan hidup yng dialami selama ini (penuh ketidakpastian dan penuh penderitaan) dengan tujuan menimbulkan kegelisahan dikalangan massa. Kemudian rakyat digerakkan untuk mendukung gagasan baru atau ideologi baru dengan menciptakan keadaan baru.

Agitasi juga berusaha agar khalayak bersedia memberikan pengorbanan yang besar dan bersedia mengorbankan jiwa untuk tujuan mewujudkan cita-cita politik. Dengan agitasi seorang pemimpin mempertahankan kegairahan pengikutnya untuk memperoleh kemenangan, dan diikuti usaha sistematis dalam rangkaian tujuan.

Ada pendapat bahwa agitasi adalah perbuatan negative, karena sifatnya menghasut, mengancam, menggelisahkan dan membangkitkan rasa tidak puas dikalangan publik serta mendorong adanya pemberontakan atau perlawanan.
Orangnya disebut agitator, orang yang berusaha menimbulkan ketidakpuasan, kegelisahan atau pemberontakan dan perlawanan orang lain. Ada agitator yang sikapnya selalu gelisah dan agressif, dan mampu menggerakan orang lain, baik melalui ucapan maupun tingkah lakunya. Sebaliknya ada juga agitator yang lebih tenang dan cenderung pendiam, tetapi mampu mempengaruhi, membentuk atau membina dan membangun opini publik serta menggerakkan publik melalui ucapan atau tulisannya.

Propaganda adalah upaya merayu opini publik dengan mengemukakan banyak gagasan atau pikiran secara mendalam kepada sedikit orang. Suatu kampanye politik  yang dengan sengaja mengajak, membimbing, mempengaruhi, membujuk, merayu oarang secara sistematis agar orang lain menerima pandangan, ideologi atau nilai. Kata lain adalah usaha individu atau individu-individu yang berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok individu lainnya dengan sugesti

Propaganda dilakukan dalam bentuk pendidikan kelas atau ceramah-ceramah yang jumlah pesertanya sangat terbatas atau terpilih. Para pengikutnya harus mamapu menggalang beberapa ribu pengikut baru yang diharapkan. Kharakteristinya yaitu satu-kepada-banyak ( satu propagandis menggalang banyak pengikut).

Istilah propaganda dari bahasa latin propagare yang berarti menyemai tunas suatu tanaman. Orang melakukan kegiatan itu disebut propagandis. Seorang propagandis harus yang memiliki kemampuan menciptakan suasana yang mudah kena sugesti (suggestible). Suasana itu sangat ditentukan kecakapan propagandis dalam mengsugestikan, menyarankan, mempengaruhi, membujuk kepada khalayak (suggestivitas), dan khalayak itu sendiri diliputi oleh suasana yang mudah kena sugesti (suggestibilitas).

Propagandis adalah politisi atau aktivis yang memiliki kemampuan dalam memperoleh opini publik yang positif dengan cara menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar. Ada beberapa teknik propaganda (politik) yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika yaitu :
  1. Penjulukan (name calling) yaitu memberi nama jelek kepada pihak lain, membuat nama bagus untuk pihak sendiri.
  2. Testimonial yaitu pengulangan ucapan orang yang dihormati untuk mempromosikan kebaikan pihak sendiri. Begitu juga ucapan orang yang kita benci untuk meremehkan suatu maksud.
  3. Merakyat (plain foks), menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat atau kelompok.
  4. Menumpuk kartu (card stacking), memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan logis.
  5. Gerobak Musik (bandwagon), mendorong khalayak untuk bersama-sama orang banyak bergerak mencapai tujuan atau kemenangan yang pasti.

Daftar Pustaka

Khasali, Renald. 2008. Manajemen Public Relation. Konsep dan aplikasinya di Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Arifin, Anwar. 2008. Opini Publik. Jakarta : Penerbit Pustaka Indonesia
Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosda.
Bungin, Burhan. 2008. Sosilogi komunikasi-Teori, Pardigma dan DiskursusTeknologi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Prayudi. Artikel – Manajemen Isu dan Tantangan Masa Depan.
Modul Mata Kuliah Opini Publik, Fisip Untag Jakarta. 2008.


  

Minggu, 20 Februari 2011

SBY, BINTANG YANG TAK SEMPURNA


SBY, BINTANG YANG TAK SEMPURNA
Ini sepenggal kisah kegagalan seorang anak manusia bernama SBY dalam karier militernya, disarikan dari buku “SBY Sang Demokrat, Usamah Hisyam, 2004.”

            “ Dalam perjalanan hidup saya, inilah berita kedua yang membuat saya terpukul sekali. Pertama adalah, ketika saya sebagai anak tunggal saya harus menghadapi realitas perceraian orang tua saya. Dan kedua, pada saat Presiden Abdurrahman Wahid meminta saya menjadi Menteri. Dengan menjadi Menteri, saya harus pensiun lima tahun lebih cepat dari TNI. Saya benar-benar terpukul dan sangat sedih “. ( SBY Sang Demokrat, Usamah Hisyam, hal 19, Maret 2004 ).
SBY, Presiden Indonesia pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat pada Pilpres 2004. Orang nomor satu dan paling berkuasa di Republik ini hingga 2014 nanti. Bukanlah sosok yang selalu berhasil dalam mengejar impiannya. Obsesinya pernah kandas di kemiliteran.
            Padahal lelaki gagah kelahiran Pacitan Jawa Timur 9 Septermber 1949 ini adalah peraih penghargaan Adhi Mahayasa sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Angkatan 73. Tercatat ada tujuh penghargaan yang diterimanya semasih mengikuti pendidikan militer di Akmil Magelang. Juga lima penghargaan, dua tanda kehormatan militer dan dua belas bintang jasa.
            Nama Susilo Bambang Yudhoyono putra pasangan R. Soekotjo dan Siti Habibah ini punya arti luar biasa.“ Seorang yang punya kesetiaan lebih dan berhasil memenangkan setiap peperangan “.  Terbukti sejak lulus Akmil 1973, dengan  pangkat Letnan Dua, ia langsung ditempatkan di kesatuan elit Kostrad. Yaitu Brigade Infantri Lintas Udara 17/ Kujang I sebagai Komandan Peleton tiga kompi senapan A. Batalyon Lintas Udara 330/ Tri Dharma Putra, yang berkedudukan di Dayeuhkolot.
Karier militer SBY terus meroket seiring berjalannya waktu dan penugasan. Baik sebagai komandan tempur maupun teritorial. Berturut-turut  Komandan Kompi, Komandan Batalyon, Komandan Brigade, Komandan Korem, Kepala Staf  Kodam dan Panglima Kodam II/ Sriwijaya. Terakhir sebagai Kepala Staf Teritorial ( Kaster ) TNI tahun 1998-1999.
            Kisah ini dimulai, SBY,  ”the rising star, soldier of fortune, prajurit yang selalu menang dalam setiap peperangan” merasa terpukul perasaanya. Gelisah, sedih berkecamuk. Penyebabnya adalah obsesi SBY menggapai posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pupus sudah.  Ia terpaksa memasuki masa pensiun dengan menyandang pangkat Jendral berbintang tiga.
            Adalah  Gus Dur, Presiden hasil Sidang Umum MPR 1999. Meminta SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di Kabinet Persatuan Nasional. Ini artinya karier militer SBY  berakhir. Ia tidak hanya gagal menjadi KSAD, tetapi juga harus pensiun dari dinas kemiliteran lima tahun lebih cepat.
SBY nyaris tidak mengeluarkan kata-kata, hati dan pikirannya gundah gelisah, bibirnya terkatup rapat. Guratan wajahnya yang halus berubah mengeras, dahinya mengerut, tatapan matanya kosong. Bagaimana tidak, sebagai  Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI,  SBY dua tahun terakhir  menjadi motor penggerak reformasi internal TNI. Salah satu wujud implementasi reformasi TNI adalah mengembalikan profesionalisme prajurit. 
            Bahkan setelah Sidang Umum MPR, Menhankam/Pangab saat itu,  Jenderal Wiranto  memanggil SBY. Bersama Wakil  Panglima TNI Laksamana Widodo AS, SBY menghadap Wiranto. “ Saya akan segera meninggalkan TNI, dan mendapatkan tugas lain  Laksamana Widodo AS akan dipromosikan menjadi Panglima TNI ”, kata Wiranto.
            Wiranto juga menyampaikan  rencana pergantian KSAD Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo.” Karena Anda Letnan Jenderal yang paling siap, Anda akan saya tugaskan menjadi KSAD,” kata Wiranto kepada SBY. Sebagai prajurit profesional  SBY merasa bangga bila menjadi KSAD. Tiada kebahagiaan dan kepuasan lain bagi seorang prajurit, kecuali mengabdikan sepenuhnya di satuan hingga menjadi Kepala Staf Angkatan.
            Namun apa daya, skenario  Mabes ABRI, porak poranda di tangan Gus Dur. Obsesi SBY untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, terkubur dalam-dalam. Gus Dur sebagai Presiden ternyata  punya pertimbangan dan pilihan lain.
            Awalnya, SBY mendapat informasi itu dari rekannya sesama Jenderal. “ Anda tidak menjadi KSAD, Presiden meminta Anda menjadi Menteri Pertambangan,” kata koleganya lewat telepon. Untuk memastikan informasi tersebut, SBY segera menghubungi Jenderal Wiranto, tapi tidak mendapat penjelasan pasti.
            Maka  SBY menelepon Wakil Panglima TNI Laksamana Widodo AS. Ia menanyakan informas yang sama. ”Benarlah dik, Presiden meminta Anda menjadi Menteri,” kata  Widodo. SBY bertambah ” shock ” mendengar jawaban tersebut.
            SBY langsung menghadap Panglima TNI dan kembali menanyakan informasi tersebut. Jenderal Wiranto membenarkan bahwa Presiden menghendaki SBY masuk kabinet.” Saya mohon, Bapak Panglima dapat membantu saya memberikan masukan kepada Presiden, kalau boleh saya mohon untuk tetap berdinas di militer saja. Tidak usah menjadi menteri,” papar SBY kepada Wiranto.
            Mengenang peristiwa itu, SBY mengisahkan,” saya terkejut mendengar informasi akan menjadi Mentaben. Sebagai prajurit , saya tidak dapat menolak, dan tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menerima penugasan tersebut. Seluruh peluang saya untuk mengabdikan diri kepada TNI secara paripurna hingga masa pensiun hilang sepenuhnya. Saya benar-benar terpukul dan sedih, karena dengan menjadi menteri berarti harus pensiun lima tahun lebih cepat, saya tidak bisa berbuat lebih banyak untuk TNI AD dan juga TNI secara keseluruhan. Dengan berat hati, saya harus meninggalkan TNI. Inilah yang membuat saya sangat sedih.”
            SBY kemudian menghubungi bapaknya di Pacitan. “ Rasanya berat sekali kalau saya harus meninggalkan TNI sekarang. Saya sebenarnya tidak siap, pak. Saya ingin mengabdi secara paripurna di TNI,” kata SBY. “ Ya diterima saja Sus. Kamu harus tulus dan ikhlas. Karena setiap pengabdian kepada bangsa dan negara, bisa dilakukan dimana saja, dan pengabdian itu sama saja,”nasehat sang ayah.
SBY pada akhirnya menerima penugasan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Ia tulus menerimanya, sekalipun ia sendiri tak mampu menghapus kesedihan dalam hatinya. Ia harus segera pensiun. Obsesinya untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat musnah sudah. Langkah the rising star terganjal. Ia   pensiun dengan pangkat Jenderal Bintang Tiga.
            Menilai kondisi SBY, Jenderal Faisal Tanjung menyatakan “ Saya sangat menyesalkan Yudhoyono tidak diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat,. Seharusnya dia pantas, dan sangat pantas menyandang jenderal bintang empat dan diangkat menjadi KSAD. Dia perwira tinggi terbaik pada generasinya. Saya yakin sekali, banyak hal yang bisa dilakukan Yudhoyono untuk membina dan memajukan Angkatan Darat.”
            Meski pada akhirnya mirip dengan jejak sang mertua, Sarwo Edhie Wibowo yang mendapat  Jenderal Kehormatan dari Soeharto. Pada tahun 2000, SBY dianugerahi  pangkat Jenderal Kehormatan Bintang Empat oleh Gus Dur.
Inilah sepenggal kisah perjalanan hidup SBY, sebagai Presiden keenam Indonesia. Jendaral Angkatan Darat paling cemerlang, karier militer sangat lengkap, penghargaan berderet,  pimpinan TNI memproyeksinya, ditambah dukungan para Jenderal seniornya, SBY pernah menghadapi kenyataan sangat pahit. Jangankan menjadi Panglima TNI, untuk menduduki posisi nomor satu di Angkatan Darat saja, SBY gagal.

