Jumat, 20 Desember 2013

Etika dan Regulasi dalam Siber dan Media Baru

Etika dan Regulasi dalam Siber dan Media Baru
Oleh : Ali Sodikin

“Kita tidak perlu menciptakan aturan etika baru untuk penelitian online. Kami hanya perlu meningkatkan kesadaran kita dan komitmen terhadap prinsip-prinsip etika yang ditetapkan "-. Jim Thomas, 1999.
Seorang pejabat tinggi negara  dengan keras menyindir para pengkritik pemerintah sebagai pemuda banci. Karena mereka mengkritik  melalui media sosial dengan akun-akun anonim (tersembunyi) atau palsu. Sebuah fenemone baru ketika berkembangnya media baru internet, media sosial menjadi arena pertarungan baru bagi banyak kalangan. Termasuk masalah sosial politik, antara pemerintah dan pihak oposisi. Opisisi yang berserak dari semua lapisan masyarakat bergerak  memanfaatkan jejaringan media sosial untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai gagal dan korup.
Pernyataan pejabat tinggi negara tersebut mungkin saja tidak salah, manusia harus berperilaku gentleman, kesatria, dan terang-terangan dalam mengkritik atau menyatakan pendapat, karena hal itu juga dilindungi undang-undang.  Namun, perspektif modern dan postmodern, membuat perilaku dan budaya manusia juga sedemikian berkembang dan dinamis.  Pemaknaan terhadapa apapun, termasuk perilaku politik tidak lagi menjadi statis. Semua makna apapaun yang berkembang dimasyarakat  bisa dijungkirbalikan, sebagai bentuk dari identifikasi postmodern, yakni menggugat, melawaan narasi-nasarasi besar yang telah ada dan mapan.
Pernyataan pejabat tinggi negara tersebut, menunjukkan dia belum atau bahkan tidak faham logika dan sistem dunia virtual atau media baru. Penggunaan akun anonim dalam dunia virtual, baik facebook, twitter, dan lain sebagainya, adalah penyimpangan yang paling umum dan ringan. Bagaimana kalau situs-situs pribadi para pejabat tinggi negara termasuk Presiden di hacker. Kita tahu Phamtom Dialer seorang hacker muda yang cacat secar fisik dan mental, pada tahun 1992 mampu membobol sistem komputer Portland State University, kemudian digunakan sebagai “Wormpath” untuk mengakses ratusan sistem lainnya di Amerika Serikat, termasuk dinas inteljen, kontrakor pemerintah, laboratorium senjata nuklir dan database rahasia pemerintah.
Seperti kita ketahui , Internet atau media baru, disebut juga sebagai cyber atau virtual. Dunia virtual meski kehadirannya  penuh dengan ironi, berawal dari kerahasiaan, rentan, berpori- banyak, kacau, sistem anarkis, namun demokratis bagi sejarah kehidupan manusia. Bagaimana perkembangan internet bisa bermanfaat bagi demokrasi yang sehat, ada dua tema yang bisa kita urai dan analisis.
Dalam Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet (1998) Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD, menjelaskan secara teori bagaimana internet dapat digunakan siapa saja, civil society, militer dan siapapun, kelompok manapun yang memiliki kepentingan di seluruh dunia. Internet melampaui sensansi dan spekulasi dari banyak penemuan baru dibidang teknologi. Sebuah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang dapat menjadi alat revolusi baru masyarakat sipil, politik, dan demokrasi.  

Digital Media Etics
Internet adalah suatu wilayah yang tak terbatas dan sering tampak tanpa hukum, sering dibandingkan dengan Wild Weat, sebuah analogi dari film bergenre sejarah Amerika versi Hollywood.  Namun, banyak pakar etika tergugah untuk menggagas pentingnya sebuah regulasi untuk mengatasi para akses spekulan yang tidak bermoral dan menyelamatkan banyak korban dari budaya baru digital. Salah satunya adalah Prof Charles Ess, seorang ahli filsafat dan agama dari Drury University dan dia juga seorang mantan Ketua Assosiasi Peneliti Internet di universitas tersebut. Prof Ess memberi kebijakan pokok untuk menjelajah medan etis pada internet yang ia sebut sebagai  “the new mediascape.”
Digita Media Etics adalah buku pertama yang membahas isu-isu etika pada media digital. Mulai dari komputer  dan internet untuk ponsel.  Buku ini memperkenalkan teori etika dari berbagai budaya untuk menjadi pertimbangan isu-isu tersebut dari perspektif global. Contoh-contoh yang dikemukan juga berasal dari kasus-kasus pelanggaran etika moral digital media dari seluruh dunia. Misalnya, publikasi tentang “Kartun Muhammad”, yang memicu kontraversi, karena beragamnya pemahaman tentang  keyakinan dan “privacy” di Facebook atau Myspace.  Kasus lain, bagaimana dan mengapa CD dan DVD bajakan “dibenarkan” di banyak negara berkembang.  Juga banyak variabel dari perspektif budaya tentang  seksualitas, apa yang disebut sebagai “pornpgrafi”.  Kita memperoleh perspektif global pada isu-isu etis pada pusat media digital, termasuk privasi, hak cipta, pornografi, kekerasan, dan etika komunikasi online lintas budaya.

Etika dan Regulasi dalam Siber dan media Baru
Ashadi Siregar  dalam tulisannya “Media Baru Dalam Perspektif Hukum dan Etika” menjelaskan hukum dan etika  membawa standar normatif  dalam tindakan sosial bermedia. Masing-masing menjadi acuan yang berbeda, yaitu dalam lingkup struktural dan cultural. Hukum mengatur keberadaan instutusional media dalam konteks struktural, sedang etika merupakan acuan bagi tindakan personal dalam konteks cultural.  Dengan kata lain, norma dalam posisi institusional media membawa kepada konteks negara (state), sedang posisi personal dalam tindakan bermedia masyarakat sipil (civil society).
Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang norma dalam penyelenggaraan media, boleh jadi berasal dari kerancuan berpikir dalam menghadapi norma. Kerancuan ini akibat ketidakjelasan batas taksanomi sebagai pangkal disiplin berpikir, sebab tumpang-tindih nomenklatur membawa ketidakpastian norma. Kejelasan batas dari norma dan konteksnya dapat dikenali sumber nilai dan sanksi.  
Nomenklatur masyarakat (bersifat sosiologis) dan negara (bersifat politis), ditandai dengan perbedaan norma dan penerapannya. Etika sosial dalam interaksi sosial di satu sisi, dab hukum dan kebijakan publik institusi negara pada sisi lain. Masing-masing menjadi sumber norma bagi warga negara dalm tertib sosial (sosial order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidk diperlukan peran negara. Sebaliknya banyaknya konflik di antara warga negara yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam masyarakat sipil.
Ketaatan atas norma merupakan dialektika dari norma kesadaran etis bersifat cultural dan dari faktor imperatif hukum yang bersifat struktural. Binatang berpolitik (zoon politicon) memerlukan adanya kekuasaan negara untuk mengendalikan, melalui sanksi yang menyakitkan mulai dari kematian, isolasi sosial, dan pembayaran materi. Level berikutnya, norma ditaati manakala sanksi yang secara langsung bersifat pragmatis (gaji ditunda, tidak naik jabatan, atau pemecatan). Selanjutnya, penaatan atas norma kalau ada rasa keterhormatan (shameful feeling). Level-level tersebut bersifat imperatif. Yang terakhir penaatan yang bersifat personal dan otonom berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan untuk memiliki rasa bersalah (guilty feeling).
Menganalisis kondisi masyarakat kekinian, mendefinisikan bahwa masyarakat yang terbentuk dalam kenyataan virtual yang dikenal sebagai masyarakat cyber (cyber society). Dari sini kemudian dikenal adanya ruang cyber (cyber-space) sebagai ajang yang memungkinkan adanya hubungan antar manusia. Karena pengkaji ilmu sosial (termasuk cultural) pada dasarnya akan menghadapi hubungan sosial dalam 3 macam dimensi kenyataan “real” (empiris), simbolik, dan virtual. pertanyaan yang menggugat adalah pertalian di antara ketiga dimensi kenyataan ini, sehingga dikenali adanya masyarakat empiris, simbolik dan cyber. Sejauh mana ketiga jenis masyarakat ini menjadi ruang hidup bagi manusia , agaknya akan menjadi pertanyaan epistemologis yang menantang. Interkonekstual ketiga macam kenyataan ini tidak pelak akan menuntut perombakan dalam orientasi dan landasan epistemology cabang-cabang ilmu sosial.
Sejak diundangkannya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, domain komunikasi bermediasi komputer.CMC telah diatur oleh negara. Dengan begitu struktur sosial yang melingkupi CMC diatur oleh kekuasaan negara. Untuk itu perlu dilihat sejauh mana nanti negara dapat menjadi faktor CMC, apakah bersifat positif bagi kemajuan atau sebaliknya.
Lebih dari itu, pertanyaan besar bagi kita adalah, pakah sistem negara kita (pemerintah) memiliki kemampuan teknologi dan sistem dunia virtual, hingga mampu menegakkan hukum yang ada. Karena tidak akan ada artinya sebuah undang-undang, jika pemerintah tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menegakkkanya (pegang kendali). Karena dunia virtual adalah dunia siapa pegang kendali. Dan dunia virtual adalah bicara mengenai siapa yang pegang kendali, mengendalikan kekuasaan, legitimasi, kepercayaan, catatan dan keamanan kehidupan modern.

