KEPEMIMPINAN
SBY PADA BENCANA TSUNAMI, PERDAMAIAN ACEH, DAN KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA
PEMILU 2004 DAN 2009
Oleh
: Ali Sodikin [1]
A.
SBY
dan Partai Demokrat
Keberhasilan
Partai Demokrat menjadi partai pemenang pada Pemilu Legislatif tahun 2004 dan 2009
tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan dan gaya kepemimpinan sosok SBY sebagai
Ketua Dewan Pembinanya yang sekaligus sebagai salah seorang pendirinya. Sejarah
partai ini tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY yang dari awal telah menggagas, mengusung dan
mendirikan partai dengan ideologi Nasionalis-Religius. Sebagai partai jalan
tengah yang berpihak pada nilai-nilai partai yang tidak berhaluan kiri maupun
kanan. Ideologi nasionalis-religius, hal ini bermakna sebagai kerja keras untuk
kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta mempertimbangkan
humanism-pluralisme dalam mencapai tujuan perdamaian demokrasi dan
kesejahteraan.
Tidak
bisa dipungkiri, kemajuan partai yang baru berusia belasan tahun, pencapaian
tersebut merupakan prestasi yang fenomenal. Faktor terbesarnya adalah Karena
figur SBY yang menjadi simbol hidup dan tauladan partai. Tokoh yang muncul
sebagai produk sejarah telah membawa Partai Demokrat menjadi partai besar dan
sekaligus menjadikan SBY Presiden dua periode melalui pelpres langsung pertama
dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Figur
SBY yang santun, cerdas, bersih dan demokratis mampu membuat Partai Demokrat
melesat hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun menjadi partai yang besar,
bahkan mampu menandingi partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan tahun
silam, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan dan PPP.
Cikal
bakal mengapa SBY mendirikan Partai Demokrat adalah pelajaran dari kekalahannya
menjadi Wapres, bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika
demokrasi. SBY tidak bisa mengandalkan anugerah atau privilege yang diberikan kekuasaan. Ia harus berjuang melalui
partai. Yang kedua, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wapres, SBY
harus memiliki basis partai politik. Untuk maju dengan mengunakan partai yang
sudah besar dan mapam tidaklah mudah, karena mereka telah memiliki calon
masing-masing. Artinya, siapapun yang mempunyai cita-cita di masa mendatang
untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wapres, akan lebih nyaman, kalau
memiliki basis partai politik sendiri. Pikiran inilah yang mendasari SBY untuk
membidani kelahiran Partai Demokrat.
Dengan mengusung jargon politik bersih, cerdas dan
santun, serta gerakan anti korupsi yang dikampanyekan selama Pemilu 2009,
perolehan suara Partai Demokrat terdongkrak lebih dari dua kali lipat dibanding
perolehan suara pada pemilu 2004. Dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina kembali
terpilih menjadi Presiden untuk periode kedua. Hanya dengan satu putaran
SBY-Budiono memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
B.
Pasang
Surut Popularitas SBY dan Partai Demokrat
Meski pada akhirnya,
SBY mampu membawa suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat pada Pemilu
Legislatif tahun2009, dari 7,45 persen menjadi 20,85 persen perolehan suara dan
sekaligus menjadikan dirinya Presiden untuk kedua kalinya berpasangan dengan
Budiono, bahkan yang terakhir merupakan kemenangan fenomenal hanya dengan satu
putaran mampu meraih suara dukungan rakyat sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
Namun, perjalanan
politik SBY dan Partai Demokrat tidak selalu mengalami jalan mulus dan mudah.
Status dan kinerja SBY sebagai Presiden sangat mempengaruhi pasang surut
partai. Menurut hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada September
2007 yang dirilis Suara karya popularitas SBY merosot tajam hingga angka 35,3
persen. Padahal, di awal pemerintahannya popularitas SBY sempat mencapai amgka
80 persen. Banyak kalangan menilai selama kurun waktu 2004-2007, SBY telah
gagal melakukan perbaikan dan peningkatan, baik di bidang ekonomi, politik,
hukum, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta penanganan keamanan. Hanya
13,4 persen pemilih yang menganggap gerakan antikorupsi SBY itu adil, semua
kasus diperiksa dan diperlakukan sama. Bahkan hanya 39,3 persen pemilih yang
yakin akan kemampuan SBY dalam menangani masalah bangsa.
Sementara hasil survei
yang dirilis CSIS 24 Juli 2008 dari hasil survei 11-17 Mei 2008 tentang
perilaku pemilih Indonesia, Partai
Demokrat hanya menempati urutan nomor lima. Untuk dukungan terhadap partai
politik di berbagai kelompok masyarakat, 70 persen pemilih Indonesia sudah
menentukan pilihannya. Dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini
memperoleh dukungan terbanyak (20,3 persen). Diikuti Partai Golkar, PKS,
PKB, dan Partai Demokrat.