Senin, 31 Januari 2011

Hariman Siregar: Rajawali Politik Indonesia

Hariman Siregar: Rajawali Politik Indonesia

Dalam rubrik ini kami tampilkan tokoh peristiwa Malari 1974 dr. Hariman Siregar, dalam rangka mengenang perjuangan mahasiswa dan tokoh-tokoh pergerakan yang menentang kekuasaan otoriter Rezim Orde Baru. Pilihan ini berdasar pertimbangan pandangan dan pergerakan politik Hariman yang unik, berpolitik tanpa ambisi kekuasaan, sesuatu yang jarang kita jumpai pada tokoh-tokoh politik kebanyakan. Dan juga momentum yang pas dengan peringatan peristiwa Malari setiap 15 Januari.

Tidak ada hasil yang diperoleh tanpa kerja keras, tanpa perjuangan, dan tanpa keberanian. Karena, kalau kita tidak mau dikekang, dianca, baik oleh kekuasaan maupun cecunguk-cecungukny, maka kita mahasiswa harusberani bersikap dan bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapat yang diperoleh. Ingat, pada akhirnya yang menentukan bukanlah analisis yng bagus-bagus yang ilmiah, tetapi tindak nyata yang mengubah keadaan.

Kepada tukang becak, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan kota-kota untuk bergerak untuk kesejahteraan sosial; kepada warga Negara Indonesia yang bekerja untuk perusahaan asin, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya, kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang.”

Dua paragraf “Pidato Pernyataan diri Mahasiswa”, Hariman Siregar pada malam pergantian tahun 1973-1974 yang disampaikan di UI inilah yang mengubah 180 derajat perjalanan hidupnya. Isi pidato tersebut kelak dituding sebagai seruan untuk melakukan gerakan makar terhadap pemerintah. Bagian akhir pidato yang ditujukkan kepada masyarakat lain di luar mahasiswa tersebut di hubungkan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Kerusuhan yang cukup anarkis yang melibatkan masyarakat luas di sebagian wilayah Jakarta utamanya di daerah Senen Jakarta Pusat kemudian dikenal sebagai “Malapetaka Lima Belas Januari (Malari),” menjadikan pemerintah menuduh Hariman Siregar adalah tokoh makar yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Untuk itu Hariman di jebloskan ke penjara selama enam tahun.

Barangkali seorang Hariman tidak pernah menyangka jalan hidupnya yang tadinya normal seperti anak muda kelas menengah Jakarta pada umunya, kuliah, balap motor, pacaran berubah 180 derajat menjadi sosok yang berbeda sama sekali. Hariman menjadi idola baru, ada yang menyebut telah lahir seorang Hero bagi kaum-kaum tertindas. Tapi resikio yang menimpanya juga sangat luar biasa, bahkan tragis.

Hariman menyesal ? dalam buku Hariman & Malari (2011) dia bilang, ‘kalau ingat masa itu, gue jengkel, membicarakan ini rasanya tidak menyenangkan. Bayarannya tidak seimbang. Semuanya sudah habis,” tutur Hariman.

Dalam buku yang diluncurkan di Tim Cikini, Jakarta Pusat pada ulang tahun Malari dan berdirinya Indemo (lembaga yang didirikan dengan teman-temannya sesama mantan aktivis mahasiswa) 15/1-2011 digambarkan lebih lengkap bagaimana masa-masa kelam perjalanan seorang Hariman Siregar.

Akibat persitiwa tersebut Hariman mendekam di penjara, istrinya yang sedang mengandung mengalami musibah karena anak kembar yang dikandungnya meninggal saat di lahirkan. Istrinya mengalami kegonjangan jiwa yang hebat dan mengakibatkan hilang ingatan akut. Ayah Hariman meninggal, dan mertuanya Prof. Dr. Sarbini Soemawinta juga di penjara. Inilah masa-masa terkelam dalam sejarah perjalanan hidup seorang Hariman Siregar.

Mungkin bagai orang kebanyakan hantaman badai kehidupan yang begitu kuat dan keras membuat seseorang jatuh dan tak pernah bangkit lagi. Tapi tidak buat Hariman, perenungannya membuat dia bangkit dan menjelma menjadii sosok yang lebih kuat. Kepak sayap Rajawali lebih gesit melayang, berteriak menyuarakan keadilan bagi kaum miskin dan tertindas. ‘Gue enggak boleh lengah, apalagi kalah oleh kesedihan. Gue harus kuat, gue sedang melawan kekuasaan Soeharto. Sampai mati gue enggak boleh kalah. Kita mesti kuat, meskipun dia (Soeharto) terus menginjak-injak kita,” ujar Hariman.

Meminjam istilah Akbar Tanjung, aktivis dan politisi adalah manusia yang tidak akan mati walau di bunuh berkali-kali. Begitu juga dengan Hariman Siregar, metamorfosis hidupnya telah mengubah seorang pemuda biasa menjelma menjadi seperti Rajawali dengan sayap yang kokoh terbang dilangit tinggi, mematuk mata-mata para pendurhaka. Sangkar besi tidak akan mampu mengubah rajawali menjadi nuri.

Siapa Hariman Siregar ?

Hariman Siregar biasa disebut Bang Hariman, dalam bahasa candaan dikalangan kaum pergerakan dan aktivis pro demokrasi, siapa yang belum kenal Hariman dianggap belum lengkap keativisannya. Berlebihan ? mungkin, tapi faktanya tokoh yang terkenal namanya sejak meletus peristiwa kerusuhan Januari 1974 (Malari) ini sudah seperti legenda hidup dunia pergerakan.

Tokoh ini lahir di Padang Sidempuan, Sumatra Utara 1 Mei 1950 dari keluarga kelas menengah. Ayahnya bertugas di kantor Jawatan Perdagangan dan sering berpindah. Baik dari kota asalnya kemudian di Medan, Palembang dan terakhir di tugaskan di Departemen Perdagangan Jakarta sejak tahun 1959.

Hariman mengenal politik langsung dari kedua orang tuanya yang punya afiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah menjadi aktivis mahasiswa pergaulan Hariman berkisar di kalangan aktivis dan simpatisan PSI. Mentor politiknya adalah Prof. Dr. Sarbini Soemawinata tokoh terkemuka PSI yang juga mertua Hariman. Meski sikap dan tindakan politiknya cenderung berwarna kiri, Namun Hariman tidak pernah secara tegas mengaku sebagai penganut Paham Sosialisme.

Bahkan Hariman mengaku belum tertarik politik ketika awal-awal masa perkuliahannya. Ia baru mulai intens terlibat dalam politik kampus ketika di tingkat III, dengan menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dari perwakilan fakultas kedokteran. Sebagai pengurus organisasi kampus Hariman mulai berinteraksi dengan orang-orang diluar kampus,termasuk dengan Jenderal Ali Moertopo. Kedekatan inilah yang membuat Hariman diterima di CSIS.

Hariman mengakui salah satu faktor kemenangan dia merebut Ketua Dewan Mahasiswa UI, dari dominasi aktivis-aktivis HMI adalah dukungan Ali Moertopo. “Pendukung saya sebenarnya, ya, GMNI, PMKRI, GDUI,dan pak Ali Moertopo, “ ujarnya Hariman.

Inilah yang membuat sebagian kalangan, terutama kelompok-kelompok Islam Politik kurang “suka” terhadap Hariman. Karena Ali Moertopo, tokoh OPSUS (operasi khusus) lembaga bentukan perwira-perwira inteljen dari “lingkaran inti dalam” kelompok pendukung dan penopang utama kekuasaan Soeharto di awal-awal pemerintahannya ini, adalah alat pemerintah yang merusak, mengadu domba, menfitnah, mendiskreditkan dan pada akhirnya mengkerdilkan kekuatan Islam terutama Islam politik di Indonesia.

Dalam buku “Jenderal Soemito, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib”, tulisan Ramadhan KH (1994). Kedekatan Hariman dengan Ali moertopo dan CSIS dikemukakan juga oleh mantan Pangkopkamtib Jenderal (Pur) Soemitro. Setelah dilantik menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman bersama pengurus DEMA UI datang ke kantor KopKamtib dalam rangka “melapor” dan silaturahmi. Agenda yang sebenarnya biasa pada jaman itu. Tapi menurut Soemitro laporan Harima ada yang aneh, “kami ada hubungannya dengan Tanah Abang III,”kata Hariman menutup laporannya. Tanah Abang III adalah kantor CSIS, lembaga think thank buatan Ali Moertopo cs.