Daftar Pustaka
Ess, Charles. (2009). Digital Media Ethics. (Cambridge and Malen, MA: Polity Press).
Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD. (1998) Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet. Rowman & Littlefield.
Siregar, Ashadi. Media Baru dalam Perspektif Hukum dan Etika. (2011). http://ashadisiregar.wordpress.com






Jumat, 13 Desember 2013

Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet.

Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet.
Oleh : Ali Sodikin 

Dunia virtual dengan kemajuan  teknologi media baru yakni internet ternyata bukan hanya menghadirkan fenomena baru bagi segala sisi kehidupan manusia, namun juga kompleksitas, kerumitan, kerancuan dan resiko-resiko baru. Menyadari situasi ini, setiap hal apa saja dokumen yang anda tulis secara elektronik  yang dikirim kepada siapapun, mungkin saja tersembunyi dalam pesan e-mail , alamat dan sistem informasi lainnya tidak dihapus, atau ditimpa dengan benar. Bayangkan dan pikirkan e-mail yang tidak benar atau memalukan yang pernah kita kirim ke orang lain. Bayangkan bahwa seseorang bahkan mungkin ratusan orang bisa membacanya.  Sekarang apa konsekuensi yang bakal diterima bagi seorang pengacara, perwira inteljen, petugas sosial, professor medis, atau politisi. Begitu banyak privasi, kerahasiaan dan mungkin sesuatu yang sangat rahasia.
Bagi kita, orang Amerika atau bukan, munculnya  komputer, internet dan juga dunia virtual adalah salah satu perkembangan yang paling mendebarkan dan juga mengerikan. Tulisan pendek ini mencoba mengulas secara singkat dari literatur yang meledakkan dan menggegerkan Amerika akibat dampak dari revolusi digital. Topik yang sangat penting, khususnya ilmuan politik dan spesialis kebijakan harus mencermatinya secara serius.
Kita mulai dari cerita buku yang langka, akun seorang hacker muda Phantom Dialer (infomaster). Seorang yang cacat fisik dan mental.  Pada tahun1992 ia mampu membobol sistem komputer Portland State University, yang kemudian digunakan sebagai  wormpath untuk mengakses ratusan sistem lainnya di seluruh Amerika Serikat termasuk inteljen, kontraktor pemerintah, laboratorioum senjata nuklir, dan database rahasia pemerintah.  Dia salah satu yang menakutkan, dia yang tahu, limpahan pertama dari penjahat virtual . mann dan Freedman melukiskan gambaran memadai yang menakutkan  keamanan dan sistem yang rentan.
Meskipun over-hyped, ancaman tertutup dari sesuatu atau seseorang yang tak berarti “kerupuk’, penderita skizofrenia, penjahat, moners kebencian, teroris, dan instansi militer asing bahkan koyriding yang mapan  atau usaha kejahatan yang dengan serius menembus secara sensitif dan berpotensi mematikan jaringan komputer.  Sudah cukup waktu kiranya untuk mengambil Gloss Of the wonderful  of world computer sebagai sesuatu yang membebaskan dan mencerahkan.  Membaca buku ini seperti sebuah thriller  tetapi  membuat pembaca tertegun ketika FBI memutuskan untuk tidak menunt setelah menangkap pelaku penyusupan.
Kevin Mitnick, seorang hacker komputer paling terkenal di dunia melakukan hal yang sama beberapa tahun kemudian. Tahun1995, ia berhasil menerobos masuk ke dalam komputer pribadi ahli keamanan terkenal di dunia, Tsutomo Shimomura.  Beberapa buku yang ditulis tentang kasus akun pribadi Shimomura ini,  penerobosan (takedown) ini  adalah yang paling detail dan sangat kuat, kekuasaan yang besar dan massif.  Buku-buku lain yang mengupas kasus-kasus serupa misalnya Master of Deception:  The Gang That Ruled Cyberspace, by Michele Slatalia and Joshua Quittner (1995), dan Cyberpunk :  Outlaws and Hackers on the Computer Frontier, oleh Katie Hafner and John Markoff (1991).
Dalam The Hacker Crackdown is Bruce Sterling's classic on the 1990, digambarkan penumpasan oleh penegak hukum pada hacker dan pelanggar hukum komputer yang dikenal sebagai Operasi Sundevil, akibat dari kecelakaan  sistem switching jarak jauh American Telephone & Telegraph. Ini mengeksplorasi dimensi lain dari hukum dan ketertiban internet.
Ini hal yang mengeksplorasi dimensi lain dari hukum dan ketertiban internet.  Sterling adalah lelaki muda yang memulai aktivitas sebagai hacker pertama ketika bekerja sebagai operator telepon on-lin yang isinya joke-joke untuk keluar dari kebosanan.  Dia kemudian pindah ke dunia hacking dan mengkaji isu-isu kompleks dengan mengurai kekhawatiran akan kebebasan sipil  terhadap kepentingan penegakkan hukum yang ditimbulkan internet. (Dalam kasus Operasi Sundevil, file, disk, dan komputer disita dari orang-orang yang bahkan tidak pernah dituduh kejahatan).  Efek budaya yang  muncul dan menarik adalah seringkalinya orang-orang yang telah menjadi korban oleh para hacker. Diskusi yang luar biasa, bagaimana Sterling melakukan gerakan kebebasan sipil pada on-line, yang muncul sebagai tandingan dari Grateful Dead, layak dibaca dan sangat mencerahkan.
Frantzich memiliki dua kontribusi  melalui buku-buku yang berguna pada subjek ini , yakni : Computers in Congress and Political Parties in the Technological Age.  Steve Frantzich adalah pelopor dalam analisis teknologi dan politik serta praktisi lama. Setelah  menjabat sebagai  Presiden of the American Political Science Association's Computers and Multimedia section, ia menulis serangkain buku yang memberi satu harapan tentang dampak komputer pada aspek-aspek politik dan kebijakan tertentu. ("Computers and Agricultural Policy," "Computers and National Security," "Computers and Political Campaigns," etc.).
Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD, dalam Cyberpolitics : Citizen Activism In The Age Of Internet (1998), menjelaskan studi empiris pertama tentang bagaimana internet digunakan tidak hanya oleh warga negara, tetapi juga kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan di seluruh dunia. Kami melampaui sensasi dan spekulasi dari banyak karya baru, alih-alih menempatkan berbagai klaim tentang internet dan tes untuk politik (hal ii).
Mereka menemukan, meski pengguna internet yang terlibat dalam politik di Net lebih liberal, berpendidikan, dan juga kaum lelaki dari berbagai lapisan masyarakat luas, dan  isi dari kelompok-kelompok politik  Usenet, Website, dan Amerika di Jalur (AOL) chatroom yang sangat konservatif.  Namun mereka juga menemukan bahwa halaman Web ekstrimis konservatif dan sayap kanan adalah "... lebih tinggi-profil dan canggih daripada sayap kiri dan liberal rekan-rekan mereka" (hal. 1). Para penulis meninjau ribuan pesan Usenet, halaman Web, dan AOL diskusi chatroom selama periode tiga tahun.
Namun,  banyak kalangan bertanya-tanya  bagaimana menilai media yang baru-baru ini mengumumkan "Bob Hope sudah mati!" (dia tidak seperti tulisan ini) dan mengklaim bahwa rudal telah menembak jatuh pesawat Pan Am 400 di atas Long Island.  Menemukan bahwa kelompok-kelompok oposisi di seluruh dunia yang lebih menonjol di internet dengan margin yang signifikan secara statistik adalah informasi yang berguna, meski tidak mengejutkan. Zapatista di Chiapas, Meksiko, Tupac Amaru di Peru, dan pembangkang Cina semua, tentu saja, memiliki kehadiran Web. Namun, saya bertanya-tanya - apakah ini memberi mereka "kekuasaan politik virtual," dan berapa banyak penghiburan itu? Meskipun demikian, buku ini adalah bacaan wajib bagi setiap ilmuwan politik dan kebijakan.
Edwards  dalam The Closed World: Computers and the Politics of Discourse in Cold War America , menjelaskan bagaimana komputer telah muncul sebagai teknologi dominan sebagai akibat langsung dari politik perang dingin dan riset-riset pertahanan itu dilahirkan.  Hasil penelitian Pentagon mengasumsikan bahwa inteljen dan perang akan lebih mudah dan mulus dibawah komando dan kontrol komputerisasi. Ironisnya, Edwards menceritakan, bahwa pengembangan komputer awalnya dimulai pada kerahasiaan total dan telah berkembang menjadi yang terbesar, yang paling berpori, rentan, demokratis, kacau, sistem anarkis informasi  dalam sejarah manusia.
Cyberfutures memberikan komputer sebagai isu yang penting dan menarik bagi dunia kampus, teknologi dan jaringan datang ditengah panggung kehidupan warga dan organisasi. Esai-esai kemudian ditulis oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Buku ini menarik bagi orang-orang di berbagai bidang seperti kajian budaya, antropologi, kebijakan dan media massa.
Anda akan kesulitan waktu untuk menemukan Dinty Moore's book, The Emperor's Virtual Clothes: The Naked Truth about Internet Culture. Mungkin penjual buku telah keliru dengan memberi buku resep masak tentang Beef Stew atau mengajukan komik strip "Bringing up Father," yang memiliki karakter dengan nama Dinty Moore. Mungkin juga karena penerbit tidak jelas. Apapun masalahnya,  Professor Moore's (Penn State University, Altoona campus) buku adalah skeptis berguna yang lucu, terlihat rewel di dunia virtual-tur aneh di internet, fokus pada istilah dan kelemahan. Pertanyaan yang diunggulkan pada akhir kata pengantar, adalah :
[I]s the electronic culture revolutionary, transformational, dazzling, and will it change our lives? Is it the Next Big Thing? Or is it just the Emperor's New Clothes?
Apakah revolusi budaya elektronik, transformasional, mempesona, dan itu akan mengubah hidup kita? Apakah hal besar berikutnya ? Atau itu hanya pakain baru para penguasa ? jawabanya adalah bahwa internet adalah sesuatu yang kacau, memutar, melelahkan, palsu, sangat tidak memuaskan, bahkan media yang melelahkan, namun menarik, brillian,dan penting. Moore jelas ingin mengabaikan internet. Dia menulis sayang dari Thoreau pergi ke hutan dan menjalani kehidupan sederhana. Pada akhir buku ia mengatakan hanya ingin "berkendaraan  ke sebuah hutan yang nyata, memarkir mobil saya, melangkah keluar, dan melihat pemandangan panjang  yang baik ."
Namun, satu halaman sebelumnya (hal. 202), ia mencatat bahwa melarikan diri dari kemajuan umat manusia, mengabaikan gerakan maju yang tak terelakkan, adalah fantasi yang cukup umum, tapi tidak banyak dari kenyataan. Fakta sederhanannya adalah, ini ada pada masa depan kita.


