Etika
dan Regulasi dalam Siber dan Media Baru
Oleh
: Ali Sodikin
“Kita
tidak perlu menciptakan aturan etika baru untuk penelitian online. Kami hanya
perlu meningkatkan kesadaran kita dan komitmen terhadap prinsip-prinsip etika
yang ditetapkan "-. Jim Thomas, 1999.
Seorang pejabat tinggi
negara dengan keras menyindir para
pengkritik pemerintah sebagai pemuda banci. Karena mereka mengkritik melalui media sosial dengan akun-akun anonim
(tersembunyi) atau palsu. Sebuah fenemone baru ketika berkembangnya media baru
internet, media sosial menjadi arena pertarungan baru bagi banyak kalangan.
Termasuk masalah sosial politik, antara pemerintah dan pihak oposisi. Opisisi
yang berserak dari semua lapisan masyarakat bergerak memanfaatkan jejaringan media sosial untuk
mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai gagal dan korup.
Pernyataan pejabat
tinggi negara tersebut mungkin saja tidak salah, manusia harus berperilaku
gentleman, kesatria, dan terang-terangan dalam mengkritik atau menyatakan
pendapat, karena hal itu juga dilindungi undang-undang. Namun, perspektif modern dan postmodern,
membuat perilaku dan budaya manusia juga sedemikian berkembang dan
dinamis. Pemaknaan terhadapa apapun,
termasuk perilaku politik tidak lagi menjadi statis. Semua makna apapaun yang
berkembang dimasyarakat bisa
dijungkirbalikan, sebagai bentuk dari identifikasi postmodern, yakni menggugat,
melawaan narasi-nasarasi besar yang telah ada dan mapan.
Pernyataan pejabat
tinggi negara tersebut, menunjukkan dia belum atau bahkan tidak faham logika
dan sistem dunia virtual atau media baru. Penggunaan akun anonim dalam dunia
virtual, baik facebook, twitter, dan lain sebagainya, adalah penyimpangan yang
paling umum dan ringan. Bagaimana kalau situs-situs pribadi para pejabat tinggi
negara termasuk Presiden di hacker. Kita tahu Phamtom Dialer seorang hacker
muda yang cacat secar fisik dan mental, pada tahun 1992 mampu membobol sistem
komputer Portland State University, kemudian digunakan sebagai “Wormpath” untuk
mengakses ratusan sistem lainnya di Amerika Serikat, termasuk dinas inteljen,
kontrakor pemerintah, laboratorium senjata nuklir dan database rahasia
pemerintah.
Seperti kita ketahui ,
Internet atau media baru, disebut juga sebagai cyber atau virtual. Dunia
virtual meski kehadirannya penuh dengan
ironi, berawal dari kerahasiaan, rentan, berpori- banyak, kacau, sistem
anarkis, namun demokratis bagi sejarah kehidupan manusia. Bagaimana
perkembangan internet bisa bermanfaat bagi demokrasi yang sehat, ada dua tema
yang bisa kita urai dan analisis.
Dalam Cyberpolitics:
Citizen Activism in the Age of the Internet (1998) Kevin A. Hill and John E.
Hughes, Lanham, MD, menjelaskan secara teori bagaimana internet dapat digunakan
siapa saja, civil society, militer dan siapapun, kelompok manapun yang memiliki
kepentingan di seluruh dunia. Internet melampaui sensansi dan spekulasi dari
banyak penemuan baru dibidang teknologi. Sebuah kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi yang dapat menjadi alat revolusi baru masyarakat sipil, politik,
dan demokrasi.
Digital
Media Etics
Internet adalah suatu
wilayah yang tak terbatas dan sering tampak tanpa hukum, sering dibandingkan
dengan Wild Weat, sebuah analogi dari film bergenre sejarah Amerika versi
Hollywood. Namun, banyak pakar etika
tergugah untuk menggagas pentingnya sebuah regulasi untuk mengatasi para akses
spekulan yang tidak bermoral dan menyelamatkan banyak korban dari budaya baru
digital. Salah satunya adalah Prof Charles Ess, seorang ahli filsafat dan agama
dari Drury University dan dia juga seorang mantan Ketua Assosiasi Peneliti
Internet di universitas tersebut. Prof Ess memberi kebijakan pokok untuk
menjelajah medan etis pada internet yang ia sebut sebagai “the
new mediascape.”
Digita Media Etics
adalah buku pertama yang membahas isu-isu etika pada media digital. Mulai dari
komputer dan internet untuk ponsel. Buku ini memperkenalkan teori etika dari
berbagai budaya untuk menjadi pertimbangan isu-isu tersebut dari perspektif
global. Contoh-contoh yang dikemukan juga berasal dari kasus-kasus pelanggaran
etika moral digital media dari seluruh dunia. Misalnya, publikasi tentang
“Kartun Muhammad”, yang memicu kontraversi, karena beragamnya pemahaman
tentang keyakinan dan “privacy” di
Facebook atau Myspace. Kasus lain,
bagaimana dan mengapa CD dan DVD bajakan “dibenarkan” di banyak negara
berkembang. Juga banyak variabel dari
perspektif budaya tentang seksualitas,
apa yang disebut sebagai “pornpgrafi”. Kita
memperoleh perspektif global pada isu-isu etis pada pusat media digital, termasuk
privasi, hak cipta, pornografi, kekerasan, dan etika komunikasi online lintas
budaya.