Begitu juga dikatakan Akbar Tanjung, Hariman punya kedekatan dengan penguasa. Dia dekat dengan kelompok Operasi Khusus, Opsus. Mungkin dalam rangka memenangkan perebutan ketua DEMA UI. Katakanlah koalisi atau aliansi taktis dengan tokoh-tokoh yang punya kekuasaan sehingga dia terpilih sebagai Ketua Umum.

Fakta sejarah membuktikan, Hariman tidak pernah berhenti melawan para penguasa yang dianggap telah menyimpang dan tidak berpihak kepada rakyat. Setelah menjadi ketua DEMA UI, Hariman melawan Soeharto,termasuk Ali Moertopo dan juga Soemitro.

Hal itu dibenarkan oleh Soemitro, ”tapi kelak waktu bergulir Hariman berubah 180 derajat,” ujarnya. Judilhery Justam Sekjen Hariman di DEMA UI yang aktivis HMI mengatakan, “opsus waktu itu bagi Hariman hanya sekutu taktis saja.” begitu juga Akbar Tanjung, ”Hariman adalah orang yang tidak bisa dikendalikan, setelah terpilih jadi ketua DEMA UI, Hariman memimpin gerakan mahasiswa melawan penguasa.”

Seorang Hariman juga tidak pernah tergiur kekuasaan, minimal belum tergiur masuk dalam lingkaran kekuasaan. Padahal sewaktu Habibie menjabat Presiden setelah Seharto “terguling”, Hariman pernah ditawari menjadi Menteri. Tapi dengan cerdik Hariman menolak.

Hariman Siregar adalah sosok yang unik, ketika kebanyakan orang diam, Hariman teriak. Tahun 1970-an, suatu masa dimana pandangan sebagian orang menganggap Soeharto pahlawan yang menjanjikan harapan baru bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Termasuk eksponen 66 (gerakan mahasiswa yang ikut menumbangkan Soekarno) juga diam karena sebagaian dari mereka mendapat “posisi”, baik di Parlemen, birokrasi maupun bisnis. Hariman tidak diam, Hariman melawan, karena pemerintah Soeharto dianggap telah menyimpang.

Begitu juga di era Gus Dur, Megawati serta SBY. Tahun 2007, masih segar dalam ingatan kita, SBY Presiden pertama Indonesia yang terpilih lewat Pemilu langsung dan Sebagian besar komponen dan rakyat Indonesia sedang menikmati masa efouria keberhasilan demokrasi. Semua orang menggantungkan harapan pada sosok Presiden SBY. Mimpi bangsa yang tertindas dalam kungkungan rezim militer Soeharto menjadi nyata.

Tiba-tiba Hariman Turun ke jalan dan teriak “cabut mandat.” Lagi-lagi ketika sebagian besar aktivis diam. Gerakan “ekstra parlemen” politik Hariman, setidaknya menurut pendapat penulis bisa dianalogikan seperti film kartun tahun 1980-an di TVRI “The Lone Rangers”. Seorang koboy pemberantas kejahatan. Dia tiba-tiba muncul ketika ada kedzaliman dan penindasan, dan langsung menghilang tanpa meminta “pamrih” kehormatan atau materi.

Tapi setidaknya, suka atau tidak suka, sosok Hariman Siregar telah banyak memberi inspirasi bagi banyak anak muda di Indonesia untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan, untuk peduli pada demokrasi yang sehat, keadilan dan perubahan mendasar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hariman telah mengajarkan kita semua, akan selalu ada individu atau kelompok yang melawan kekuasaan, siapaun dia jika amanah rakyat tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Apalagi berbohong hanya demi mempertahankan citra dan kekuasaannya. Kikin

By : Ali Sodikin

Minggu, 02 Januari 2011

RESENSI BUKU SOEHARTO & BARISAN JENDERAL ORBA REZIM MILITER INDONESIA 1975-1983

Resensi buku Soeharto & Barisan Jenderal ORBA Rezim Militer Indonesia 1975-1983

Tulisan David Jenkins

Gagalnya kudeta 1965 yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia pimpinan DN. Aidit, melahirkan kekuatan politik baru yang dikomandoi Jenderal Soeharto dengan lahirnya apa yang disebut dalam sejarah sebagai Orde Baru. Rezim baru yang militeristik berjanji akan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Buku yang ditulis David Jenkis, seorang wartawan kawakan Australia yang ditempatkan di Indonesia pada tahun 1969-1970 (Melbourne Herald) dan tahun 1976-1980 (far Eastern Economic Review) dan terakhir pada tahun 1985 sebagai editor luar negeri Sydney Morning Herald ini menggambarkan secara lebih utuh tentang catatan sejarah pergulatan rezim militer orde baru. Bagaimana Soeharto menghadapi berbagai tantangan dan konflik dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) selama periode 1975-1982 dan perdebatan yang berkembang menyangkut keterlibatan ABRI dihampir seluruh kehidupan sosial politik serta segi kehidupan masyarakat.

Lebih lanjut buku ini menggambarkan elit politik Indonesia pada zaman tersebut hampir seluruhnya terdiri dari para jenderal. Tetapi untuk menjadi anggota elit itu, tidak cukup hanya dengan menjadi jenderal saja. Jenderal-jenderal itu juga perlu mempunyai hubungan pribadi yang dekat sekali dengan Soeharto dan keluarganya. Sudah tentu semua berasal dari Angkatan ’45 yang merupakan pejuang kemerdekaan.

Jenderal-jenderal ”inti” elit terdiri dari sekitar selusin jenderal, baik perwira yang masih aktif dalam militer maupun perwira lain yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Setiap anggota ”kelompok inti” mempunyai pengikut dalam elit politik, baik militer atau sipil yang juga diberi kesempatan luas untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Banyak anggota Angkatan ’45 menduduki jabatan yang cukup penting dan menikmati kekayaan yang dibagi-bagikan kepada semua pendukung rezim Soeharto.

Namun sudah tentu tidak semua pejuang kemerdekaan dari Angkatan ’45 bisa menjadi anggota elit politik apalagi masuk dalam ”kelompok inti”. Semakin lama banyak perwira ABRI maupun politikus sipil menjadi kecewa dengan rezim Soeharto, karena semua jabatan politik penting dimonopoli oleh orang dekat secara pribadi dengan Presiden. Para jenderal yang kurang puas sering dijuluki ”Barisan Sakit hati”. Diantara mereka mungkin iri hati karena merasa lebih berjasa daripada sebagaian anggota ”kelompok inti”itu, atau belum mendapat imbalan materi yang diharapkan.

Jenkins juga menggambarkan kelompok jenderal yang ketiga yang disebutnya perwira-perwira ”berprinsip”, yang menganggap rezim Soeharto melenceng dan meninggalkan prinsip-prinsip yang diperjuangkan sejak zaman revolusi 1945. Memang Jenkins mengakui, meskipun dirinya seorang pemerhati politik keindonesian yang cukup pengalaman, tidaklah mudah untuk membedakan dengan jelas antara pelaku politik yang termotivasi prinsip dengan yang termotivasi kepentingan.

Buku ini menggambarkan pertarungan antara ”kelompok inti” yang sangat setia kepada Presiden Soeharto dan para pengkritik dikalangan purnawirawan yang semakin kecewa dengan pemerintahan Soeharto. Persaingan para jenderal itu pada tahun 1973 terlihat jelas nampak pada ketegangan politik dan mencapai puncaknya pada Januari 1974 dalam kerusuhan di Jakarta yang dikenal sebagai ”Peristiwa Malari” (Malapetaka Limabelas Januari). Peristiwa itu dikaitkan dengan persaingan antara pembantu Soeharto sendiri di ”kelompok dalam”. Persaingan antara Panglima Kopkamtib, Jenderal Soemitro, bersama ketua Bakin, Letjen Sutopo Juwono dengan seorang perwira inteljen, Letjen Ali Murtopo, yang sudah bertahun-tahun menjadi kawan akrab Soeharto. Akibatnya ”kelompok dalam; terpecah, Soemitro dan Soetopo Juwono diusir dari kelompok inti.

Bab-bab awal buku ini menggambarkan sosok Soeharto sebagai jenderal angkatan darat yang mampu menduduki puncak kekuasaan di Indonesia paska lengsernya Soekarno, sejak tahun 1965-an Soeharto menghabiskan waktu dan tenaganya untuk memperluas dan mempertahankan basis kekuasaannya. Dekade 1980-an Soeharto bahkan melebihi seorang primus inter pares (yang terunggul di antara sesama) dalam kepemimpinan kolegial militer AD.

Soeharto menduduki puncak piramida, mendudukkan setiap orangnya pada posisi kunci eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam setiap cabang pemerintahan. Ia mendominasi kabinet serta jajaran birokrasi negara, mendominasi ABRI serta menguasai sepenuhnya Menteri Pertahanan dan Keamanan, Panglima Kopkamtib yang sangat berkuasa dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.

Soeharto merupakan tokoh sentral di Golkar, menentukan anggota-angota MPR dan memastikan mereka memilih dirinya sebagai Presiden berturut-turut. Dengan dukungan militer terutama angkatan darat Soeharto melumpuhkan gerak dua partai ”oposisi”. Geliat kekuasaannya menembus setiap departemen dan masuk kedalam seluruh perusahaan negara. Ia merengsek sampai ke bawah, bahkan jika menghendaki sampai ke desa-desa.

Pola kepemimpinan Soeharto jelas mengadopsi tata pemerintahan jawa. Tulisan Benedict Anderson ” The Idea of Power in Javanese Culturte” (1977), menggambarkan pemikiran jawa secara implisit mengabaikan pendekatan hirarki, karena hirarki mengandung arti suatu derajat otonomi pada berbagai tingkatan., sedang secara ideal yang diperlukan suatu sumber kekuatan dan otoritas tunggal yang mudah tersebar. Inti dari pemerintahan tradisional ialah sang penguasa yang mencerminkan personafikasi kesatuan masyarakat. ”merupakan kerucut cahaya yang memancar ke bawah lewat lampu reflektor”.

Meskipun secara formal struktur oragnisasi bersifat hirarkis, pada prakteknya terdiri dari sekolompok lapisan dalam hubungan patron klien, bahkan sampai ke daerah para pejabat dikelilingi oleh sekelompok bawahan pembantu pribadi dalam model penguasa tertinggi. Nasib para bawahan tergantung pada keberhasilan atau kegagalan patron mereka.