Daftar Pustaka :

Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD. (1998) Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet. Rowman & Littlefield.

Grimsley, K. D. (1998). Beep her to get the fax about the voice mail on her e-mail: Workers are becoming overwhelmed by information overload. Washington Post Weekly Edition

Hafner, K., & Markoff, J. (1991). Cyberpunk: Outlaws and hackers on the computer frontier. New York, NY: Simon & Schuster.

Slatalla, M., & Quittner, J. (1995). Masters of deception: The gang that ruled cyberspace. New York, NY: HarperCollins.


Jumat, 15 November 2013

Budaya Visual dan Media Digital Storytelling

Budaya Visual dan Media Digital Storytelling
Oleh :  Ali Sodikin [1]

Masa kecil penulis yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah dan kebetulan rumah orang tua berada di samping  masjid membuat banyak kenangan tentang kegiatan keagamaan. Ada pengajian rutin setiap seminggu sekali di masjid tersebut. Anak-anak yang tinggal disekitar masjid biasanya ikut-ikutan mendengarkan ceramah dari para kyai atau ustdaz, meski pada akhirnya kita sebagai anak-anak lebih senang bermain-main. Karena sesungguhnya motif mengikuti pengajian tersebut adalah agar mendapat bagian kue-kue yang biasanya disediakan oleh ibu-ibu jamaah.
Namun sedikit banyak kita masih ingat bagaimana para kyai atau ustadz berceramah di hadapan para jamaah.  Tentang apa saja yang berkaitan dengan soal-soal agama. Termasuk cerita tentang nabi-nabi utusan Allah.  Para penceramah biasanya bercerita secara lisan dengan berbagai gaya termasuk diselipi lelucon dan sebagainya.
Ketika sekolah di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, guru-guru juga banyak yang suka mendongeng. Namun cara mendongengnya sudah mulai berkembang dengan dilengkapi buku-buku dan juga disertai gambar-gambar di papan tulis.
Dari cerita dan dongeng yang disampaikan oleh ustadz dan guru-guru, kian berkembang mendengarkan radio dan televisi. Di era tersebut radio-radio siaran swasta  tumbuh berkembang di  kota penulis.  Siaran yang biasanya kita tunggu-tunggu adalah sandiawara radio. Kita lebih meresapi sandiwara radio tersebut karena dibumbui dengan suara musik-musik, suara-suara kuda, benda tajam saliang berbenturan ketika silakon sedang berkelahi dan sebagainya.
Acara televisi yang menarik adalah film-film kartun dan ketika lahir salah satu televisi pendidikan, kita mulai gemar menonton karena ada film-film Bolliwood yang banyak adegan perangnya.  Ada perkembangan yang sangat pesat pada teknologi komunikasi dan informasi, menyebabkan sebuah cerita atau dongeng-dongeng yang pada awalnya diceritakan secara lisan menjadi lebih hidup dengan visual atau audiovisual.
Dengan perkembangan teknologi, cerita atau dongeng tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku-buku. Lebih maju lagi sebuah cerita, dongeng, peristiwa dan kejadian didokumentasikan dalam bentuk digital. Perubahan besar terjadi karena, cerita-cerita tersebut bukan lagi para ustadz, guru atau orang tua, tetapi cerita dalam bentuk  sandiwara radio, film, kartun, animasi dan sebagainya.
Perkembangan yang sangat pesat pada penemuan teknologi terjadi juga pada teknologi komunikasi dan informasi. Kondisi tersebut  melahirkan apa yang disebut sebagai budaya visual. Menurut  Pilliang (2003:151-152) dominasi dunia citraan tersebut telah menciptakan sebuah budaya baru yang disebut budaya visual (visual culture), yaitu sebuah budaya yang bertumpu pada unsur-unsur visual sebagai unsur utama pembentuknya.
Masih menurut Piliang, kondisi tersebut bukan hanya berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga memicu perkembangan ilmu imologi. Suatu keilmuan tentang  komunikasi dan pencitraan. Bagaimana citra atau image dibentuk lebih sempurna dengan peran teknologi informasi. Imu imologi menjadikan media-media seperti televisi, video, internet, satelit dan virtual berperan besar dalam mengkonstruksi pencitraan dan pengemasan. Bahkan media-media tersebut mampu menciptakan animasi-animasi yang dikemas sedemikian rupa hingga seakan-akan menjadi sesuatu yang nyata, meski pada dasarnya adalah semu atau maya.
Definisi lain soal budaya visual disampaikan Sachari (2007). Menurut  Sachari, budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep (nilai) dan kebudayaan materi (benda) yang dapat segera ditangkap oleh indera visual (mata), dan dipahami sebagai model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. (Sachari. 2007:1).
Sachari (2007) menjelaskan bahwa budaya visual tak sekedar pakaian dari sebuah dunia material, namun merupakan sebuah subtansi dari struktur budaya pembentuknya.  Faktor-faktor pembentuknya adalah kreatifitas nilai, inovasi, penciptaan teknologi baru, ideologi, komunikasi, strata sosial, sistem sosial , konflik sosial, globalisasi ekonomi, hingga hal-hal yang mendasar dalam terciptanya suatu peradaban.
Salah satu contoh adalah dalam dunia periklanan yang sangat kapitalistik. Pada pemikiran klasik, iklan melalui media apapun termasuk televisi, fokus utamanya adalah menjual barang dan jasa bukan menghibur. Menurut Horace Schwerin yang dikutip oleh David Ogilvy (1987; 170) tidak ada hubungannya antara rasa suka kepada iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut.  Namun kini, perkataan Schwerin tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur  sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik.
Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi pencitraan itu dilakukan malalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu.  Ini adalah contoh bagaimana teknologi mampu menciptakan theatre of mind dalam dunia kognitif masyarakat.
Pencitraan yang dikonstruksi ini sangat penting dalam mengendalikan kemauan copywriter dan produsen. Dan ketika pencitraan itu dimaknakan oleh pemirsa sebagai kemauan copywriter, maka sesungguhnya terjadi kesadaran palsu terhadap realitas semu yang digambarkan dalam iklan sebagai suatu hiper-realitas.
Pada umumnya pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan. Walaupun tidak jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa pencitraan terhadap satu objek iklan. Pada beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai berikut :
Pertama, citra perempuan yang menurut Tomagola (1998: 333-334), citra perempuan ini digambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggiran, dan citra pergaulan.  Dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis seperti menstruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut panjang (iklan-iklan sampho) dan sebagainya.  Dengan imologi citra tersebut menjadi sangat kuat dan seakan perempuan  yang sempurna adalah perempuan yang ada dalam iklan.
Kedua, citra maskulin. Iklan-iklan jenis ini mempertontonkan  kejantanan, otot laki-laki, ketengkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin.
Ketiga, citra kemewahan dan eksklusif.  Suatu realitas kehidupan yang banyak diidamkan orang adalah kemewahan dan eksklusif. Banyak orang bekerja keras, berjuang bahkan harus korupsi untuk memperoleh realitas kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi memproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud member simbol-simbol kemewahan ke dalam objek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial. Kelima citra kenikmatan, keenam citra manfaat, ketujuh citra persahabatan, dan kedelapan citra seksisme dan seksualitas.  
Perkembangan dalam budaya manusia dalam berkomunikasi untuk kepentingan apapun termasuk iklan  dengan memanfaatkan kemajuan teknologi multimedia  inilah yang disebut digital storytelling.  Citra iklan makin canggih dengan makin beragam produk lewat media  gambar, musik, narasi dan suara secara bersamaan, sehingga memberikan dimensi dan warna yang lebih hidup bagi karakter, situasi, pengalaman, dan realitas tertentu.
Digital Storytelling is the modern expression of the ancient art of storytelling. Digital stories derive their power by weaving images, music, narrative and voice together, thereby giving deep dimension and vivid color to characters, situations, experiences, and insights. Tell your story now digitally” – Leslie Rule, Digital Storytelling Association.
Digital Storytelling meliputi praktik bercerita dengan menggunakan media digital dalam multimedia seperti slideshow, narasi di blog dan media sosial, narasi interaktif dan game, video amatir di Youtube, hingga film yang diproduksi oleh para profesional. Digital Storytelling tidak hanya tentang penceritaan yang dilakukan oleh orang-orang terlatih seperti copywriter, visualizer,  pekerja film, drama, atau media. Digital Storytelling berkaitan dengan literasi visual dan narasi digital yang dilakukan oleh masyarakat berbasis teknologi digital.

Mediasi dan mediatisasi
Mediasi dan Mediatisasi diperkenalkan dalam kajian media sebelum teknologi digital diaplikasikan dalam storytelling. Definisi kedua konsep ini tumpang tindih dan sering diperdebatkan mana yang lebih tepat untuk mengkaji media bagi masyarakat. Mediasi dianggap memiliki definisi yang lebih netral terkait transmisi atau pertukaran pesan melalui media tanpa berhubungan langsung dengan otonomi media atau pengaruhnya bagi masyarakat, sedangkan Mediatisasi lebih memiliki muatan manipulatif dan cenderung digunakan dalam iklan komersial maupun konteks politik.

Mediasi menitikberatkan pada media dan bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi melalui media tersebut. Mengkaji terutama transmisi pesan dan aspek semiotik pada media sehingga simbol dalam hubungan antara media sebagai pesan dan penerima pesan dapat dipahami.  Mediasi lebih menyorot aspek “teknis” bagaimana komunikasi berlangsung. Mediasi menyelidiki bagaimana media dapat menyampaikan pesan, bagaimana penerima pesan saling memahami simbol-simbol yang dikomunikasikan oleh media tanpa memandang pengaruhnya.

Mediatisasi berkaitan dengan pengaruh media terhadap khalayak dan bagaimana kemudian khalayak menjadi sangat bergantung pada media. Mediatisasi berkaitan erat dengan hubungan media dan perubahan sosio-kultural dalam masyarakat. Mediatisasi adalah proses sosial dimana masyarakat menjadi jenuh dan terbanjiri oleh media sehingga media dan masyarakat dianggap tidak lagi dapat dipisahkan.

Mediatization is a social process whereby the society is saturated and inundated by the media to the extent that the media cannot longer be thought of separated from other institutions within the society”- Stig Hjarvard

Dengan mediasi dan mediatisasi, kita dapat mengkaji bagaimana masyarakat periklanan dalam televisi mengkonstruksi dan membangun kesadaran palsu melalui digital strorytelling untuk member kesan kuat terhadap produk yang diiklankan. Iklan-iklan berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.





Sumber tulisan
Lundby, Knut. 2008. Digital Storytelling, Mediatized Stories: Self-Representations in New Media. New York, Washinton, D.C./Baltimore, Bern, Frankfurt am Main, Berlin, Brussels, Vienna, Oxford: Peter Lang.
Lundby, Knut. (Ed) (2008). Digital Storytelling, Mediatized Stories: Self-Representations in New Media. New York, Peter Lang Publishing Inc. 2008.
 Piliang, A Yasraf.2003. Hantu-hantu Politik dan matinya Sosial. Solo. Tiga Serangkai.
 Hartley, John dan McWilliam, Kelly. 2009.Story Circle: Digital Storytelling Around the World (ed). West Sussex. Blackwell Publishing.
 Sachari, Agus. 2007.Budaya Visual Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga.
 Miller, H Carolyn.2008. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to Interactive Entertainment 2nd-ed. Oxford. c.
 Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.


 [1] Mantan Ketum HMI Pustara Periode I, Wasekjen PTKP PB HMI 2006-2008. Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Pengajar STAI Publisistik Thawalib Jakarta. Mahasiswa Megister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta.
 




   



Senin, 26 Agustus 2013

Fenomena Penggunaan Musik Populer Melalui Jejaring Media Sosial Pada Pilpres Meksiko Tahun 2012 Pasca “Musim Semi” Gerakan Revolusi Timur Tengah Dan Pilkada DKI Jakarta 2012



 Fenomena Penggunaan Musik  Populer Melalui Jejaring Media Sosial Pada Pilpres Meksiko Tahun 2012 Pasca “Musim Semi” Gerakan Revolusi Timur Tengah Dan Pilkada DKI Jakarta 2012
Oleh : Ali Sodikin [1]