C.
Sosok
SBY dan Pemikiran Kebangsaan
SBY lahir tanggal 9
September 1949 di Pacitan Jawa Timur dari keluarga tentara. Putra tunggal R. Soekotjo dan Siti Habibah. Sebagai lulusan
terbaik Akabri Darat 1973, SBY langsung bergabung dengan kesatuan elit Kostrad
sebagai komandan peleton tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri
Dharma Brigif Linud 17/Kujang I.
Selanjutnya menjadi
komandan peleton mortir 330, Pasi 2/Ops Mabigif Linud 17, Komandan Kompi
Senapan C Yonif Linud 330/Tri Dhrama, Komandan Yonif 744 pemukul Kodam Udayana
di Timor Timur. Komandan Brigif
17/Kujang I Kostrad. Komandan Korem 073 Kodam IV/Diponegoro di
Yogyakarta. Setelah menjadi Perwira PBB di Bosnia, SBY menjadi Kepala Staf
Kodam Jaya tahun 1996, 23 Agustus 1996 SBY menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya
di Pelembang. 26 Agustus 1997, SBY menjadi Assospol-Kassospol ABRI. 12 Februari
1998 menjadi Kassospol ABRI. Jabatan militer terakhir SBY adalah Kepala Staf
Teritorial ABRI.
Pemikiran SBY tentang
politik kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi dari latar belakang
pendidikan dan penugasan di militer, namun juga dari para pemikir lainnya
semisal Alvin Toffler. Interaksi SBY dengan Futurolog tersebut ketika menjadi
Dosen Militer di Seskoad tahun 1990-an. Bersama Letkol Agus Wirahadikusumah
mendirikan Center of Exelence. Bersama Kolonel Luhut
Panjaitan, SBY mendatangkan Alvin Toffler ke Seskoad untuk menjadi pembicara
dalam seminar Powership and the Military
di Bandung.
D.
Gaya
Komunikasi SBY
Menurut John Baldoni
dalam pengantar buku Great Communication Secrets of Great Leaders
(2003), “ So in every real sense,
leadership effectiveness, both for presidents and for anyone in a position of authority, depends to a high
degree upon good communications skills”. keberhasilan seorang pemimpin,
termasuk presiden, seseungguhnya sangat ditentukan oleh kepiawaiannya
berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin membangun trust (kepercayaan) pada rakyat atau pengikutnya. Trust, menurut Crossman, seorang ahli
propaganda-merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada
pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan-kebijakannya. Pemimpin
yang mampu melahirkan kepercayaan, besar kemungkinan juga mampu menggalang kerja
sama, bahkan dengan unsur-unsur masyarakat yang selama ini bersikap sinis
terhadap kepemimpinannya sekalipun (Gardener, 1990:33).
Tjipta Lesamana, memaparkan secara
detail bagaimana gaya dan pola
komunikasi SBY. Tjipta menggambarkan SBY adalah sosok yang perfectionist, misalnya jika SBY tampil di publik, apalagi di
tengah sorotan puluhan kamera wartawan, maka penampilannya sangat diperhatikan.
Busana yang dandy, rambut yang disisir rapi, wajah ceria penuh senyum, tutur
kata yang tertata rapi, seolah dikemas sangat prima sehingga nyaris “tidak ada
cacat”.
Secara
garis besar Prof. Tjipta Lesmana menilai SBY seorang demokratis, menghargai perbedaan
pendapat tetapi selalu defensif jika
dikritik. SBY ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan
ragu. Konteks bahasa : antara tinggi dan rendah, tetapi kecenderungannya
tinggi. Sebagai seorang perfectionist,
SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna.
Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat oleh intonasi dan suara yang
mantap.
E. Gaya Kepemimpinan SBY
Gaya kepemimpinan SBY oleh
para pengkritinya, dianggap lamban, peragu dan sebagainya. Namun menurut Juwono
Sudarso, kepemimpinan SBY adalah model rekontruktif. SBY sebenarnya ingin
berperan sebagai rekonsiliator di panggung Indonesia karena melihat luka-luka
dan hiruk-pikuk reformasi sejak Mei 1998 itu (telah) menimbulkan kegaduhan
sehingga perlu diturunkan suhunya. Self-image-nya
sebagai rekonsiliator mengharuskan SBY merangkul semua pihak. Ia berupaya keras
untuk tidak menciptakan musuh. Sebaliknya, SBY terkesan kuat ingin
membahagiakan semua orang.