Pola kepemimpinan Soeharto, menurut teori Anderson mendekati patrimonial, banyak yang mengkritik cara Soeharto memerintah seperti ”Mataram baru”, suatu sindiran dengan mengacu kerajaan penting di jawa setelah 1582 dan pada keberhasilan presiden membangun suasana keraton Jawa. Apa yang disebut ”golongan istana”, Staff Pribadi (SPRI) presiden mencerminkan dapur kabinet, agen-agen dan pembantu pribadi presiden. Kekuasaan besar diberikan kepada orang seperti Letkol (kemudian Letjen) Ali Murtopo, rekan lamanya yang cenderung melakukan operasi di luar struktur ”legal-rasional” pemerintah.

Menurut Nordlinger, pemerintahan Soeharto mendekati istilah apa yang disebut ”pretorian”, dimana para opsir militer menjadi ”aktor penting utama yang lebih berkuasa disebabkan oleh kekuatan nyata atau ancaman kekerasan. Istilah pretorianisme diambil dari Garda Pretoria Kerajaan Romawi yang dibangun untuk melindungi kaisar, tetapi kemudian digunakan untuk menumbangkan para kaisar dan mengendalikan proses penggatinya.

Sifat ”pretorian” memberikan berbagai gambaran diri mereka sebagai para perwira bertanggungjawab dan patriotik yang melakukan intervensi ke dalam urusan sipil karena pihak sipil menolak betanggungjawab kepada konsitusi dan bangsa. Mereka mengambil tanggungjawab sendiri dan menyatakan bahwa konsitusi telah diperkosa atau kepentingan nasional dikhianati, maka intervensi dibenarkan. Alasannya adalah pihak militer punya tanggungjawab khusus, yaitu ”suatu tugas mendesak melampaui kewajiban mereka kepada otoritas yang ada.” Menurut Nordlinger hal ini merupakan dasar pokok alasan umum pretorian.

Dengan kekuasaan yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal, melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial dan politik serta sedapat mungkin mereka menerima kehendaknya. Tentu dengan imbalan dan ganjaran yang setimpal.

Kelompok inti di sekitar Soharto

Pada pertengahan tahun 1970-an yakni : Jenderal M. Pangabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI ; Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri; Jenderal Yoga Sugama, Kepala Bakin; Letjen Ali Murtopo, Wakil Kepala Bakin; Laksamana Sudomo, Kepala Staff (kemudian Panglima) Kopkamtib; Mayjen (kemudian Jenderal) LB Murdani, asisten intelejen Menteri Pertahanan (kemudian Panglima ABRI); Letjen Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara ( kemudian Wakil Presiden); Jenderal Darjatmo, Kepala Staff urusan Nonmiliter Menteri Pertahanan; Letjen Ibnu Sutowo, Presiden Direktur Pertamina. Ada dua orang kelompok inti yang akhirnya tersingkir karena peristiwa Malari yakni Jenderal Soemitro dan Letjen Sutopo Juwono. Begitu juga Ibnu Sutowo dipaksa turun karena pada awal tahun 1975 terbongkar fakta bahwa Pertamina diambang kebangkrutan.

Kelompok Inti Lingkaran Dalam

Tahun 1960-an, karir Soeharto di militer mulai naik, ia menyandarkan diri pada sekelompok kecil penasehat dari AD. Tahun 1966 ia membentuk Staf Pribadi (SPRI) yang terdiri enam orang perwira tinggi AD serta dua tim sipil, spesialis bidang ekonomi. Tahun 1968 SPRI beranggotakan 12 orang, tim ini banyak dipandang sebagai ”pemerintah bayangan” yang memilki kekuasaan lebih besar dibanding kabinet, terutama dalam menyusun kebijakan. Para anggota SPRI bertanggung jawab terhadap soal-soal keuangan, politik, inteljen dalam dan luar negeri, kesra, dan pemilu.

Koordinator SPRI, Mayjen Alamsyah Ratu Perwiranegara menjadi teman dekat Soeharto sejak bertugas bersama di Mabes AD pada tahun 1960. Tiga orang lainnya, Ali Murtopo, Sudjono Humardhani, dan Yoga Sugama menjadi pembantu Soeharto sejak di Kodam Diponegoro Jawa Tengah pada akhir tahun 1950-an, dan Soeharto sebagai Panglima. Pada pertengahan tahun 1970-an empat serangkai anggota lingkaran dalam yang penting ialah Yoga Sugama, Ali Murtopo, Sudomo, dan Benny Murdani.

Naik Kepuncak Ketegangan Antarmiliter

Pada bab-bab pertengahan bukunya David Jenkins ini memaparkan geliat konflik diantara para perwira militer. Konflik tersebut di picu banyak hal, tetapi bisa diambil benang merahnya bahwa pergulatan para jenderal-jenderal, baik di antara lingkaran inti dalam itu sendiri, maupun dengan lingkaran luar banyak di sebabkan oleh dua hal besar.

Pemerintah Soeharto dinilai sudah banyak menyimpang dari cita-cita awal kemerdekaan, berikutnya adalah jenderal-jenderal sakit hati yang disingkirkan atau belum mendapat imbalan baik jabatan atau materi dari Soeharto. Faktanya mereka para perwira yang kemudian menjadi pengkritik Soeharto, tidak lebih baik ketika mereka masih aktif atau menjabat di posisi-posisi kunci ABRI. Bahkan banyak jenderal atau mantan jenderal pengkritik Soeharto menjadi diam ketika diberi posisi atau jabatan di pemerintahan.

Dari semua pensiunan jenderal yang berseteru dengan pemerintah dari akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, tak ada yang paling menonjol melebihi Jenderal Nasution. Ia merupakan tokoh dominan di AD sejak awal revolusi, reputasinya bukan saja dibidang taktik dan strategi militer, tapi juga sebagai aktor politik yang cerdas, meski kadang peragu.

Nasution lebih tua tiga tahun dari Soeharto, karir militernya sangat cemerlang, ia menjadi Panglima Divisi Siliwangi pertama pada tahun 1946. Wakil Kepala Staff AD 1948, dan Panglima Komando Militer Jawa, menjadi Kepala Staff AD dua kali, yaitu tahun 1950-1952 dan 1955-1962. setelah itu Panglima ABRI dan Menteri Hankam periode 1959-1966.

Nasution adalah peletak dasar strategi yang mematikan Belanda, memainkan peran sentral dalam menempa AD yang modern dan profesional, ia juga berhasil membrangus serangkaian pemberontakan daerah dan menekan kaum muslim militan yang menghendaki negara Islam. Pokok-Pokok Gerilya karyanya digambarkan sebagai tulisan klasik tentang pemberontakan dan disejajarkan dengan karya Mao Zendong dan Vo Nguyen Giap.

Ada tiga benang merah dalam kritik-kritik Nasution, pertama, sebagai sosok yang pada akhir 1950-an mempelopori dan berhasil menyerukan untuk kembali ke UUD 1945, lalu pada akhir 1970-an dan awal 1980-an menuntut pemerintah melaksanakan dokumen tersebut secara ”murni dan konsekuen.” Kedua, sebagai sosok yang memperkenalkan doktrin dwi fungsi ABRI yang menuntut kepada para pemimpin yang sama untuk membersihkan dari akses masa transisi dan darurat, menghapuskan semua tambahan yang terbentuk sejak kudeta, karena tambahan-tambahan itu merusak doktrin aslinya. Ketiga, sebagai sosok yang menjadi tangan kanan Panglima Besar Sudirman selama 1945-1950, ia menuntut para pimpinan AD untuk melaksanakan wasiat Jenderal Sudirman. Wasiat itu adalah bahwa ABRI harus berdiri diatas semua golongan masyarakat dan tidak berpihak kepada salah satu kelompok.

Kelompok jenderal-jenderal pengkritik Soeharto tergabung dalam FOSKO TNI (forum studi dan komunikasi), dan LKB (lembaga kesadaran berkonsitusi). Jika Fosko murni terdiri dari kumpulan mantan petinggi TNI, LKB kemudian menjadi Yayasan LKB walupun didirikan atas inisiatif Nasution tetapi juga melibatkan tokoh-tokoh sipil, misalnya M. Hatta mantan wakil presiden. Dari dua forum tersebut mereka lebih terkenal di masyarakat luas sebagai petisi-50.

Jika kritik-kritik mereka dianalisis, baik yang bersifat pribadi maupun publik, apa yang disampaikan para perwira ”sakit hati” menunjukkan ada ketidakpuasan terhadap situsasi, terutama menyangkut tiga hal, yakni; pertama dan yang paling utama ialah para perwira tersebut sama-sama merasakan bahwa dibawah Soeharto, peran ABRI dalam politik, sosial dan ekonomi telah meluas melampaui batas yang dapat diterima. Peran ABRI dalam politik dibangun dengan pilar di luar konsitusi.

Masalah kedua yang menjadi keprihatinan mereka adalah meningkatnya dan juga ketidakacuhan korupsi di bawah pemerintahan Soeharto. Masalah ketiga, banyak di antara perwira tersebut merasa para jenderal Jawa abangan dan Kristen disekeliling Soeharto berpandangan terlalu sempit dan represif terhadap Islam pada umumnya dan Islam Politis pada khususnya. Masalah ini cenderung memunculkan dua bentuk , sejumlah pensiunan perwira, seperti Nasution, bersimpati terhadap tujuan Islam. Beberapa perwira lain bersikap waspada terhadap Islam. Tetapi mereka khawatir penanganan yang keras dapat memperburuk keadaan.

Namun sikap pemerintah sebagaimana ditunjukkan sejumlah petinggi militer lingkaran dalam seperti Sudomo, Benny Murdani dan Yoga Sugama bukan kesabaran atau pengertian dan cenderung sinis terhadap motif para pengritik pemerintah. Mereka menganggap para jenderal keleompok luar sebagian besar, kalaupun tidak semuanya dianggap akan diam jika telah menyepakati harga yang cocok. Kelompok penguasa percaya bahwa keseimbangan akan dapat terpelihara dengan cara membagi-bagi rezeki.

Tentu saja pandangan sinis tersebut ada buktinya. Ketika pada tahun 1980 dan 1981 bujukan menarik ditawarkan kepada sejumlah jenderal pengkritik dengan syarat mereka mau melepaskan diri dari sikap anti pemerintah, diam-diam mereka menerimanya, demi kesejahteraan keluarga.