Musik Rock Pada Pilpres Meksiko Tahun 2012
Artikel ini adalah analisa terhadap hasil penelitian Magdelana dari university of Colorado Boulder tentang  model kampanye yang menggunakan media musik rock (populer) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yakni situs jejaring sosial menjelang Pemilihan Presiden Meksiko Juli 2012.  Gerakan tersebut menamakan  dirinya Gerakan Musicos con YoSoy132 yang digagas  para aktivis pro demokrasi karena melihat proses transisi demokrasi berada pada titik nadir. Kehidupan politik yang demokratis terancam dengan bangkitnya rezim semi-otoriter dan telah siap untuk merebut kembali kekuasaannya. Rezim yang pernah berkuasa selama hampir tujuh dekade tersebut telah digulingkan oleh rakyat Meksiko pada fase tahun 2000-an. Maka Pilpres Meksiko tahun 2012 adalah pertaruhan besar bagi kelangsungan kehidupan demokratis disana.    
Silang pendapat dan perang opini  tentang Pemilu yang bebas dan adil, bias media (media konvensional banyak dikuasai pengusaha pro status quo), dan pentingnya partisipasi aktif  pemilih disebarluaskan kepada khalayak, terutama kaum muda (anak gaul) sebagai pemilih pemula yang memiliki kecenderungan apolitis. Proses pembangunan, pembentukan opini dan gagasan tersebut   disebarluaskan dengan menggunakan media musik rock yang sedang populer untuk mempengaruhi mereka, anak-anak muda tersebut agar tidak golput dan bergabung, serta berperan aktif dalam Pilpres guna menyelamatkan transisi demokrasi yang sedang berkembang di Meksiko.  
Menurut penelitian para sarjana ilmu komunikasi, gerakan aktivis-aktivis pro demokrasi di Meksiko tidak terlepas dan  terinspirasi  gerakan di Timur Tengah yang dikenal sebagai “musim semi gerakan revolusi di Timur Tengah”. Fenomena ini banyak menjadi bahan penelitian para sarjana komunikasi dan telah banyak menghasilkan teori-teori, pendapat dan kesimpulan tentang kejadian terkini di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pemilihan Presiden Meksiko telah dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2012,  Pemilu tersebut dipandang sebagai momentum yang sangat penting karena menjadi semacam puncak pertarungan gerakan pro demokrasi dengan kekuatan  partai politik lama yakni Partai Revoluisioner Institusional (PRI) yang oleh para ahli disebut sebagai rezim “semi-otoriter (Levi Bruhn &Zebadua. 2006). . Kondisi kritis tersebut disebabakan karena kekuatan PRI masih memiliki basis dukungan finansial kuat. Hal tersebut menjadikan peluang dan potensi mereka untuk mengembalikan kekuasaannya masih cukup besar. Meski kekuasaan PRI telah dijatuhkan pada dekade 2000an  namun sejarah mencatat rezim ini pernah mendominasi kekuasaan politik dan pemerintahan Meksiko selama lebih dari 70 tahun.  
Partai Revolusioner Institusional (PRI) yang telah digulingkan pada tahun 2000, adalah salah satu penyebab lambatnya proses demokrasi di Meksiko selama puluhan tahun. Berakhirnya pemerintahan semi-otoriter PRI menjadi tahap awal bagi tumbuhnya proses  demokrasi yang meski pondasinya  masih rapuh, tetapi secara resmi dapat dicatat dimulai pada tahun  2000.
Namun pada tahun 2012 kondisi tersebut ancaman terhadap demokrasi muncul kembali karena pencalonan  Enrique Pena Nieto dari PRI. Dengan slogan dan janji tentang pentingnya stabilitas Meksiko dan mengurangi konflik kekerasan yang terjadi selama transisi demokrasi , Enrique sendiri memimpin langsung kampanye PRI. Hal tersebut membangkitkan ingatan bayangan trauma masa lalu dan menimbulkan ketakutan serta momok  baru bagi rakyat Meksiko akan kembalinya mereka pada jaman otoritarianisme, koorporatisme, kronisne dan ancaman serius bagi demokrasi.
Musim semi 2012 menjadi momen penting bagi sejarah kontemporer Meksiko, bagaimana masyarakat sipil dari kaum muda yang terbukti berpengaruh di akhir 1990-an yang telah meruntuhkan kekuasaan PRI pada tahun 2000-sebagian besar telah memudar kepeduliannya pada situasi politik selama dua sexenios (istilah periode presiden enam tahun).
Orang muda yang telah terbukti menjadi agen perubahan pada tahun1990-an, tampaknya mulai memudar dari aktivitas politik pada tahun 2000-an, salah satu indikatornya adalah pergeseran pada selera warna musik populer di Meksiko. Musik rock yang pada tahun 1990-an sangat populer dan pada saat itu menjadi spirit wacana dan  perlawan politik kaum muda perlahan mulai redup. Selera musik kaum muda Meksiko bergeser pada musik-musik yang lembut yang terpola dan dianggap lebih sopan tanpa muatan politis, alih-alih menjadi kekuatan politik.  
Namun kondisi tersebut berubah  dratis menjelang pemilihan presiden tahun 2012, gemuruh  musik rock Meksiko menunjukkan ‘percikan’  yang mampu menggalang kesadaran dan tindakan kolektif anak muda yang mengejutkan.  Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk didalamnya jejaring media sosial (SNSs), sebuah kelompok aktivis pro demokasi yang disebut Musicos con YoSoy132 (Musisi bersama saya 132) meluncurkan kampanye online yang dirancang untuk meningkatkan partisipasi kaum muda dalam Pilpres melalui gerakan pemantauan pemilu, literasi media, dan meningkatkan jumlah peserta pemilu. Meskipun Musicos con YoSoy132 tidak secara eksplisit mendukung salah satu kandidat, namun gerakan kampanye-nya yang ditujukan pada kaum muda Meksiko yang telah lebih dari 30 tahun lebih tidak mengenal partai dan gerakan PRI sentries. Namun dapat dianalisis secara tersirat bahwa kelompok ini berupaya menggagalkan keinginan naiknya  Pena Nieto dan PRI.
Pada artikel ini, Magdelana meneliti Musicos con YoSoy132, aktivitas online-nya pada saat genting dalam perpolitikan nasional Meksiko. Karena kondisi tersebut terjadi sejalan dengan pemberontakan dan revolusi yang terjadi di Timur Tengah dan afrika Utara (MENA). Karena posting-posting mereka dapat diteliti bahwa konteks gerakan ini memiliki persamaan dengan posting-Spring Arab, kesamaannya yang paling menonjol adalah dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan situs jejaring sosial (SNSs), meski tujuan dan sasaranya politiknya berbeda dan efeknya juga sangat bervariasi.
Magdelana meneliti dua proses yang saling melengkapi untuk mencari hubungan antara teorisasi TIK, media sosial dan gerakan sosial kontemporer. Dua proses tersebut adalah : 1). Peran TIK dalam kancah musik rock Meksiko dan bagaimana aktivitas yang mengambil dimensi politik yang seharusnya telah ditinggalkan 2). Bagaimana TIK dan SNSs digunakan kaum muda Meksiko sebagai alat dan ruang untuk kegiatan politik. Pada akhirnya, kasus Musicos con YoSoy 132 memberikan kesempatan untuk secara singkat meneliti peran musik populer dalam gerakan sosial kontemporer termasuk Pemilu.