Etika
dan Regulasi dalam Siber dan media Baru
Ashadi Siregar dalam tulisannya “Media Baru Dalam Perspektif
Hukum dan Etika” menjelaskan hukum dan etika
membawa standar normatif dalam
tindakan sosial bermedia. Masing-masing menjadi acuan yang berbeda, yaitu dalam
lingkup struktural dan cultural. Hukum mengatur keberadaan instutusional media
dalam konteks struktural, sedang etika merupakan acuan bagi tindakan personal
dalam konteks cultural. Dengan kata
lain, norma dalam posisi institusional media membawa kepada konteks negara
(state), sedang posisi personal dalam tindakan bermedia masyarakat sipil (civil
society).
Namun,
pertanyaan-pertanyaan tentang norma dalam penyelenggaraan media, boleh jadi
berasal dari kerancuan berpikir dalam menghadapi norma. Kerancuan ini akibat
ketidakjelasan batas taksanomi sebagai pangkal disiplin berpikir, sebab
tumpang-tindih nomenklatur membawa ketidakpastian norma. Kejelasan batas dari
norma dan konteksnya dapat dikenali sumber nilai dan sanksi.
Nomenklatur masyarakat
(bersifat sosiologis) dan negara (bersifat politis), ditandai dengan perbedaan
norma dan penerapannya. Etika sosial dalam interaksi sosial di satu sisi, dab
hukum dan kebijakan publik institusi negara pada sisi lain. Masing-masing
menjadi sumber norma bagi warga negara dalm tertib sosial (sosial order). Jika
proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial,
dengan sendirinya tidk diperlukan peran negara. Sebaliknya banyaknya konflik di
antara warga negara yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat
harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi
yang menjadi ciri pokok dalam masyarakat sipil.
Ketaatan atas norma
merupakan dialektika dari norma kesadaran etis bersifat cultural dan dari
faktor imperatif hukum yang bersifat struktural. Binatang berpolitik (zoon
politicon) memerlukan adanya kekuasaan negara untuk mengendalikan, melalui
sanksi yang menyakitkan mulai dari kematian, isolasi sosial, dan pembayaran
materi. Level berikutnya, norma ditaati manakala sanksi yang secara langsung
bersifat pragmatis (gaji ditunda, tidak naik jabatan, atau pemecatan).
Selanjutnya, penaatan atas norma kalau ada rasa keterhormatan (shameful
feeling). Level-level tersebut bersifat imperatif. Yang terakhir penaatan yang
bersifat personal dan otonom berkaitan dengan kesadaran kemanusiaan untuk
memiliki rasa bersalah (guilty feeling).
Menganalisis kondisi
masyarakat kekinian, mendefinisikan bahwa masyarakat yang terbentuk dalam
kenyataan virtual yang dikenal sebagai masyarakat cyber (cyber society). Dari
sini kemudian dikenal adanya ruang cyber (cyber-space) sebagai ajang yang
memungkinkan adanya hubungan antar manusia. Karena pengkaji ilmu sosial
(termasuk cultural) pada dasarnya akan menghadapi hubungan sosial dalam 3 macam
dimensi kenyataan “real” (empiris), simbolik, dan virtual. pertanyaan yang
menggugat adalah pertalian di antara ketiga dimensi kenyataan ini, sehingga
dikenali adanya masyarakat empiris, simbolik dan cyber. Sejauh mana ketiga
jenis masyarakat ini menjadi ruang hidup bagi manusia , agaknya akan menjadi
pertanyaan epistemologis yang menantang. Interkonekstual ketiga macam kenyataan
ini tidak pelak akan menuntut perombakan dalam orientasi dan landasan
epistemology cabang-cabang ilmu sosial.
Sejak diundangkannya UU
No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, domain komunikasi
bermediasi komputer.CMC telah diatur oleh negara. Dengan begitu struktur sosial
yang melingkupi CMC diatur oleh kekuasaan negara. Untuk itu perlu dilihat
sejauh mana nanti negara dapat menjadi faktor CMC, apakah bersifat positif bagi
kemajuan atau sebaliknya.
Lebih dari itu,
pertanyaan besar bagi kita adalah, pakah sistem negara kita (pemerintah)
memiliki kemampuan teknologi dan sistem dunia virtual, hingga mampu menegakkan
hukum yang ada. Karena tidak akan ada artinya sebuah undang-undang, jika
pemerintah tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menegakkkanya (pegang
kendali). Karena dunia virtual adalah dunia siapa pegang kendali. Dan dunia
virtual adalah bicara mengenai siapa yang pegang kendali, mengendalikan
kekuasaan, legitimasi, kepercayaan, catatan dan keamanan kehidupan modern.
Daftar Pustaka
Ess, Charles. (2009). Digital Media
Ethics. (Cambridge and Malen, MA: Polity Press).
Kevin A. Hill and John E. Hughes,
Lanham, MD. (1998) Cyberpolitics: Citizen Activism in the Age of the Internet.
Rowman & Littlefield.
Siregar, Ashadi. Media Baru dalam Perspektif
Hukum dan Etika. (2011). http://ashadisiregar.wordpress.com