Menurut Sudomo, mereka adalah korban tidak bahagia dari ”sindrom pasca berkuasa.” Mereka pernah menjadi tokoh-tokoh yang sangat berkuasa di masyarakat, mendapatkan kehormatan dan perintahnya diikuti serta pandangan-pandangannya ikut menentukan kebijakan nasional. Mereka mendapat fasilitas rumah besar, limusin lengkap dengan sopirnya, anak-anak mereka mendapatkan sekolah terbaik. Kini mereka bukan apa-apa, mereka dipensiunkan dan ditinggalkan. Mereka harus menjaga diri sendiri. Dan pada kenyataannya sebagaian besar pensiunan jenderal itu hidup mapan dengan akses ke bank-bank pemerintah yang dermawan serta fasilitas lainnya. Tidak dapat dikatakan pemerintah orde baru tidak memperhatikan mereka.

Buku yang di tulis David Jenkins di Singapura ini juga memaparkan secara terperinci bagaimana Soeharto memegang dan mengendalikan para jenderal disekelilingnya agar tetap patuh dan setia. Juga bagaimana Soeharto menghadapi jenderal-jenderal pengkritiknya.

Menurut Jenkins setidaknya ada enam pilar yang menentukan mengapa Soeharto mampu mengendalikan para jenderal disekelilingnya dan berkuasa di Indonesia selama 30 (tiga puluh) tahun lebih, yaitu : pertama, presiden punya posisi lebih berpengaruh terhadap para perwira dengan latar belakang inteljen dan urusan keamanan. Tiga orang dimana Soeharto bergantung, yaitu Ali Murtopo, Benny Murdani dan Yoga Sugama, semua dari bidang inteljen; sedang Sudomo punya kekuasaan luar biasa dibidang keamanan. Para perwira inteljen dan keamanan yang dominan tersebut mencerminkan dan memperkuat kekuasaan awal Soeharto dengan pendekatan ”keamanan dan perkembangan” dalam membangun bangsa.

Kedua, ciri yang tidak lazim dengan ”menggadakan” fungsi-fungsi kepada sejumlah sosok yang paling dipercaya di lingkaran dalam Soeharto. Sudomo dengan efektif memimpin Kopkamtib sejak Januari 1974 dan Wakil Pangab sejak April 1978. Benny Murdani bukan saja menduduki jabatan Asisten Inteljen di Departeman Hankam sejak 1974, tetapi juga mengepalai Pusat Inteljen Strategis sejak Agustus 1977 dan Wakil Ketua Bakin sejak permulaan 1978. Yoga Sugama yang menjadi Kepala Bakin sejak Januari 1974, juga menjabat sebagai Kepala Staff Kopkamtib dari 1978-1980.

Rangkap jabatan tersebut telah membantu Soeharto dengan baik. Semua keadaan memberi kesempatan pada Soeharto untuk mengisi banyak jabatan penting pemerintahan dan AD tanpa beranjak ke luar kelompoknya sendiri. Pada saat yang sama hal itu menciptakan sistem kontrol dan perimbangan di antara para pembantu inti yang memegang kekuasaan serta pengaruh hingga tercipta keseimbangan. Penunjukkan Murdani sebagai Wakil kepala Bakin di bawah Yoga Sugama merupakan contohnya. Keduanya tidak akan punya banyak waktu untuk saling berinteraksi dan akan cenderung menempu jalan sendiri, yaitu melapor langsung kepada Soeharto.

Ketiga, ciri berikutnya adalah orang-orang yang sangat dipercaya dari ”kelompok inti lingkaran dalam” cenderung tetap berada di posisinya jauh melampaui kebiasaan masa tugas selama dua tahun. Sudomo, Murdani, Yoga Sugama berada dalam tugas yang sangat penting di bidang inteljen dan keamanan sejak 1974. Posisi ”tanpa mobilitas”di bidang inteljen, keamanan dan sosial politik ini sangat berbeda dengan jabatan panglima pasukan yang pergantiannya cukup cepat.

Ciri keempat ialah posisi unik yang ”disandang” Murdani. Tiga pilar utama pemerintah Soeharto: Hankam, Kopkamtib dan Bakin, ketiganya dipimpin oleh mereka yang setia kepeda Soeharto. Antara 1978 dan 1983 Sudomo menduduki posisi kunci dalam dua insitusi tersebut (Hankam dan Kopkamtib), Yoga Sugama di kedua posisi dimasa yang berbeda (Kopkamtib dan Bakin). Tetapi Murdani menjabat di ketiga badan tersebut. Pada masa 1978-1983, ia menjadi Asisten Inteljen (asintel) di Hankam, Asintel di kopkamtib dan Wakil Ketua Bakin. Ia pun menjadi Kepala Pusat Inteljen Strategis (kapusintelstrat) di Hankam, posisi ini seperti Asintel yang secara teknis beroperasi dibawah Panglima ABRI. Murdani juga menjabat sebagai Kepala Satuan Tugas Inteljen (Satgasintel) yang punya wewenang menggunakan aturan Kopkamtib untuk menahan orang selama 48 jam atau lebih. Sebagai Kapusintelstrat, dalam keadaan darurat ia punya wewenang kontrol operasional terhadap pasukan Kopassandha, yaitu 5.000 tentara komandao ”garda pretorian” Hankam. Murdani menjadi tokoh kunci pada tiga pusat kekuatan utama dan dengan 5.000 anggota pasukan komando yang sangat terlatih dibawah kendalinya dalam keadaan darurat, ia menjadi salah seorang paling kuat di Indonesianya Soeharto.

Ciri kelima, dua di antara empat anggota inti tersebut tergolong orang Jawa abangan dari Jawa Tengah tempat asal Soeharto, sementara dua lainnya, Sudomo dan Benny Murdani adalah Jawa kristen. Dalam banyak perdebatan hal ini dijadikan alasan sebagai kecenderungan apa yng disebut ”Islamfobia” kelompok yang berkuasa. Pada waktu Pemilu 1977, Soeharto menerima I.J. Kasimo, Frans Seda serta sejumlah mantan pemimpin lain dari Partai Katolik. Sebelum tamu itu duduk, Soeharto berkata,”musuh kita bersama ialah Islam !”

Keenam, secara umum kelompok inti tersebut punya pandangan yang sama dengan sejumlah perwira militer senior lainnya dalam hal bisnis. Mereka percaya agar opersi mereka berhasil di luar sistem ekonomi legal-rasional, perlu adanya kerjasama saling menguntungkan dengan para cukong (pemilik dana yang umumnya orang Cina) serta modal asing.

Hal lain yang menarik ialah kelompok inti disekitar Soeharto tersebut masing-masing anggotanya bersifat ”pragmatis”-barangkali akan mengingatkan pada ”Machiavellian.” Secara umum para perwira militer Indonesia, terutama mereka yang ada dalam dinas inteljen, rentan terhadap perpecahan di antara mereka yang dikelompokkan sebagai ”pragmatis” dan mereka yang mungkin dapat digambarkan sebagai ”prinsipil.” Soeharto dengan alasan apa pun lebih nyaman dengan kelompok pertama dan cenderung mengambil pendapat mereka. Secara singkat para perwira pragmatis menganggap bahwa tujuan akhir akan menghalalkan cara apa pun boleh ditempuh. Mereka percaya dinas inteljen semestinya, dan memang harus, memanipulasi proses politik guna mencapai hasil yang diharapkan, yaitu Indonesia stabil dan makmur. Selama bertahun-tahun Soeharto mendapat dukungan kuat dari penasehat kelompok pragmatis, terutama Ali Murtopo.

Dalam menghadapi para jenderal pembangkang, Soeharto menyandarkan diri pada dua senjata, yakni umpan dan cemeti. Pendekatan pertama adalah dengan menawarkan penghasilan tambahan dan hak-hak istimwa sebagi imbalan dihentikannya kritik. Presiden Soeharto percaya bahwa setiap orang memiliki harga masing-masing. Dengan cara menyebarkan bantuan strategis ia menunjukkan atau melakukan kooptasi terhadap oposisi. Menurut pandangan pemerintah para pengkritik cenderung tidak puas karena tidak mendapatkan ”fasilitas”. Memang hal ini logis dalam ukuran tertentu.

Dalam usaha melemahkan lawan-lawannya, Soeharto dalam tingkat tertentu bergantung pada Sumitro orang yang pernah disingkirkannya. Pada awal 1980-an Sumitro semakin sering terlihat di Jakarta dan semakin menunjukkan keberhasilannya. Sumitro punya satu atau lebih keluarga yang harus dihidupinya. Lebih lagi Sumitro sering meyakinkan Soeharto bahwa dirinya tidak punya ambisi apa pun pada tahun 1974.

Sumitro memang saling bertukar pikiran dengan para jenderal pembangkang, tetapi ia lebih banyak bicara tentang perbaikan sistem yang ada, bukan membicarakan suatu perubahan fundamental sebagaimana para pengkritik lain. Pada awal tahun 1981 Sumitro melakukan kunjungan teratur ke kantor Soeharto. Ia berhasil mendapatkan keuntungan dengan kesediaan Soeharto membolehkan dirinya ikut dalam permainan yang dilakukan pemerintah.

Ia pemilik PT Rigunas yang mendapatkan kosensi 300.000 hektar hutan di Irian Jaya, memimpin PT Tjakra Sudarma yang bergerak di bidang pembelian peralatan ABRI. Sumitro juga menjadi supervisor kepala PT Riasima Abadi, perusahaan farmasi di Citeureup, Jawa Barat. Di mata sejumlah pengkritik Sumitro telah dibeli oleh penguasa. Seorang pensiunan jenderal mengatakan,”tipikal orang jawa-kalau tidak dapat mengalahkan mereka, maka bergabunglah dengan mereka.”

Sumitro juga melakukan bisnis dengan banyak pihak. Disebutkan bahwa dirinya mempunyai wewenang menawarkan sejumlah jaminan kepada para jenderal pembangkang yang dapat dibujuk untuk menghentikan kritik mereka. Jika para pensiunan jenderal tersebut setuju untuk bekerjasama, diduga Sumitro mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan imbalan ”proyek besar.” Mereka yang bekerjasama, dikatakan dapat memiliki sebuah perusahaan untuk dikelolanya sendiri.

Berbagai upaya dari kelompok penguasa membuahkan hasil. Sejumlah orang seperti Jenderal jatikusumo menarik diri dari ”eks-Fosko.” Jenderal Ishak Djuarsa, harun Sohar, dan Daan Jahja juga mundur, pada maret 1981 Jenderal M. Yasin pun tidak lagi menampakkan diri setelah resmi meminta maaf kepada Soeharto. Sebagian mereka berpendapat ada hal-hal yang bisa didapatkan dengan cara bekerja di dalam sistem, sebagian lain dengan alasan berbeda, terutama tekanan keluarga.

Penarikan diri mereka dari pembangkangan menjadi salah satu contoh mutakhir ketergantungan kepada pemerintah, bentuk keberhasilan dari sistem distribusi patronisme alias bagi-bagi rezeki. Tetapi banyak di antara para pensiunan perwira senior yang terlibat dengan kelompok ”eks-Fosko’ dan LKB maju terus layaknya prajurit, demikian dengan sejumlah tokoh sipil terkemuka yang bersekutu dengan kelompok ini. Untuk yang menolak memainkan bola, pemerintah punya metode lain, beberapa di antara cara itu sangat picik dan keji.

Kepada jenderal-jenderal pembangkang, pemerintah melakukan pengucilan, izin kerja dan izin perusahaan tidak akan diperpanjang, fasilitas kredit dari bank-bank pemerintah akan dihentikan, permohonan bepergian ke luar negeri akan ditolak dan mereka tidak akan diperkenankan mengikuti tender-tender pemerintah. Tindakan semacam itu merupakan ”upaya untuk mencekik orang hingga mati menggunakan sarana ekonomi.” Serangan pemerintah ini bertujuan ganda, di satu sisi pemerintah menghukum orang-orang yang berada di luar jalur, di pihak lain hal itu merupakan peringatan kepada siapa pun yang mungkin hendak menentang penguasa.

Jenderal Hugeng, dipaksa mundur dari Kapolri pada tahun 1971 setelah mengendus adanya impor ilegal yang mengarah kepada keterlibatan Ibu Tien Soeharto. Jenderal Hugeng juga memiliki bakat lain, yaitu seorang penghibur yang cakap, ia menampilkan lagu-lagu Hawaiian di TVRI selama 12 tahun. Segera setelah namanya tercantum sebagai penandatangan Petisi-50, Ali Murtopo, Menteri Penerangan saat itu, mengumumkan acara TV populer Hugeng tersebut dicoret dengan alasan musik Hawaiian ”tidak mencerminkan budaya nasional.”

Letjen H.R. Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi, ketika menjabat Sekretaris Jenderal ASEAN menyampaikan pidato di hadapan anggota Generasi ’66 di Bandung pertengahan Januari 1978. Ia menyerukan pimpinan ABRI untuk mendengarkan aspirasi rakyat kecil, jika mereka tetap mengandalkan kekuasaan dan kekuatan militer, maka rakyat akan menurut karena takut, bukan karena mencintai ABRI. Karena tidak mau minta maaf Dharsono di geser dari kedudukannya di ASEAN, ia juga dicopot dari posisinya sebagai Direktur PT Propelat, perusahaan induk milik divisi Siliwangi di Jawa Barat. Begitu juga Ali Sadikin dan Sukendro, harus terusir dari dunia bisnis.

Sukendro terkena tindakan yang lebih jauh, bukan saja ia harus mundur dari perusahaan induk milik pemerintah Jawa Tengah, ia pun tidak dapat melanjutkan studinya. Empat bulan sebelum disertasinya selesai, ia menerima surat pemberitahuan bahwa dirinya tidak diizinkan melanjutkan tugas akademiknya.

Jenderal Nasution, disamping terkena dampak seperti para jenderal lain penadatangan Petisi-50, ia juga tidak boleh menyampaikan khotbah Lebaran, Jum’atan, ceramah maupun menulis di media. Istrinya sebagai pendiri dan ketua Badan Pembina Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial (BPKKS), suatu badan dengan reputasi tinggi dalam kegiatan sosial di Jakarta sampai menerima Hadiah Magsaysay. Ia juga ketua Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS). Ia oleh Departemen Sosial di keluarkan dari kedua yayasan tersebut, dan bank pemerintah membekukan semua dana BPKKS. Langkah ini menghentikan pengumpulan dana yang dapat dilakukan Ibu Nasution serta jaringan informal yang selama ini ia bina.

Larangan bepergian ke luar negeri juga diberlakukan bagi mereka yang terkait dengan Petisi-50. Sebuah aturan lain dari Menteri Luar Negeri yang ”merekomendasikan” bahwa para penadatangan Petisi-50 harus dikeluarkan dari daftar undangan resmi semua kedutaan besar asing untuk sementara guna ”menghindari kemungkinan mempermalukan pemerintah.” Aturan lain lagi yang mencerminkan kepicikan luar biasa, diterapkan dalam undangan resmi peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Istana.

Jelas sekali pemerintah Soeharto siap untuk melangkah sejauh apapun untuk memastikan para ”musuhnya” membayar kelancangan mereka mengkritik Presiden melalui Petisi-50. Bank-bank pemerintah serta kantor imigrasi memilki ”daftar hitam” untuk memastikan tidak seorang pun dari penandatangan Petisi-50 dapat mengikuti tender pemerintah, memperoleh kredit bank atau pun pergi ke luar negeri. Tanpa ampun, Soeharto mengejar musuhnya sehingga menjadikan presiden sendiri maupun yang para pembangkangnya kehilangan kehormatan.

Buku ini adalah salah satu kajian politik tentang Orde baru di Indonesia yang paling mendalam. Apa yang disampaikan David Jenkins dapat dipercaya karena bukan merupakan desas-desus yang bersifat spekulasi tetapi penulis bukan hanya menyampaikan desas-desus yang beredar di Jakarta pada saat itu, Jenkins betul-betul berkenalan dengan tokoh-tokoh yang menjadi fokus kajian buku ini. Baik yang pro Soeharto maupun para pengkritiknya, serta melakukan diskusi berjam-jam dengan mereka. Wawancara meliputi hampir semua tokoh yang terlibat dalam persaingan yang digambarkan ( walaupun tidak termasuk tokoh yang paling menentukkan, yaitu Presiden Soeharto sendiri).

Buku yang versi aslinya dalam bahasa Inggris diterbitkan kurang lebih seperempat abad yang lalu. Dalam berbahasa Indonesia diterbitkan oleh Komunitas bambu , cetakan pertama April 2010, masih menarik untuk dibaca sekarang dalam kondisi sosial politik yang sangat berbeda. Pada waktu itu sudah ada minoritas perwira yang ingin mengurangi peran sosial politik tentara.

Memang hampir tidak ada yang dapat membayangkan bahwa TNI, sebagai pewaris ABRI, dapat menaggalkan peran politiknya sama sekali atau paling sedikit hampir sama sekali seperti sekarang. Buku ini menunjukkan bahwa perkembangan yang tidak dapat dibayangkan pada satu ketika, bisa terjadi dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.

By: Ali Sodikin



Mengurai Gaya komunikasi Presiden-Presiden Indonesia

Mengurai Gaya komunikasi Presiden-Presiden Indonesia

Oleh : Ali Sodikin

Gaya komunikasi tiap individu, kelompok, komunitas masyarakat bahkan sebuah bangsa ternyata banyak perbedaan dan dipengaruhi bermacam faktor. Dalam konteks ke Indonesiaan, sistem komunikasi kita dipengaruhi dan berkaitan erat dengan sejarah bangsa, sistem masayarakat dan fisafat kita sebagai bangsa. Meminjam teori Almond dan Coleman, sebuah sistem komunikasi terdiri dari dua hal, yakni suasana kehidupan komunikasi pemerintahan ( the governmental communication sphere) dan suasana kehidupan komunikasi masyarakat ( the socio communication sphere).

James Rosseau mendefinisikan lembaga negara terdiri dari tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga lembaga tersebut sangat erat kaitannya dengan governmental opinion maker dalam rangka menkomunikasikan national multi issue. Tetapi lembaga kepresidenanlah yang paling dominan frekuensinya dalam melakukan fungsi komunikatornya, hal ini disebabakan karena dalam sistem politik kita presiden selain sebagai kepala negara juga sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai eksekutif presiden memiliki tugas utama melaksanakan tujuan primer negara melalui berbagai progamnya. Maka wajar jika gaya komunikasi seorang presiden sangat berpengaruh bagi berhasil tidaknya memimpin sebuah negara.

Sebagai individu, tokoh-tokoh yang pernah dan sedang menjabat seorang Presiden kita memilki gaya komunikasi yang berbeda-beda. Dari mulai Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati maupun SBY.

Gaya komunikasi seseorang dapat diteliti dari berbagai aspek komunikasi, salah satunya adalah aspek konteks menurut teori Edward T. Hall (1976). Hall menyatakan dari segi kultur, kebudayaan manusia secara global dapat dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu kebudayaan konteks tinggi (high context culture) dan konteks rendah (low context culture).

Bangsa-bangsa timur, termasuk bangsa Indonesia, umumnya, menganut kebudayaan konteks tinggi; sedangkan bangsa-bangsa barat kebudayaan konteks rendah. Kebudayaan konteks tinggi menghasilkan komunikasi konteks tinggi; begitu juga sebaliknya, Kebudayaan konteks rendah menghasilkan komunikasi konteks rendah.

Menurut Tjipta Lesmana Guru Besar Komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, komunikasi dikatakan berkonteks tinggi manakala komunikator menggunakan ’bahasa bersayap”, bahasa yang hanya bisa ditangkap artinya jika komunikan memahani budaya komunikator. Kegemaran menggunakan bahasa tubuh yang tidak jelas, atau bahasa verbal yang tidak to the point juga petunjuk komunikasi tingkat tinggi. Singkatnya, the meaning of the message is in context. Sebaliknya, dalam komunikasi konteks rendah, komunikan tidak mengalami kesulitan memahami arti pesan yang disampaikan komunikator, sebab jelas, terang dan disampaikan secara langsung atau lugas. The meaning of the message is in the message itself.

Presiden Soekarno

Soekarno dari data sejarah yang kami peroleh adalah sosok orator ulung pada jamannya. Pribadi yang haus ilmu, beberapa disipin ilmu yang sangat digemari Proklamator kemerdekaan Indonesia ini antara lain politik, sejarah , agama dan seni. Masa mudanya terutama dihabiskan dengan membacabuku-buku karangan orang terkenal, seperti buku-buku karya para pemikir dan pemimpin besar dunia antara lain ; Karl Marx, Engels, Lenin, Mao Je-dong, Sun Yat-sen, Montesquieu, John locke, Adolf Hitler dan lain-lain.

Sebagai Presiden pertama Indonesia, Soekarno dikenal karena pidato-pidatonya yang meledak-ledak, penuh semangat dan mampu membakar semangat kebangsaan pemuda Indonesia, misalnya pada saat rapat besar dilapangan IKADA tahun 1945.Seokarno juga dikenal sebagai sosok yang konsisten, terbuka dan sangat gamblang, pola komuikasinya tergolong low kontect atau konteks rendah dan tegas. Ia kerap berbicara apa adanya dengan bahasa yang terang-benderang. Kalau marah ia marah, kadang meledak-ledak. Ia tamperamental, namun memiliki sense of humor yang tinggi. Siapa saja mampu memahami dan mudah menangkap makna setiap kata dan kalimat yang diutarakan Soekarno.