Musik Populer, Media Sosial dan Kemenangan Jokowi-Ahok
            Fenomena penggunaan musik-musik yang populer di tengah masyarakat (Rock, Pop, Dangdut, dan sebagainya) melalui jejaring media sosial  untuk menggalang kekuatan publik dalam pergerakan sosial kontemporer telah menjadi trend kekinian. Kita bisa melihat ‘musim semi’ gerakan revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara, Pemilihan Presiden Amerika dan kemenangan Obama.
            Begitu juga dalam pergerakan politik kontemporer di Indonesia, fenomena tersebut menjadi trend baru, bagaimana video-video musik berbagai aliran hasil kreativitas anak muda, yang disebarluaskan melalui jejaring media sosial  memiliki peran besar pada kemenangan Jokowi-Basuki pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Kemenangan yang sangat luar biasa, karena Jokowi-Ahok mampu mengalahkan incumbent Foke-Nara.
 Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kunci kemenangan Jokowi yaitu komposisi pemilih kelas menengah yang besar, strategi pendekatan yang tepat ke pemilih, dan media yang berpihak pada Jokowi.
Suka tidak suka, media juga berperan penting dalam memoles brand Jokowi. Berita - berita tentang Jokowi lebih banyak yang memiliki sentimen positif dibanding Foke baik di media konvensional maupun online.
Strategi pendekatan yang tepat kepada pemilih pemula (kaum muda) dengan kampanye melalui lagu-lagu parody dengan latar belakang musik populer (rock, pop, dangdut) dan disebarluaskan melalui media sosial, adalah salah satu faktor penentu kemenangan Jokowi-Ahok.
Seperti contoh video parodi What Makes You Beautiful by One Direction menjadi salah satu faktor kemenangan pasangan Jokowi - Ahok (Basuki). Video yang dipublis tanggal 25 Agustus 2012 hingga Kamis, 30 Agustus  pukul 6.00 WIB, video tersebut sudah ditonton oleh 520.129 orang. Bahkan sebelum pemilihan suara pada putaran kedua, video tersebut telah dikunjungi oleh lebih dari 1,5 juta penonton.
Video berdurasi 3 menit 22 detik ini diunggah oleh 'CameoProject', lirik  lagu One Direction diubah dalam bahasa Indonesia, lagu itu menceritakan sejumlah warga DKI Jakarta yang hendak membuat KTP. Karena terlambat bangun, maka mereka menjadi terburu-buru, namun ironis jalanan  Jakarta macet setiap harinya. Ditambah petugas kelurahan juga terlambat datangnya. Datang calo (entah kenapa harus berkumis tebal), berjanji akan membantu pembuatan KTP, tetapi mereka harus membayar uang pelicin.
Video parody tersebut, menggambarkan betapa sulitnya persoalan birokrasi dan kondisi Jakarta, warga yang hanya mau membuat KTP saja, kesulitannya sangat luar biasa. Maka warga tersebut digambarkan membutuhkan pemimpin baru dan mengalihkan pilihannya pada Jokowi-Ahok  (digambarkan sejumlah warga membuka baju lama dan berganti baju baru kotak-kotak, yang menjadi simbol kampanye pasangan tersebut). 
Munculnya video parodi sindiran yang memuat susahnya pembuatan KTP di Youtube, oleh tim relawan cagub DKI Jakarta Jokowi-Ahok, merupakan kreativitas yang sangat bagus, menggambarkan pemimpin lama yang tidak bagus, dan Jakarta membutuhkan pemimpin baru. Karya tersebut cukup menarik karena isinya berbentuk parody yang lucu namun mengena dan tepat sasaran.
Begitu juga dengan lagu Jokowi-Basuki (Gangnam Style n Big Bang- parody) yang di upload oleh Andre Winardi tanggal 13 September 2012, telah ditonton sebanyak 986,944 pengunjung. Tak Kotak Mis Kumis dari Cameo Project dikunjungi sebanyak 774,335 kali. Jakarta baru harapan Baru Wajah Baru, Cameo Project, 119.612 kali.  Jakowi Basuki parody Curahan Hati oleh Andre Winardi, sebanyak 269.995 kali.
Jelas sekali bahwa suara pemilih pemula dari kalangan kaum muda merupakan salah satu faktor penentu kemenangan Jokowi-Ahok pada Pemilukada DKI Jakarta tahun2012 kemarin. Penggalangan suara kaum muda dilakukan oleh tim sukses Jokowi-Ahok dengan memanfaatkan kreativitas mencipta, mendaur ulang lagu atau musik populer di Indonesia. Baik jenis musik rock, pop, dangdut dan lainnya.
Karya tersebut disebarluaskan melalui jejaring media sosial, maka terbukti efeknya sangat luar biasa, bagaimana video tersebut dikunjungi ratusan ribu, bahkan ada yang mencapai hampir dua juta pengunjung  menontonnya. Hal tersebut mebuktikan bahwa fenomena penggunaan musik populer melalui jejaring media sosial merupakan trend baru dalam gerakan sosial dan politik kontemporer.


Daftar Pustaka

International Journal of Comunication 7 (2013), 1205-121932-8036/2013005
Copyright © 2013 (Magdelana Red). Licensed under the Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives (by-nc-nd). Available at http://ijoc.org. Rocking the Vote in Mexico’s 2012 Presidential Election: Mexico’s Popular Music Scene’s Use of Social Media in a Post–Arab Spring Context MAGDELANA RED University of Colorado Boulder
Kaleidoskop 2012 Dahsyatnya Media Sosial dan Kemenangan Jokowi Amril Amarullah - Okezone Rabu, 26 Desember 2012 16:28 wib
Tuesday, 28 August 2012 5:24 am. Kabartop.com – Pemilukada DKI 2012 putaran kedua akan segera berlangsung, pertarungan sengit antara pasangan Cagub dan Cawagub Foke-Nara & Jokowi-Basuk/Ahok pun semakin terlihat.
BERITA NUSANTARA ASIA CALLING BOLA OPINI LIFESTYLETEEN VOICE OF FAIR INDEX. Jokowi, Ganjar Pranowo, dan 'Kemenangan' Musik MetalWritten by  Agus LuqmanSun,26 May 2013 | 16:02PrintEmail  Twitter  Facebook   google+Salam metal Ganjar Pranowo. (Foto: ANTARA)

[1] Pemerhati Masalah Sosial, Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Staf Pengajar STAI Publistik - Thawalib Jakarta, Mantan Ketua Umum Pertama HMI Jakarta Pusat - Utara, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta







-


KEPEMIMPINAN SBY PADA BENCANA TSUNAMI, PERDAMAIAN ACEH, DAN KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU 2004 DAN 2009


KEPEMIMPINAN SBY PADA BENCANA TSUNAMI, PERDAMAIAN ACEH, DAN KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU 2004 DAN 2009
Oleh : Ali Sodikin [1]

A.    SBY dan  Partai Demokrat
Keberhasilan Partai Demokrat menjadi partai pemenang pada Pemilu Legislatif tahun 2004 dan 2009 tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan dan gaya kepemimpinan sosok SBY sebagai Ketua Dewan Pembinanya yang sekaligus sebagai salah seorang pendirinya. Sejarah partai ini tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY  yang dari awal telah menggagas, mengusung dan mendirikan partai dengan ideologi Nasionalis-Religius. Sebagai partai jalan tengah yang berpihak pada nilai-nilai partai yang tidak berhaluan kiri maupun kanan. Ideologi nasionalis-religius, hal ini bermakna sebagai kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta mempertimbangkan humanism-pluralisme dalam mencapai tujuan perdamaian demokrasi dan kesejahteraan.
Tidak bisa dipungkiri, kemajuan partai yang baru berusia belasan tahun, pencapaian tersebut merupakan prestasi yang fenomenal. Faktor terbesarnya adalah Karena figur SBY yang menjadi simbol hidup dan tauladan partai. Tokoh yang muncul sebagai produk sejarah telah membawa Partai Demokrat menjadi partai besar dan sekaligus menjadikan SBY Presiden dua periode melalui pelpres langsung pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Figur SBY yang santun, cerdas, bersih dan demokratis mampu membuat Partai Demokrat melesat hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun menjadi partai yang besar, bahkan mampu menandingi partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan tahun silam, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan dan PPP.
Cikal bakal mengapa SBY mendirikan Partai Demokrat adalah pelajaran dari kekalahannya menjadi Wapres, bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika demokrasi. SBY tidak bisa mengandalkan anugerah atau privilege yang diberikan kekuasaan. Ia harus berjuang melalui partai. Yang kedua, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wapres, SBY harus memiliki basis partai politik. Untuk maju dengan mengunakan partai yang sudah besar dan mapam tidaklah mudah, karena mereka telah memiliki calon masing-masing. Artinya, siapapun yang mempunyai cita-cita di masa mendatang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wapres, akan lebih nyaman, kalau memiliki basis partai politik sendiri. Pikiran inilah yang mendasari SBY untuk membidani kelahiran Partai Demokrat.
Dengan  mengusung jargon politik bersih, cerdas dan santun, serta gerakan anti korupsi yang dikampanyekan selama Pemilu 2009, perolehan suara Partai Demokrat terdongkrak lebih dari dua kali lipat dibanding perolehan suara pada pemilu 2004. Dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina kembali terpilih menjadi Presiden untuk periode kedua. Hanya dengan satu putaran SBY-Budiono memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
B.     Pasang Surut Popularitas SBY dan Partai Demokrat
Meski pada akhirnya, SBY mampu membawa suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat pada Pemilu Legislatif tahun2009, dari 7,45 persen menjadi 20,85 persen perolehan suara dan sekaligus menjadikan dirinya Presiden untuk kedua kalinya berpasangan dengan Budiono, bahkan yang terakhir merupakan kemenangan fenomenal hanya dengan satu putaran mampu meraih suara dukungan rakyat sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
Namun, perjalanan politik SBY dan Partai Demokrat tidak selalu mengalami jalan mulus dan mudah. Status dan kinerja SBY sebagai Presiden sangat mempengaruhi pasang surut partai. Menurut hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada September 2007 yang dirilis Suara karya popularitas SBY merosot tajam hingga angka 35,3 persen. Padahal, di awal pemerintahannya popularitas SBY sempat mencapai amgka 80 persen. Banyak kalangan menilai selama kurun waktu 2004-2007, SBY telah gagal melakukan perbaikan dan peningkatan, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta penanganan keamanan. Hanya 13,4 persen pemilih yang menganggap gerakan antikorupsi SBY itu adil, semua kasus diperiksa dan diperlakukan sama. Bahkan hanya 39,3 persen pemilih yang yakin akan kemampuan SBY dalam menangani masalah bangsa.
Sementara hasil survei yang dirilis CSIS 24 Juli 2008 dari hasil survei 11-17 Mei 2008 tentang perilaku pemilih Indonesia,  Partai Demokrat hanya menempati urutan nomor lima. Untuk dukungan terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, 70 persen pemilih Indonesia sudah menentukan pilihannya. Dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini memperoleh dukungan terbanyak (20,3 persen). Diikuti Partai Golkar, PKS, PKB,  dan Partai Demokrat.
C.    Sosok SBY dan Pemikiran Kebangsaan
SBY lahir tanggal 9 September 1949 di Pacitan Jawa Timur dari keluarga tentara. Putra tunggal  R. Soekotjo dan Siti Habibah. Sebagai lulusan terbaik Akabri Darat 1973, SBY langsung bergabung dengan kesatuan elit Kostrad sebagai komandan peleton tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri Dharma Brigif Linud 17/Kujang I. 
Selanjutnya menjadi komandan peleton mortir 330, Pasi 2/Ops Mabigif Linud 17, Komandan Kompi Senapan C Yonif Linud 330/Tri Dhrama, Komandan Yonif 744 pemukul Kodam Udayana di Timor Timur. Komandan Brigif  17/Kujang I Kostrad. Komandan Korem 073 Kodam IV/Diponegoro di Yogyakarta. Setelah menjadi Perwira PBB di Bosnia, SBY menjadi Kepala Staf Kodam Jaya tahun 1996, 23 Agustus 1996 SBY menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya di Pelembang. 26 Agustus 1997, SBY menjadi Assospol-Kassospol ABRI. 12 Februari 1998 menjadi Kassospol ABRI. Jabatan militer terakhir SBY adalah Kepala Staf Teritorial ABRI.
Pemikiran SBY tentang politik kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi dari latar belakang pendidikan dan penugasan di militer, namun juga dari para pemikir lainnya semisal Alvin Toffler. Interaksi SBY dengan Futurolog tersebut ketika menjadi Dosen Militer di Seskoad tahun 1990-an. Bersama Letkol Agus Wirahadikusumah mendirikan Center of Exelence. Bersama Kolonel Luhut Panjaitan, SBY mendatangkan Alvin Toffler ke Seskoad untuk menjadi pembicara dalam seminar Powership and the Military di Bandung.
D.    Gaya Komunikasi SBY
Menurut John Baldoni dalam pengantar buku Great Communication Secrets of Great Leaders (2003), “ So in every real sense, leadership effectiveness, both for presidents and for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good communications skills”. keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, seseungguhnya sangat ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin membangun trust (kepercayaan) pada rakyat atau pengikutnya. Trust, menurut Crossman, seorang ahli propaganda-merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan-kebijakannya. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan, besar kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kepemimpinannya sekalipun (Gardener, 1990:33).
            Tjipta Lesamana, memaparkan secara detail  bagaimana gaya dan pola komunikasi SBY. Tjipta menggambarkan SBY adalah sosok yang perfectionist, misalnya jika SBY tampil di publik, apalagi di tengah sorotan puluhan kamera wartawan, maka penampilannya sangat diperhatikan. Busana yang dandy, rambut yang disisir rapi, wajah ceria penuh senyum, tutur kata yang tertata rapi, seolah dikemas sangat prima sehingga nyaris “tidak ada cacat”.
            Secara garis besar Prof. Tjipta Lesmana menilai SBY  seorang demokratis, menghargai perbedaan pendapat tetapi selalu defensif  jika dikritik. SBY ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu. Konteks bahasa : antara tinggi dan rendah, tetapi kecenderungannya tinggi. Sebagai seorang perfectionist, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat oleh intonasi dan suara yang mantap.
E.     Gaya Kepemimpinan SBY
Gaya kepemimpinan SBY oleh para pengkritinya, dianggap lamban, peragu dan sebagainya. Namun menurut Juwono Sudarso, kepemimpinan SBY adalah model rekontruktif. SBY sebenarnya ingin berperan sebagai rekonsiliator di panggung Indonesia karena melihat luka-luka dan hiruk-pikuk reformasi sejak Mei 1998 itu (telah) menimbulkan kegaduhan sehingga perlu diturunkan suhunya. Self-image-nya sebagai rekonsiliator mengharuskan SBY merangkul semua pihak. Ia berupaya keras untuk tidak menciptakan musuh. Sebaliknya, SBY terkesan kuat ingin membahagiakan semua orang.
Lebih lengkap bagaimana gaya kepemimpinan SBY dapat ditelusuri dari catatan Dr. Dino Patti Jalal dalam catatan hariannya Seni Memimpin A la SBY. Setiap pemimpin mempunyai sisi penampilan luar dan sisi dalam. Di luar ia bisa tampak tenang, walaupun ia konflik batin. Di luar ia bicara kemenangan, dalam hati berfikir mengenai resiko. Sisi luar SBY sudah banyak disorot media. Yang belum banyak diketahui adalah apa yang terjadi di belakang layar, dan di dalam kantor Prsiden. Dino mendapat berkah ‘the best seat in the class of history’, dapat menyaksikan langsung Presiden SBY dari samping dan belakangnya, membaca raut muka, melihat tetesan keringat, mengikuti liku-liku proses pemikirannya, dan memahami resiko yang diambilnya.
F.     Memimpin Dalam Krisis; Menangani Bencana Tsunami Aceh
1.       Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.
Bencana tsunamai Aceh memakan ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar rupiah, serta kerusakan struktur dan infrastruktur pemerintah daerah  yang sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember 2004, SBY sedang berada di Papua setelah habis memberi bantuan korban gempa di Nabire Papua.
Sementara informasi tentang kondisi Aceh sangat minim ;  setetes demi setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, karena lebih banyak bersifat perkiraan, dan  setiap informasi baru selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya.
Menghadapi kegelapan informasi (information blackout) banyak pembatunya menyarankan untuk ke Jakarta lebih dahulu karena kondisi Aceh tidak menentu. Namun SBY sebagai seorang pemimpin menunjukkan keputusan yang berbeda. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segara ke depan”.
Presiden SBY segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh.  Rapat Kabinet darurat segera digelar malam itu juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera terbang dari Jayapura langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada pemimpin daerah, Gubernur, Pangdam, Kapolda Aceh  beserta seluruh komponen organisasinyan tentang tugas-tugas dan penanganan tanggap darurat bencana.
Karena pesawatnya kecil, harus transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan bakar. Sore hari SBY sampai di Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan dari Gubernur, Pangdam dan Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai Jenderal mendorong perintah cepat dan merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.
Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. SBY melihat sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. SBY melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan berada ‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin didapat SBY kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.
Kedua, kehadiran SBY sebagai Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, rekan-rekan mereka, maupun karena mata rantai komando yang tercerai berai. Ketiga, walaupun siaran radio, televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, keberadaan SBY di garis ‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan SBY membuat penilaian yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung menggelar rapat kabinet darurat dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan missal untuk jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah tenda yang dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk ke Medan; dan lain sebagainya.
 SBY tahu misi yang paling penting dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang. Yang selamat harus ditolong, yang sakit harus segera dirawat, yang kehilangan rumah harus segera ditampung, yang meninggal harus seger dikubur. Semua yang beruntung hidup harus diberikan makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera mengerahkan TNI dan Polri untuk secara maksimal menjadi juru operasi tanggap darurat. Kapal serta pesawat Hercules yang membawa personil, peralatan dan barang segera berangkat ke Banda Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi Shihab yang ditugaskan SBY untuk terus tinggal di Aceh, memimpin langsung satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) yang baru dibentuk.
Ketika semua perangkat sudah berangkat ke Aceh, ternyata kondisi lapangan sangat parah, bantuan, petugas dan dokter-dokter sulit bergerak karena jalan-jalan dan jembatan hancur. Sementara untuk mencari satu truk saja sulitnya luar biasa. Semua kendaraan di Aceh hancur terkena musibah tsunami.
SBY segera mengambil keputusan yang sangat strategis untuk menangani krisis tsunami; membuka Aceh secara total pada dunia luar, baik militer maupun LSM. Tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open sky policy’ untuk Aceh dan Nias. Setelah itu, di Meulaboh tanggal 31 Desember 2004, SBY melalui media nasional dan internasional menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’terhadap para korban tsunami, bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain di sekitar Samudera India. Kebijakan baru ini, karena tidak ada istilah baku, dapat disebut sebagai ‘open door policy’.
Dengan kebijakan itu, Aceh menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer maupun LSM internasional. Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke Aceh tanpa visa. Wartawan juga bebas keluar masuk, karena SBY ingin dunia melihat dan merasakan penderitaan rakyat di Aceh dan Nias. 
Keputusan open door policy ini bukan keputusan yang mudah. Pertama, kebijakan ini diterapkan di Provinsi yang-setelah 30 tahun dirundung konflik-dikenal ‘tertutup’ dibanding provinsi Indonesia lainnya. Kedua, sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah ada pasukan internasional yang masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia.
Ketiga, TNI belum berpengalaman mengatur operasi militer kemanusiaan seperti ini. TNI sudah sering melakukan latihan gabungan dengan militer negara sahabat, namun tidak pernah melakukan operasi kemanusiaan besr-besaran dalam skala internasional seperti ini. Keempat, kehadiran pasukan asing dapat menimbulkan resiko politik di dalam negeri, karena rakyat dan elit politik tidak biasa melihat pasukan asing di bumi Indonesia.
SBY memahami sekali semua hal ini, namun ia berfikir sangat jernih dan sangat fokus pada misi, yakni untuk meyelamatkan rakyat, bukan berpolitik. Semua dilakukan dibawah koordinasi mantan Menko Kesra Alwi Shihab, dibantu Letjen Bambang Darmono (Mayjen pada saat itu), sama seperti SBY, dilapangan kedua tokoh ini juga dipaksa keadaan untuk selalu improved style untuk think outside the box, karena sepanjang karirnya, mereka tidak pernah menghadapi krisis seperti itu.
2.      Mengubah Krisis Menjadi Peluang; Perdamaian Baru Dengan GAM
Jenderal Charles De Gaulle, pemimpin legendaris Perancis dalam buku “Sword of Power”, menyatakan pemimpin harus mempunyai intelek, namun lebih penting lagi,  ia harus mempunyai naluri, semacam indera keenam untuk membaca situasi yang tidak terbaca orang awam.
Menurut Dino, SBY sering bertindak mengikuti naluri politiknya, yang anehnya hampir selalu benar. Begitu juga tentang bencana tsunami Aceh, SBY diam-diam melihat satu peluang. Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian, mungkinkah penderitaan rakyat yang begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan politik untuk mengakhiri konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh, mungkinkah dimulai perundingan baru dengan GAM. Pertanyaan teoritis yang menarik, namun dari segi politik praktis sangat berat.
SBY memahami sekali bahwa masalah utama untuk memulai kembali perundingan adalah lemahnya kepercayaan antara kedua belah pihak, terutama karena sejarah perundingan dan kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang beberapa kali kandas. Disinilah SBY terlihat ciri kepemimpinan yang penting; selalu berfikir ke depan, selalu mencari peluang dan solusi, selalu memetik pelajaran dari masa lalu.
Awal januari SBY berhasil melakukan kontak per telepon dengan komandan GAM di Aceh, Muzakkir Manaf. Dari pembicaraan itu, SBY mendapat kesimpulan penting; akibat bencana tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi dari pimpinan politik mereka di luar negeri. Jelas sudah, untuk ke depan, kuncinya adalah pemimpin poltik GAM di luar negeri; Hasan Di Tiro, Malik Mahmud, Zaini Abdullah.
Setelah melakukan perundingan berkali-kali, maka tanggal 5 Agustus 2005, pada perundingan ronde ke-5 ditandatanganilah MoU Helsinki oleh wakil Pemerintah RI Hamid Awaluddin dan wakil  GAM, Malik Mahmud. Sejak itu Aceh membuka lembaran sejarah baru; lembaran damai dan rekonsiliasi. 
G.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1.      Kemampuan SBY, Krisis Aceh dan Perdamaian Dengan GAM
Sebagai pemimpin SBY mampu menjadikan dan mengubah krisis menjadin peluang dengan tercapainya perdamaian di Aceh, yang telah berkonflik dengan Pemerintah Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir, dan belum ada satu Presiden-pun yang mampu menanganinya.
SBY mampu mengambil kebijakan yang tidak populer, justru pada saat dimana semuanya masih terpaku dengan bencana tsunami, SBY mulai berfikir mengenai peluang perdamaian. Pada saat dimana elit politik sangat alergi terhadap GAM, SBY justru mengambil resiko, mempertaruhkan kredibiltasnya, menempuh proses perdamaian baru dengan GAM.
Perlu diketahui, bahwa pada waktu itu, Cessation of Hostilities agreement (COHA) yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center untuk perundingan Pemeritah RI-GAM sudah 20 bulan ambruk, dan semenjak itu di Aceh diberlakukan Darurat Sipil. Secara politis prospek berunding lagi dengan GAM tidak lagi populer di mata elit politik dan sebagian masyarakat.
Pada saat elit politik masih penuh keraguan, SBY justru melangkah maju dengan keyakinan mendobrak dinding konflik. Pendeknya, SBY dengan mendengarkan nalurin politikny, memanfaatkan peluang, mengambil resiko dan mengukir sejarah. Sejarah pasti mencatat ada anak bangsa yang ikut membuat sejarah, SBY, JK, Endriartono Sutarto, Hamid Awalluddin, dan sejumlah pelaku lainnya.
Akibat dari perdamaian Aceh, pamor Indonesia melambung dan kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi mapan yang mampu menyembuhkan konflik internal meningkat pesat. Tahun itu juga, Presiden SBY dicalonkan sebagai salah satu kandidat Nobel Perdamaian. 
2.      Kemenangan Demokrat Pada Pemilu 2009
Meski pada tahun 2008, banyak kalangan menyatakan berdasar hasil survei popularitas SBY merosot, begitu juga dengan perolehan suara Partai Demokrat diperkirakan bakal turun hanya mencapai sekitar 9,6 persen menurut survei Indo Barometer, begitu juga dengan survei LSI Denny JA serta survei CSIS. Posisi Partai Demokrat hanya menempati urutan ketiga setelah PDI-P dan Pertai Golkar, namun pada kenyataannya, hasil Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Demokrat mampu mencapai kemenangan yang fenomenal. Dengan perolehan suara sebesar 150 kursi Di DPR RI dan mendapat suara sebesar 20,85 persen naik hampir tiga kali lipat perolehan suara pada Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen. Bahkan SBY-Budiono mampu menang satu putaran dan memperoleh suara sebesar 60,80 persen pada Pilpres 2009.
            Menurut pengamat politik Doddy Ambardi, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat di Pemilu Legislatif jauh meninggalkan Partai Golkar dan PDI-P. pertama, citra tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat dan sekaligus Roh partai itu. Citra yang baik itu diikuti popularitas yang melebihi tokoh lain. Itulah kekuatan mereka dalam memobilisasi massa pemilih. Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui dukungan terhadap Partai Demokrat sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat daripada dukungan kepada partainya sendiri.
            Kedua, Partai Demokrat diuntungkan oleh posisi SBY yang menjadi incumbent. Posisi ini, mempunyai pengaruh besar untuk memikat pemilih. Karena bisa mengklaim program pemerintah jadi program mereka. Jadi semacam penyederhanaan program. Yang ketiga, kampanye yang terus menerus dilakukan Partai Demokrat memperluas jangkauan pemilih partai itu.  


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nur Kholisoh, S.Sos, M.Si : Bahan Kuliah Komunikasi Organisasi dan Kepemimpinan Program Megister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
Usamah Hisyam. 2004. SBY Sang Demokrat. Dharmapena Publishing, Jakarta
Prof. Tjipta Lesmana. 2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa. PT Gramdia Pustaka Utama, Jakarta
Dr. Dino Patti Jalal. 2009. Harus Bisa: Seni memimpin A la SBY. Red&White Publishing. Jakarta
Suara Karya Onlie, Horizon Hasil Survei : Gagal Perbaiki Kinerja, SBY Sulit Terpilih lagi. Minggu 14 Juli 2013
Pemilu 2009 : Hasil Survey Terkini Indo Barometer
Laporan Analisa Awal Hasil Survei: Perilaku Pemilih Indonesia 2008, 24 Juli 2008.
VIVAnews. Tiga Sebab Kemenangan Partai Demokrat. Kamis, 9 April 2009

[1] Pemerhati Masalah Sosial, Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Staf Pengajar STAI Publistik - Thawalib Jakarta, Mantan Ketua Umum Pertama HMI Jakarta Pusat - Utara, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta