Jumat, 20 Desember 2013

Etika dan Regulasi dalam Siber dan Media Baru

Etika dan Regulasi dalam Siber dan Media Baru
Oleh : Ali Sodikin

“Kita tidak perlu menciptakan aturan etika baru untuk penelitian online. Kami hanya perlu meningkatkan kesadaran kita dan komitmen terhadap prinsip-prinsip etika yang ditetapkan "-. Jim Thomas, 1999.
Seorang pejabat tinggi negara  dengan keras menyindir para pengkritik pemerintah sebagai pemuda banci. Karena mereka mengkritik  melalui media sosial dengan akun-akun anonim (tersembunyi) atau palsu. Sebuah fenemone baru ketika berkembangnya media baru internet, media sosial menjadi arena pertarungan baru bagi banyak kalangan. Termasuk masalah sosial politik, antara pemerintah dan pihak oposisi. Opisisi yang berserak dari semua lapisan masyarakat bergerak  memanfaatkan jejaringan media sosial untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai gagal dan korup.
Pernyataan pejabat tinggi negara tersebut mungkin saja tidak salah, manusia harus berperilaku gentleman, kesatria, dan terang-terangan dalam mengkritik atau menyatakan pendapat, karena hal itu juga dilindungi undang-undang.  Namun, perspektif modern dan postmodern, membuat perilaku dan budaya manusia juga sedemikian berkembang dan dinamis.  Pemaknaan terhadapa apapun, termasuk perilaku politik tidak lagi menjadi statis. Semua makna apapaun yang berkembang dimasyarakat  bisa dijungkirbalikan, sebagai bentuk dari identifikasi postmodern, yakni menggugat, melawaan narasi-nasarasi besar yang telah ada dan mapan.
Pernyataan pejabat tinggi negara tersebut, menunjukkan dia belum atau bahkan tidak faham logika dan sistem dunia virtual atau media baru. Penggunaan akun anonim dalam dunia virtual, baik facebook, twitter, dan lain sebagainya, adalah penyimpangan yang paling umum dan ringan. Bagaimana kalau situs-situs pribadi para pejabat tinggi negara termasuk Presiden di hacker. Kita tahu Phamtom Dialer seorang hacker muda yang cacat secar fisik dan mental, pada tahun 1992 mampu membobol sistem komputer Portland State University, kemudian digunakan sebagai “Wormpath” untuk mengakses ratusan sistem lainnya di Amerika Serikat, termasuk dinas inteljen, kontrakor pemerintah, laboratorium senjata nuklir dan database rahasia pemerintah.
Seperti kita ketahui , Internet atau media baru, disebut juga sebagai cyber atau virtual. Dunia virtual meski kehadirannya  penuh dengan ironi, berawal dari kerahasiaan, rentan, berpori- banyak, kacau, sistem anarkis, namun demokratis bagi sejarah kehidupan manusia. Bagaimana perkembangan internet bisa bermanfaat bagi demokrasi yang sehat, ada dua tema yang bisa kita urai dan analisis.
Dalam Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet (1998) Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD, menjelaskan secara teori bagaimana internet dapat digunakan siapa saja, civil society, militer dan siapapun, kelompok manapun yang memiliki kepentingan di seluruh dunia. Internet melampaui sensansi dan spekulasi dari banyak penemuan baru dibidang teknologi. Sebuah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang dapat menjadi alat revolusi baru masyarakat sipil, politik, dan demokrasi.  

Digital Media Etics
Internet adalah suatu wilayah yang tak terbatas dan sering tampak tanpa hukum, sering dibandingkan dengan Wild Weat, sebuah analogi dari film bergenre sejarah Amerika versi Hollywood.  Namun, banyak pakar etika tergugah untuk menggagas pentingnya sebuah regulasi untuk mengatasi para akses spekulan yang tidak bermoral dan menyelamatkan banyak korban dari budaya baru digital. Salah satunya adalah Prof Charles Ess, seorang ahli filsafat dan agama dari Drury University dan dia juga seorang mantan Ketua Assosiasi Peneliti Internet di universitas tersebut. Prof Ess memberi kebijakan pokok untuk menjelajah medan etis pada internet yang ia sebut sebagai  “the new mediascape.”
Digita Media Etics adalah buku pertama yang membahas isu-isu etika pada media digital. Mulai dari komputer  dan internet untuk ponsel.  Buku ini memperkenalkan teori etika dari berbagai budaya untuk menjadi pertimbangan isu-isu tersebut dari perspektif global. Contoh-contoh yang dikemukan juga berasal dari kasus-kasus pelanggaran etika moral digital media dari seluruh dunia. Misalnya, publikasi tentang “Kartun Muhammad”, yang memicu kontraversi, karena beragamnya pemahaman tentang  keyakinan dan “privacy” di Facebook atau Myspace.  Kasus lain, bagaimana dan mengapa CD dan DVD bajakan “dibenarkan” di banyak negara berkembang.  Juga banyak variabel dari perspektif budaya tentang  seksualitas, apa yang disebut sebagai “pornpgrafi”.  Kita memperoleh perspektif global pada isu-isu etis pada pusat media digital, termasuk privasi, hak cipta, pornografi, kekerasan, dan etika komunikasi online lintas budaya.

Etika dan Regulasi dalam Siber dan media Baru
Ashadi Siregar  dalam tulisannya “Media Baru Dalam Perspektif Hukum dan Etika” menjelaskan hukum dan etika  membawa standar normatif  dalam tindakan sosial bermedia. Masing-masing menjadi acuan yang berbeda, yaitu dalam lingkup struktural dan cultural. Hukum mengatur keberadaan instutusional media dalam konteks struktural, sedang etika merupakan acuan bagi tindakan personal dalam konteks cultural.  Dengan kata lain, norma dalam posisi institusional media membawa kepada konteks negara (state), sedang posisi personal dalam tindakan bermedia masyarakat sipil (civil society).
Namun, pertanyaan-pertanyaan tentang norma dalam penyelenggaraan media, boleh jadi berasal dari kerancuan berpikir dalam menghadapi norma. Kerancuan ini akibat ketidakjelasan batas taksanomi sebagai pangkal disiplin berpikir, sebab tumpang-tindih nomenklatur membawa ketidakpastian norma. Kejelasan batas dari norma dan konteksnya dapat dikenali sumber nilai dan sanksi.  
Nomenklatur masyarakat (bersifat sosiologis) dan negara (bersifat politis), ditandai dengan perbedaan norma dan penerapannya. Etika sosial dalam interaksi sosial di satu sisi, dab hukum dan kebijakan publik institusi negara pada sisi lain. Masing-masing menjadi sumber norma bagi warga negara dalm tertib sosial (sosial order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidk diperlukan peran negara. Sebaliknya banyaknya konflik di antara warga negara yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam masyarakat sipil.
Ketaatan atas norma merupakan dialektika dari norma kesadaran etis bersifat cultural dan dari faktor imperatif hukum yang bersifat struktural. Binatang berpolitik (zoon politicon) memerlukan adanya kekuasaan negara untuk mengendalikan, melalui sanksi yang menyakitkan mulai dari kematian, isolasi sosial, dan pembayaran materi. Level berikutnya, norma ditaati manakala sanksi yang secara langsung bersifat pragmatis (gaji ditunda, tidak naik jabatan, atau pemecatan). Selanjutnya, penaatan atas norma kalau ada rasa keterhormatan (shameful feeling). Level-level tersebut bersifat imperatif. Yang terakhir penaatan yang bersifat personal dan otonom berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan untuk memiliki rasa bersalah (guilty feeling).
Menganalisis kondisi masyarakat kekinian, mendefinisikan bahwa masyarakat yang terbentuk dalam kenyataan virtual yang dikenal sebagai masyarakat cyber (cyber society). Dari sini kemudian dikenal adanya ruang cyber (cyber-space) sebagai ajang yang memungkinkan adanya hubungan antar manusia. Karena pengkaji ilmu sosial (termasuk cultural) pada dasarnya akan menghadapi hubungan sosial dalam 3 macam dimensi kenyataan “real” (empiris), simbolik, dan virtual. pertanyaan yang menggugat adalah pertalian di antara ketiga dimensi kenyataan ini, sehingga dikenali adanya masyarakat empiris, simbolik dan cyber. Sejauh mana ketiga jenis masyarakat ini menjadi ruang hidup bagi manusia , agaknya akan menjadi pertanyaan epistemologis yang menantang. Interkonekstual ketiga macam kenyataan ini tidak pelak akan menuntut perombakan dalam orientasi dan landasan epistemology cabang-cabang ilmu sosial.
Sejak diundangkannya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, domain komunikasi bermediasi komputer.CMC telah diatur oleh negara. Dengan begitu struktur sosial yang melingkupi CMC diatur oleh kekuasaan negara. Untuk itu perlu dilihat sejauh mana nanti negara dapat menjadi faktor CMC, apakah bersifat positif bagi kemajuan atau sebaliknya.
Lebih dari itu, pertanyaan besar bagi kita adalah, pakah sistem negara kita (pemerintah) memiliki kemampuan teknologi dan sistem dunia virtual, hingga mampu menegakkan hukum yang ada. Karena tidak akan ada artinya sebuah undang-undang, jika pemerintah tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menegakkkanya (pegang kendali). Karena dunia virtual adalah dunia siapa pegang kendali. Dan dunia virtual adalah bicara mengenai siapa yang pegang kendali, mengendalikan kekuasaan, legitimasi, kepercayaan, catatan dan keamanan kehidupan modern.

Daftar Pustaka
Ess, Charles. (2009). Digital Media Ethics. (Cambridge and Malen, MA: Polity Press).
Kevin A. Hill and John E. Hughes, Lanham, MD. (1998) Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet. Rowman & Littlefield.
Siregar, Ashadi. Media Baru dalam Perspektif Hukum dan Etika. (2011). http://ashadisiregar.wordpress.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukkan alamat email anda