Lebih lengkap bagaimana
gaya kepemimpinan SBY dapat ditelusuri dari catatan Dr. Dino Patti Jalal dalam
catatan hariannya Seni Memimpin A la SBY. Setiap pemimpin mempunyai sisi
penampilan luar dan sisi dalam. Di luar ia bisa tampak tenang, walaupun ia
konflik batin. Di luar ia bicara kemenangan, dalam hati berfikir mengenai
resiko. Sisi luar SBY sudah banyak disorot media. Yang belum banyak diketahui
adalah apa yang terjadi di belakang layar, dan di dalam kantor Prsiden. Dino
mendapat berkah ‘the best seat in the
class of history’, dapat menyaksikan langsung Presiden SBY dari samping dan
belakangnya, membaca raut muka, melihat tetesan keringat, mengikuti liku-liku
proses pemikirannya, dan memahami resiko yang diambilnya.
F. Memimpin Dalam Krisis; Menangani
Bencana Tsunami Aceh
1. Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.
Bencana tsunamai Aceh
memakan ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar rupiah, serta kerusakan
struktur dan infrastruktur pemerintah daerah yang sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember
2004, SBY sedang berada di Papua setelah habis memberi bantuan korban gempa di
Nabire Papua.
Sementara informasi
tentang kondisi Aceh sangat minim ; setetes demi setetes namun kualitasnya tidak
jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, karena lebih banyak bersifat
perkiraan, dan setiap informasi baru
selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya.
Menghadapi kegelapan
informasi (information blackout)
banyak pembatunya menyarankan untuk ke Jakarta lebih dahulu karena kondisi Aceh
tidak menentu. Namun SBY sebagai seorang pemimpin menunjukkan keputusan yang
berbeda. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh
karena itu saya harus segara ke depan”.
Presiden SBY segera
menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke
Aceh. Rapat Kabinet darurat segera
digelar malam itu juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera
terbang dari Jayapura langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada
pemimpin daerah, Gubernur, Pangdam, Kapolda Aceh beserta seluruh komponen organisasinyan
tentang tugas-tugas dan penanganan tanggap darurat bencana.
Karena pesawatnya
kecil, harus transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan bakar. Sore hari
SBY sampai di Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan dari Gubernur,
Pangdam dan Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang bersifat
operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya
penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY
tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai Jenderal mendorong perintah cepat dan
merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.
Pertama, SBY dapat
melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. SBY
melihat sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan, penderitaan luar
biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan
rumahnya. SBY melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi,
transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain
sebagainya. Dengan berada ‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini
benar-benar masuk ke sukma SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin didapat SBY
kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.
Kedua, kehadiran SBY
sebagai Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu
itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, rekan-rekan mereka,
maupun karena mata rantai komando yang tercerai berai. Ketiga, walaupun siaran
radio, televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY penting untuk menunjukkan
kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan perhatian penuh dan
dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, keberadaan SBY
di garis ‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan SBY membuat penilaian
yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama
operasi tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung menggelar rapat kabinet
darurat dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif
terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk
operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan
Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan missal
untuk jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air bersih;
menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah tenda yang
dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk ke Medan;
dan lain sebagainya.
SBY tahu misi yang
paling penting dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang. Yang selamat harus
ditolong, yang sakit harus segera dirawat, yang kehilangan rumah harus segera
ditampung, yang meninggal harus seger dikubur. Semua yang beruntung hidup harus
diberikan makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera mengerahkan TNI dan
Polri untuk secara maksimal menjadi juru operasi tanggap darurat. Kapal serta
pesawat Hercules yang membawa personil, peralatan dan barang segera berangkat
ke Banda Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi Shihab yang ditugaskan SBY
untuk terus tinggal di Aceh, memimpin langsung satuan Koordinasi Pelaksana
(Satkorlak) yang baru dibentuk.
Ketika semua perangkat
sudah berangkat ke Aceh, ternyata kondisi lapangan sangat parah, bantuan,
petugas dan dokter-dokter sulit bergerak karena jalan-jalan dan jembatan
hancur. Sementara untuk mencari satu truk saja sulitnya luar biasa. Semua
kendaraan di Aceh hancur terkena musibah tsunami.
SBY segera mengambil
keputusan yang sangat strategis untuk menangani krisis tsunami; membuka Aceh
secara total pada dunia luar, baik militer maupun LSM. Tanggal 29 Desember
2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open
sky policy’ untuk Aceh dan Nias. Setelah
itu, di Meulaboh tanggal 31 Desember 2004, SBY melalui media nasional dan
internasional menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’terhadap
para korban tsunami, bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain
di sekitar Samudera India. Kebijakan baru ini, karena tidak ada istilah baku,
dapat disebut sebagai ‘open door policy’.