Presiden Soeharto

Presiden kedua Indonesia ini mempunyai citra yang berbeda dengan Soekarno. Gaya Soeharto lebih kalem dan terkesan merakyat, dengan senyum khas orang Jawa Tengah, maka Soeharto dikenal dengan julukan the smiling general. Dalam sejarah negara kita, Soeharto memegang jabatan presiden paling lama yaitu selama 32 tahun. Awal pemerintahannya, Soeharto disambut seperti pahlawan, sampai tahun 80-an kondisi ekonomi bangsa Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat, dikarenakan booming harga minyak bumi dipasaran dunia dan Indonesia adalah negara pengekspor minyak yang cukup besar.

Gaya kepemimpinan Soeharto lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi dengan konsep Pembangunan Lima Tahun. Dalam bidang politik, Soeharto suka tertib, aman dan terkendali, artinya semua elemen kekuatan bangsa harus tertib dan sejalan dengan kebijakan Soeharto. Semua organisasi harus berazas tunggal agar aman dan bisa dikendalikan. Tidak boleh ada yang berbeda. Tahun 1998 Soeharto mundur dari jabatan presiden karena desakan seluruh rakyat Indonesia.

Gaya komunikasi presiden Soeharto sangat kental dengan kultur jawa: banyak kepura-puraan (impression management), tidak to the point dan sangat santun. Komunikasi Soeharto penuh simbol, tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal communication. Orangnya tertutup, konsistensi cukup tinggi dan konteks komunikasi pada umumnya konteks tinggi atau high contect. Maka wajar jika hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengannya yang dapat memahami pola komunikasinya.

Presiden B.J Habibie

Habibie adalah wakil presiden keenam dalam pemerintahan Soeharto, ketika tahun 1998 Soeharto mengundurkan diri habibie naik menjadi Presiden menggantikannya. Desakan berbagai kalangan yang mewakili suara rakyat Indonesia membuat Soeharto tidak mampu mempertahankan kekuasaannya. Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang bukan orang jawa, walaupun ibunya adalah orang Jogyakarta.

Sepintas barangkali banyak kalangan menilai bahwa Presiden Habibie adalah seorang yang cukup demokratis, tetapi banyak kabar miring yang menyatakan kalau pembredelan majalah Tempo pada Juni 1995 andil Habibie sangat besar. Masih kita ingat kasus tersebut dikarenakan pemberitaan yang bertubi-tubi majalah Tempo tentang pembelian 36 kapal perang eks Jerman Timur.

Kasus yang cukup menggemparkan pada masa pemerintahan Habibie adalah skandal Bank Bali. Kasus ini juga menjadi salah satu faktor yang penting penolakan MPR terhadap laporan Pertangungjawaban tahun 1999.

Skandal ini melibatkan atau menyeret sejumlah kerabat dekat Gabibie, pejabat negara dan petinggi Golkar, antara lain Timmy Habibie ( adik kandung Habibie ), almarhum AA Baramuli ( Ketua DPA ), Tantri Abeng ( Meneg BUMN ), Joko S Tjandra ( bos Mulia Group) dan Setya Novanto ( wakil bendehara Golkar ).

Ketika proses investigasi bank Bali sedang berjalan, tiba-tiba beredar apa yang disebut ” catatan harian kronologis bank bali,” yang berisi kronologis lengkap mengenai skandal tersebut. Catatan itu pertama kali dibacakan oleh Kwik Kian Gie dikantor DPP PDIP. Pemerintah Habibie seakan terpojok sebab disana secara gamblang disebutkan keterlibatan beberapa petinggi pemerintah. Rudy Ramli pemilik Bank Bali di depan DPR mengakui 90 persen isi kronologis tersebut adalah benar.

Tidak lama kemudian beredar surat bantahan terhadap kronologis tersebut dibuat oleh ”Rudi Ramli.” Surat bantahan tersebut sempat dibahas dalam sidang kabinet. Presiden Habibie tanpa mengecek kebenaran surat tersebut langsung memerintahkan Muladi ( saat itu Mensesneg) untuk membacakan surat tersebut dihadapan seluruh peserta sidang kabinet. Celakanya, dalam rapat dengar pendapat di komisi VIII DPR, Rudy Ramli mengatakan surat bantahan yang dibacakan Muladi bukan dia yang buat ( Kompas, 12-9-1999, hal 1). Seumur hidup,ucap Rudy, ia belum pernah menuliskan namanya ”Rudi Ramli,” sebab namanya yang benar adalah ” Rudy ramli,” ( pakai y bukan i).

Pengakuan Rudy Ramli benar-benar sebuah tamparan memalukan bagi pemerintah termasuk Presiden habibie. Mengingat surat yang disebut-sebut dibuat oleh Rudy Ramli sendiri telah dibacakan di depan sidang kabinet. Tindakan Habibie itu mencerminkan gaya komunikasi yang penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa memikirkan resiko yang ditimbulkan.

Menurut Muladi salah satu kelemahan Habibie adalah selalu merasa paling benar. Ia memiliki sifat superiority complex. Dia tidak mau kalah dalam berdebat, all out, selalu harus menang, khusus ketika terlibat dalam perdebatan. Sifat superiority complex-nya sangat tinggi barangkali disebabkan oleh kecerdasannya. Bayangkan habibie lulus summa cum laude waktu kuliah di Jerman.

Presiden Abdurrahman Wahid

Pola komunikasi politik Gus Dur sangat terbuka, demokratis tapi juga otoriter dan keras kepala. Sangat implusif, bisa tertawa terbahak-bahak karena rasa humornya sangat tinggi, namun bisa menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya. Gus Dur suka menggertak lawan. Bicara blong, seolah tidak ada filter sama sekali. Konsistensi amat rendah, apa yang dikatakan pagi hari, sorenya bisa dibantah sendiri. Nyaris tidak pernah menyinggung visi-misi dalam pidato-pidatonya. Konteks komunikasinya low context. Gus Dur orang yang sangat kontraversial, sesuatu yang serius, bagi Gus Dur tiba-tiba jadi tidak serius.

Menurut Ryaas Rasjid, Gus dur memang suka guyon dalam berkomunikasi, kalau kita bertemu Gus Dur 1 (satu) jam, bicara seriusnya cuma 15 sampai 20 menit, selebihnya guyonan. Gus Dur memiliki karakter intilektual kuat, tapi mudah dipengaruhi oleh pembantunya, maka di era Gus Dur populer istilah pembisik, informasi yang diterimanya tidak diolah dulu, lalu cepat-cepat dilansir ke publik. Celakanya, sering juga informasi yang sudah dilansir ke publik ternyata salah dan Gus Dur dengan santai berkilah: ” gitu aja dipikirin !”. Maka yang muncul adalah kontroversi. Padahal dia seorang kepala negara, yang ucapannya selalu dijadikan acuan bagi pembuatan kebijakan berbagai elemen masyarakat.

Presiden Megawati Soekarnoputri

Membicarakan Megawati merupakan suatu hal yang sangat menarik, bukan hanya karena Mega putri sang proklamator Bung karno, tapi juga karena Megawati adalah presiden perempuan pertama di Indonesia. Perjalanan politiknya mirip dengan Corazon Aquino dari Philipina atau Benazir Bhutto dari Pakistan.

Kemiripan dengan Aquino adalah karena dua-duanya adalah seorang ibu rumah tangga yang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan otoriter di negaranya masing-masing. Dengan Benazir Bhutto, kemiripan Megawati adalah karena sama-sama lahir dari keluarga mantan presiden. Yang membedakan ketiganya adalah gaya politik Mega lebih santun, lembut dan low profile serta lebih banyak pasif.

Gaya seperti ini yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai suatu kelemahan. Dalam buku Mereka Bicara Mega (2008) ada komentar Frans Magnis Suseno, sikap pasif dan banyak menunggu Megawati dianggap sebagai suatu kelemahan. Jika mega lebih pro aktif menurutnya, tahun 1999 Mega sudah jadi Presiden. Saat itu terkesan sedemikian pasif, cenderung menunggu, seolah-olah jabatan presiden sudah di tangan. Akhirnya gerakan politik yang di motori Poros Tengahnya Amin Rais menjukirbalikkan fakta, Megawati ketua umum PDI Perjuangan yang menguasai mayoritas parleman kalah oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam sidang umum MPR RI tahun 1999. Saat itu Presiden dan Wakil Presiden masih dipilih oleh MPR.

Masih menurut Magnis, setelah menjadi Presiden sikap megawati ternyata tidak banyak berubah, tetap pasif dan pelit bicara. Hal ini menyebabakan pada pemilu legaslatif tahun 2004 perolehan suara PDI P turun cukup drastis, dari 32 persen menjadi 18 persen, turun sekitar 2/5 dari perolehan suara tahun 1999. Ada kepemimpinan yang kurang ”pas” dari diri Megawati, hal ini juga menjadikannya gagal terpilih kembali menjadi Presiden, kalah oleh mantan bawahannya Susilo Bambang Yudhoyono yang di usung Partai Demokrat dengan pasangannya Jusuf Kalla dari Golkar.

Solahudin Wahid, adik kandung Gus Dur, mantan calon wakil presiden pasangan Wiranto pada Pilpres 2004 berpendapat, Megawati dalam pandangannya adalah sosok yang terkesan kurang ramah. Apa karena Ibu Mega pendiam, boleh jadi ya, tapi bisa juga tidak. Menurut tokoh yang pernah menjadi anggota Komnas HAM dan sering dipanggil Gus Solah ini, orang yang mempunyai sifat pendiam bisa bersikap ramah, paling tidak senyum, mengangguk, atau ramah kalau ketemu orang lain.

Jalaluddin Rakhmat atau sering dikenal sebagai kang Jalal, tokoh komunikasi kelahiran Bandung ini mempunyai penilaian terhadap Megawati. Walau Megawati dengan Benazir Buttho bagai pinang di belah dua, tapi Mega di anggap kurang berani, kurang tegas dalam pernyataan dan sikap politiknya.

Anies R Baswedan, Rektor Universitas Paramadina punya penilaian sendiri terhadap Megawati. Alumnus UGM ini berpendapat Megawati dalah sosok politisi yang santun dan memiliki ambang kedewasaan dalam berpolitik. Ketika Megawati kalah dari Gus Dur dan massa pendukungnya kecewa, Ibu Mega meminta dengan lembut agar rakyat menerima dan tidak anarkis. Ia juga meminta agar merelakan dirinya menjadi wakil Presiden, mendampingi Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia. Tindakan demikian, menurut Anies yang semasa kuliah di UGM pernah aktif di HMI-MPO, menunjukkan sikap yang mengajarkan banyak hikmah kepada para politisi, agar memiliki sikap lebih mementingkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan partai.

Sementara menurut Yudi Latif, seorang pengamat politik lulusan Australian national University, Camberra. Megawati dalah sosok Nasionalis Religius, tidak heran karena ibunya, Fatmawati adalah puteri tokoh Muhammadiyah yang berasal dari Sumatera. Oleh karena itu, manakala Megawati mempunyai perhatian terhadap Ke-Isalaman tentulah bukan hal yang aneh.

Menurutnya, Megawati mempunya karakter kuat dalam membela kedaulatan nasional seperti bapaknya Soekarno. Termasuk didalamnya membela orang Islam dari intervensi asing. Misalnya, Megawati berani menolak permintaan asing untuk menyerahkan ketua Majelis Mujahidin Indonesia Abu bakar Ba’asir dideportasi ke Amerika Serikat. Sikap ini lebih pada untuk mengayomi tehadap warga negaranya, kendati Ba’asir dianggap sebagai bagaian dari Islam radikal.

Yudi menganggap sikap ini cukup Islami, karena menekankan nilai keadilan yang sangat diajurkan dalam Islam; bahwa janganlah kebencianmu terhadap satu kelompok membuat kamu bertindak tidak adil. Meski mungkin saja, Megawati secara diametral bertentangan dengan idiologi yang dikembangkan oleh Abu bakar ba’asir.

Tapi problemya adalah citra Megawati diruang publik sudah terlanjur sebagai sosok yang pendiam, pasif, dan tidak pro aktif. Mohamad Sobari sosok budayawan, yang ketika era Presiden Megawati pernah menjadi Pemimpin Umum kantor Berita Antara mengatakan sebagai pemimpin Megawati dikenal pendiam. Kalau ada masalah yang ruwet Cuma mesem (tersenyum) dan ada kalanya dalam menyikapi suatu permasalahan terkesan menyepelekan. Walau tindakan politiknya kongkret.

Menurut laksamana Sukardi, Megawati adalah tipe pemimpin yang tidak memahami masalah. Pola komunikasinya tertutup, sedikit bicara, penuh kecurigaan, pengetahuannya terbatas dan pendendam. Tapi dengan orang dekatnya Mega bisa bicara rileks dan terbuka, tapi lebih suka membicarakan hal-hal biasa, misalnya masalah pribadi.

Hal senada juga di sampaikan oleh Hendropriyono, pola komunikasi Megawati sangat tergantung dengan siapa ia berbicara. Kalau dengan orang dekat, baik menteri atau pengurus partai yang mempunyai kedekatan khusus, ia bisa santai dan terbuka sekali.

Ibu Megawati tidak bisa berkomunikasi secara efektif, lebih suka diam atau menebar senyum daripada bicara. Senyum yang hanya dia sendiri yang mengetahui apa artinya.Pidatonya tersa hambar, suaranya benar-benar datar, nyaris tidak ada bahasa tubuh selama pidato. Megawati membaca kata perkata secara kaku seolah takut kedua matanya lepas dari teks pidato didepannya. Tidak articulate, susah di ajak ngomong serius. Jika pembicaran mengenai pekerjaan, atau negara, daya fokus Mega sangat terbatas, konsentrasinya kurang cukup untuk terus menerus fokus ke permasalahan. Komunikasi politiknya konteks tinggi dan kadar konsistensinya kurang. Komunikasi politiknya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi-misi pemerintahannya. Tanpa diragukan lagi, ia sangat pendendam.

Presiden SBY

SBY Presiden Indonesia yang pertama kali terpilih secara langsung oleh rakyat. Dengan legitimasi yang cukup kuat langsung dari rakyat ternyata tidak membuat kepemimpinan SBY berjalan dengan bagus, para pengkritiknya mengatakan SBY orang yang tidak tegas, lamban dan peragu dalam mengambil keputusan, akibatnya pemerintah lambat dalam menangani banyak hal, terutama kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.

Pidato presiden SBY yang berisi penjelasan dan sikap terkait rekomendasi Tim delapan terhadap kasus hukum dua Pimpinan KPK non aktif Bibit S Rianto dan Cadra M Hamzah menuai kontraversi. Pengamat Politik dan Hukum dari UGM Prof Dr Yahya Muhaimin, dari Universitas Brawijaya Dr Ibnu Tricahyo dan Dr Arnold laoh SH dosen hukum sejumlah perguruan tinggi di Menado serta aktifis dari Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMI) Sulawesi Selatan, Liga Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Makassar dan Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) Sulsel menyatakan pandangan yang hampir sama terhadap pidato SBY tersebut.

Dalam pernyataan yang dirilis Antara News, 24 November 2009, baik Yahya, Ibnu dan Arnold serta Wahida ketua SRMI Sulsel mengeluarkan pernyataan yang senada bahwa penjelasan dan sikap SBY soal kasus Bibit-Candra tidak tegas dan tidak tuntas. Lebih jauh Yahya Muhaimin mengatakan perlu indera keenam untuk memahami isi pernyataan presiden. “Mirip dengan gaya Soeharto, itulah gaya Jawa SBY, tidak langsung dan dengan bahasa-bahasa simbol serta tidak mengambil resiko sebagaimana gaya pemimpin barat,” tambah Yahya.

Sementara Ibnu Tricahyo mengatakan tindak lanjut dari penjelasan dan sikap presiden sama sekali tidak jelas arahnya, bahkan tidak tuntas, mau dibawa kemana arahnya sulit ditafsirkan. “ Kasus pimpinan KPK nonaktif Bibit-Candra itu akan dipetieskan atau abolisi, tidak ada penjelasan sama sekali sehingga masyarakat menjadi bingung, padahal kejelasan sikap presiden itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas,” katanya. Pernyataan SBY hanya untuk menarik simpati publik, sedangkan dibidang hukum, sama sekali tidak ada kemajuan dan hal baru yang bisa menuntaskan masalah tersebut dengan cepat, kata Ibnu menambahkan.

Sedangkan Arnold mengatakan sikap SBY terlalu berhati-hati sehingga menimbulkan kesan tegas terhadap kasus Bibit-Candra.” Pada sisi lain SBY mengatakan bila kasus tersebut dibawa ke pengadilan akan lebih besar mudharatnya dari pada manfaatnya, namun dibagian lain penjelasannya diserahkan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan,” kata Arnold. Menurutnya, penjelasan SBY kurang memberikan kemajuan berarti terhadap penanganan kasus Bibit-Candra. ”sekarang kita menunggu kepolisian dan kejaksaan, apakah memahami penjelasan agar kasus itu diselesaikan diluar pengadilan atau sebaliknya,” tambahnya.

Senada dengan tiga pakar hukum diatas, para aktifis juga menganggap pidato SBY tidak tegas dan tidak jelas arahnya. Dalam jumpa pers bersama dengan LMD dan PMKRI di depan tugu Monumen Pembebasan Irian Barat, Mandala, Makassar dengan penerangan sekitar 10 batang lilin serta pengawalan ketat 50 personel Kepolisian Resort Kota (Polresta) Makassar barat, Wahida ketua SRMI mengatakan,” Kami mengganggap pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak tegas dan tidak jelas arahnya mengenai lanjutan kasus bank century dan proses hukum Candra M Hamzah dan Bibit S Rianto, kami akan terus turun ke jalan hingga kasus ini selesai.”

Berbeda dengan pengamat yang lain, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Yuslim menilai sikap SBY dalam merespon kasus Bibit-candra sudah jelas. Menurutnya, Presiden tidak mau mengintervensi proses hukum karena sebagai kepala pemerintahan sudah ada pembagian kekuasaan, maka sudah seharusnya kasus tersebut dikembalikan pada lembaga penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam konteks pembagian kekuasaan, masalah hukum merupakan wilayahnya penegak hukum. Bukan wewenang Presiden sebagai kepala pemerintahan.”Tinggal sekarang tindak lanjut dari kedua lembaga, untuk mengeluarkan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum,” tambahnya.

Dari kasus diatas, bisa kita analisa, bahwa penjelasan dan sikap SBY dalam merespon kasus Bibit-Candra bisa dikategorikan gaya dan pola komunikasi politik konteks tinggi, menggunakan kata-kata bersayap, tidak to the point, tidak jelas serta tidak tegas arahnya. Pesan yang disampaikan mengambang. Kasus Bibit-Candra sebaiknya tidak dilanjutkan. Tetapi keputusannya diserahkan ke pihak kepolisian dan kejaksaan. Perlu indera keenam untuk memahami pidato SBY, tidak langsung dan dengan bahasa simbol, serta tidak mengambil resiko, sulit ditafsirkan, membuat bingung masyarakat, terlalu hati-hati.

Lebih jelas Tjipta Lesmana menjelaskan gaya komunikasi politik SBY sebagai berikut. Ia ultra hati-hati dalam segala hal. Jadi terkesan bimbang dan ragu-ragu. Konteks bahasa cenderung tinggi, berputar-putar. Walaupun SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna, kata dan kalimat diucapkan dengan jelas dan intonasinya mantap tapi buruk dalam konsistensi, plintat-plintut dan membingungkan publik. Rasa humor kurang, dan emosi cukup tinggi, bahkan bisa lepas kendali. Dimanapun, SBY memperlihatkan wajah yang serius; nyaris tidak pernah tertawa, maksimal tersenyum.

Memang terkadang SBY menggunakan bahasa low context, tetapi secara umum bila kita analisis secara cermat, kita akan mendapatkan kesimpulan SBY lebih sering berbicara dengan konteks tinggi. Ada dua faktor penyababnya. Pertama, kegemarannya menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu permasalahan. Publik pun disuruh menginterpretasikan sendiri apa makna analogi tersebut. Kedua, kebiasaan SBY tidak bicara to the point; yang disampaikan hanya ”hakekat permasalahan”.

Daftar Pustaka

Lesmana, Tjipta. 2008. Dari Soekarno Sampai SBY- Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.

Antara News, 24 November 2009, Chandra SKKP, Bibit SP3-Gaya SBY Mirip Soeharto Antara News, 24 November 2009, Pengamat : Penjelasan Presiden Terkesan Kurang Tegas.

Antara News, 24 November 2009, Aktivis : Pidato Presiden Tidak Tegas Usut Century Antara News, 24 November 2009, Pengamat : Penjelasan Presiden tidak Tuntas.