Dengan kebijakan itu, Aceh
menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan
membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer maupun LSM internasional.
Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke Aceh tanpa visa. Wartawan
juga bebas keluar masuk, karena SBY ingin dunia melihat dan merasakan
penderitaan rakyat di Aceh dan Nias.
Keputusan open door policy ini bukan keputusan
yang mudah. Pertama, kebijakan ini diterapkan di Provinsi yang-setelah 30 tahun
dirundung konflik-dikenal ‘tertutup’ dibanding provinsi Indonesia lainnya.
Kedua, sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah ada pasukan internasional
yang masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia.
Ketiga, TNI belum
berpengalaman mengatur operasi militer kemanusiaan seperti ini. TNI sudah
sering melakukan latihan gabungan dengan militer negara sahabat, namun tidak
pernah melakukan operasi kemanusiaan besr-besaran dalam skala internasional
seperti ini. Keempat, kehadiran pasukan asing dapat menimbulkan resiko politik
di dalam negeri, karena rakyat dan elit politik tidak biasa melihat pasukan
asing di bumi Indonesia.
SBY memahami sekali
semua hal ini, namun ia berfikir sangat jernih dan sangat fokus pada misi,
yakni untuk meyelamatkan rakyat, bukan berpolitik. Semua dilakukan dibawah
koordinasi mantan Menko Kesra Alwi Shihab, dibantu Letjen Bambang Darmono
(Mayjen pada saat itu), sama seperti SBY, dilapangan kedua tokoh ini juga
dipaksa keadaan untuk selalu improved
style untuk think outside the box,
karena sepanjang karirnya, mereka tidak pernah menghadapi krisis seperti itu.
2. Mengubah
Krisis Menjadi Peluang; Perdamaian Baru Dengan GAM
Jenderal Charles De
Gaulle, pemimpin legendaris Perancis dalam buku “Sword of Power”, menyatakan
pemimpin harus mempunyai intelek, namun lebih penting lagi, ia harus mempunyai naluri, semacam indera
keenam untuk membaca situasi yang tidak terbaca orang awam.
Menurut Dino, SBY
sering bertindak mengikuti naluri politiknya, yang anehnya hampir selalu benar.
Begitu juga tentang bencana tsunami Aceh, SBY diam-diam melihat satu peluang.
Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian, mungkinkah penderitaan rakyat yang
begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan politik untuk mengakhiri
konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh, mungkinkah dimulai perundingan
baru dengan GAM. Pertanyaan teoritis yang menarik, namun dari segi politik
praktis sangat berat.
SBY memahami sekali
bahwa masalah utama untuk memulai kembali perundingan adalah lemahnya
kepercayaan antara kedua belah pihak, terutama karena sejarah perundingan dan
kesepakatan antara pemerintah dan GAM yang beberapa kali kandas. Disinilah SBY
terlihat ciri kepemimpinan yang penting; selalu berfikir ke depan, selalu
mencari peluang dan solusi, selalu memetik pelajaran dari masa lalu.
Awal januari SBY
berhasil melakukan kontak per telepon dengan komandan GAM di Aceh, Muzakkir
Manaf. Dari pembicaraan itu, SBY mendapat kesimpulan penting; akibat bencana
tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi
dari pimpinan politik mereka di luar negeri. Jelas sudah, untuk ke depan,
kuncinya adalah pemimpin poltik GAM di luar negeri; Hasan Di Tiro, Malik
Mahmud, Zaini Abdullah.
Setelah melakukan
perundingan berkali-kali, maka tanggal 5 Agustus 2005, pada perundingan ronde
ke-5 ditandatanganilah MoU Helsinki
oleh wakil Pemerintah RI Hamid Awaluddin dan wakil GAM, Malik Mahmud. Sejak itu Aceh membuka
lembaran sejarah baru; lembaran damai dan rekonsiliasi.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang
sudah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil
adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan
SBY, Krisis Aceh dan Perdamaian Dengan GAM
Sebagai pemimpin SBY
mampu menjadikan dan mengubah krisis menjadin peluang dengan tercapainya
perdamaian di Aceh, yang telah berkonflik dengan Pemerintah Indonesia selama
kurun waktu 30 tahun terakhir, dan belum ada satu Presiden-pun yang mampu
menanganinya.
SBY mampu mengambil
kebijakan yang tidak populer, justru pada saat dimana semuanya masih terpaku
dengan bencana tsunami, SBY mulai berfikir mengenai peluang perdamaian. Pada
saat dimana elit politik sangat alergi terhadap GAM, SBY justru mengambil
resiko, mempertaruhkan kredibiltasnya, menempuh proses perdamaian baru dengan
GAM.
Perlu diketahui, bahwa
pada waktu itu, Cessation of Hostilities agreement (COHA) yang difasilitasi
oleh Henry Dunant Center untuk perundingan Pemeritah RI-GAM sudah 20 bulan
ambruk, dan semenjak itu di Aceh diberlakukan Darurat Sipil. Secara politis
prospek berunding lagi dengan GAM tidak lagi populer di mata elit politik dan
sebagian masyarakat.
Pada saat elit politik
masih penuh keraguan, SBY justru melangkah maju dengan keyakinan mendobrak
dinding konflik. Pendeknya, SBY dengan mendengarkan nalurin politikny,
memanfaatkan peluang, mengambil resiko dan mengukir sejarah. Sejarah pasti
mencatat ada anak bangsa yang ikut membuat sejarah, SBY, JK, Endriartono Sutarto,
Hamid Awalluddin, dan sejumlah pelaku lainnya.
Akibat dari perdamaian
Aceh, pamor Indonesia melambung dan kredibilitas Indonesia sebagai negara
demokrasi mapan yang mampu menyembuhkan konflik internal meningkat pesat. Tahun
itu juga, Presiden SBY dicalonkan sebagai salah satu kandidat Nobel
Perdamaian.
2. Kemenangan
Demokrat Pada Pemilu 2009
Meski pada tahun 2008,
banyak kalangan menyatakan berdasar hasil survei popularitas SBY merosot,
begitu juga dengan perolehan suara Partai Demokrat diperkirakan bakal turun
hanya mencapai sekitar 9,6 persen menurut survei Indo Barometer, begitu juga
dengan survei LSI Denny JA serta survei CSIS. Posisi Partai Demokrat hanya
menempati urutan ketiga setelah PDI-P dan Pertai Golkar, namun pada
kenyataannya, hasil Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Demokrat mampu
mencapai kemenangan yang fenomenal. Dengan perolehan suara sebesar 150 kursi Di
DPR RI dan mendapat suara sebesar 20,85 persen naik hampir tiga kali lipat
perolehan suara pada Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen. Bahkan SBY-Budiono mampu
menang satu putaran dan memperoleh suara sebesar 60,80 persen pada Pilpres
2009.
Menurut
pengamat politik Doddy Ambardi, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan
suara Partai Demokrat di Pemilu Legislatif jauh meninggalkan Partai Golkar dan
PDI-P. pertama, citra tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY adalah Ketua
Dewan Pembina Demokrat dan sekaligus Roh partai itu. Citra yang baik itu
diikuti popularitas yang melebihi tokoh lain. Itulah kekuatan mereka dalam
memobilisasi massa pemilih. Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui dukungan
terhadap Partai Demokrat sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat daripada
dukungan kepada partainya sendiri.
Kedua,
Partai Demokrat diuntungkan oleh posisi SBY yang menjadi incumbent. Posisi ini,
mempunyai pengaruh besar untuk memikat pemilih. Karena bisa mengklaim program
pemerintah jadi program mereka. Jadi semacam penyederhanaan program. Yang
ketiga, kampanye yang terus menerus dilakukan Partai Demokrat memperluas
jangkauan pemilih partai itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Nur Kholisoh, S.Sos, M.Si : Bahan Kuliah
Komunikasi Organisasi dan Kepemimpinan Program Megister Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana
Usamah Hisyam. 2004. SBY Sang Demokrat. Dharmapena
Publishing, Jakarta
Prof. Tjipta Lesmana. 2009. Dari Soekarno Sampai
SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa. PT Gramdia Pustaka Utama, Jakarta
Dr. Dino Patti Jalal. 2009. Harus Bisa: Seni
memimpin A la SBY. Red&White Publishing. Jakarta
Suara Karya Onlie, Horizon Hasil Survei : Gagal
Perbaiki Kinerja, SBY Sulit Terpilih lagi. Minggu 14 Juli 2013
Pemilu 2009 : Hasil Survey Terkini Indo Barometer
Laporan Analisa Awal Hasil Survei: Perilaku Pemilih
Indonesia 2008, 24 Juli 2008.
VIVAnews. Tiga Sebab Kemenangan Partai Demokrat.
Kamis, 9 April 2009
[1] Pemerhati Masalah Sosial, Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Staf Pengajar STAI Publistik - Thawalib Jakarta, Mantan Ketua Umum Pertama HMI Jakarta Pusat - Utara, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta