Budaya Visual dan Media Digital
Storytelling
Oleh : Ali Sodikin [1]
Masa kecil penulis yang
berasal dari kota kecil di Jawa Tengah dan kebetulan rumah orang tua berada di
samping masjid membuat banyak kenangan
tentang kegiatan keagamaan. Ada pengajian rutin setiap seminggu sekali di
masjid tersebut. Anak-anak yang tinggal disekitar masjid biasanya ikut-ikutan
mendengarkan ceramah dari para kyai atau ustdaz, meski pada akhirnya kita
sebagai anak-anak lebih senang bermain-main. Karena sesungguhnya motif
mengikuti pengajian tersebut adalah agar mendapat bagian kue-kue yang biasanya
disediakan oleh ibu-ibu jamaah.
Namun sedikit banyak
kita masih ingat bagaimana para kyai atau ustadz berceramah di hadapan para
jamaah. Tentang apa saja yang berkaitan
dengan soal-soal agama. Termasuk cerita tentang nabi-nabi utusan Allah. Para penceramah biasanya bercerita secara
lisan dengan berbagai gaya termasuk diselipi lelucon dan sebagainya.
Ketika sekolah di taman
kanak-kanak dan sekolah dasar, guru-guru juga banyak yang suka mendongeng.
Namun cara mendongengnya sudah mulai berkembang dengan dilengkapi buku-buku dan
juga disertai gambar-gambar di papan tulis.
Dari cerita dan dongeng
yang disampaikan oleh ustadz dan guru-guru, kian berkembang mendengarkan radio
dan televisi. Di era tersebut radio-radio siaran swasta tumbuh berkembang di kota penulis.
Siaran yang biasanya kita tunggu-tunggu adalah sandiawara radio. Kita
lebih meresapi sandiwara radio tersebut karena dibumbui dengan suara
musik-musik, suara-suara kuda, benda tajam saliang berbenturan ketika silakon
sedang berkelahi dan sebagainya.
Acara televisi yang
menarik adalah film-film kartun dan ketika lahir salah satu televisi
pendidikan, kita mulai gemar menonton karena ada film-film Bolliwood yang banyak
adegan perangnya. Ada perkembangan yang
sangat pesat pada teknologi komunikasi dan informasi, menyebabkan sebuah cerita
atau dongeng-dongeng yang pada awalnya diceritakan secara lisan menjadi lebih
hidup dengan visual atau audiovisual.
Dengan perkembangan teknologi, cerita
atau dongeng tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku-buku. Lebih maju lagi sebuah
cerita, dongeng, peristiwa dan kejadian didokumentasikan dalam bentuk digital.
Perubahan besar terjadi karena, cerita-cerita tersebut bukan lagi para ustadz,
guru atau orang tua, tetapi cerita dalam bentuk
sandiwara radio, film, kartun, animasi dan sebagainya.
Perkembangan yang
sangat pesat pada penemuan teknologi terjadi juga pada teknologi komunikasi dan
informasi. Kondisi tersebut melahirkan apa
yang disebut sebagai budaya visual. Menurut
Pilliang (2003:151-152) dominasi dunia citraan tersebut telah
menciptakan sebuah budaya baru yang disebut budaya visual (visual culture),
yaitu sebuah budaya yang bertumpu pada unsur-unsur visual sebagai unsur utama
pembentuknya.
Masih menurut Piliang,
kondisi tersebut bukan hanya berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, akan
tetapi juga memicu perkembangan ilmu imologi. Suatu keilmuan tentang komunikasi dan pencitraan. Bagaimana citra
atau image dibentuk lebih sempurna dengan peran teknologi informasi. Imu
imologi menjadikan media-media seperti televisi, video, internet, satelit dan
virtual berperan besar dalam mengkonstruksi pencitraan dan pengemasan. Bahkan
media-media tersebut mampu menciptakan animasi-animasi yang dikemas sedemikian
rupa hingga seakan-akan menjadi sesuatu yang nyata, meski pada dasarnya adalah
semu atau maya.
Definisi lain soal
budaya visual disampaikan Sachari (2007). Menurut Sachari, budaya visual adalah tautan wujud
kebudayaan konsep (nilai) dan kebudayaan materi (benda) yang dapat segera
ditangkap oleh indera visual (mata), dan dipahami sebagai model pikiran manusia
untuk meningkatkan kualitas hidupnya. (Sachari. 2007:1).
Sachari (2007)
menjelaskan bahwa budaya visual tak sekedar pakaian dari sebuah dunia material,
namun merupakan sebuah subtansi dari struktur budaya pembentuknya. Faktor-faktor pembentuknya adalah kreatifitas
nilai, inovasi, penciptaan teknologi baru, ideologi, komunikasi, strata sosial,
sistem sosial , konflik sosial, globalisasi ekonomi, hingga hal-hal yang
mendasar dalam terciptanya suatu peradaban.
Salah satu contoh
adalah dalam dunia periklanan yang sangat kapitalistik. Pada pemikiran klasik,
iklan melalui media apapun termasuk televisi, fokus utamanya adalah menjual
barang dan jasa bukan menghibur. Menurut Horace Schwerin yang dikutip oleh
David Ogilvy (1987; 170) tidak ada hubungannya antara rasa suka kepada
iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut.
Namun kini, perkataan Schwerin tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih
menarik.
Para copywriter lebih percaya bahwa
iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar
kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi pencitraan itu dilakukan malalui
konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu. Ini adalah contoh bagaimana teknologi mampu
menciptakan theatre of mind dalam
dunia kognitif masyarakat.
Pencitraan yang
dikonstruksi ini sangat penting dalam mengendalikan kemauan copywriter dan
produsen. Dan ketika pencitraan itu dimaknakan oleh pemirsa sebagai kemauan
copywriter, maka sesungguhnya terjadi kesadaran palsu terhadap realitas semu
yang digambarkan dalam iklan sebagai suatu hiper-realitas.
Pada umumnya pencitraan
dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan. Walaupun
tidak jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan
beberapa pencitraan terhadap satu objek iklan. Pada beberapa iklan yang
menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa kategorisasi penggunaan
pencitraan dalam iklan televisi, sebagai berikut :
Pertama, citra
perempuan yang menurut Tomagola (1998: 333-334), citra perempuan ini
digambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggiran, dan citra
pergaulan. Dalam banyak iklan terjadi
penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan
mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis seperti menstruasi (iklan-iklan
pembalut wanita), memiliki rambut panjang (iklan-iklan sampho) dan
sebagainya. Dengan imologi citra
tersebut menjadi sangat kuat dan seakan perempuan yang sempurna adalah perempuan yang ada dalam
iklan.
Kedua, citra maskulin.
Iklan-iklan jenis ini mempertontonkan kejantanan,
otot laki-laki, ketengkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya,
keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik
laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin.
Ketiga, citra kemewahan
dan eksklusif. Suatu realitas kehidupan
yang banyak diidamkan orang adalah kemewahan dan eksklusif. Banyak orang
bekerja keras, berjuang bahkan harus korupsi untuk memperoleh realitas
kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi memproduksi realitas ini ke
dalam realitas iklan dengan maksud member simbol-simbol kemewahan ke dalam
objek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial. Kelima citra kenikmatan,
keenam citra manfaat, ketujuh citra persahabatan, dan kedelapan citra seksisme
dan seksualitas.
Perkembangan dalam
budaya manusia dalam berkomunikasi untuk kepentingan apapun termasuk iklan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
multimedia inilah yang disebut digital
storytelling. Citra iklan makin canggih
dengan makin beragam produk lewat media gambar, musik, narasi dan suara secara
bersamaan, sehingga memberikan dimensi dan warna yang lebih hidup bagi
karakter, situasi, pengalaman, dan realitas tertentu.
“Digital
Storytelling is the modern expression of the ancient art of storytelling.
Digital stories derive their power by weaving images, music, narrative and
voice together, thereby giving deep dimension and vivid color to characters,
situations, experiences, and insights. Tell your story now digitally” –
Leslie Rule, Digital Storytelling Association.
Digital Storytelling
meliputi praktik bercerita dengan menggunakan media digital dalam multimedia seperti
slideshow, narasi di blog dan media sosial, narasi interaktif dan game, video
amatir di Youtube, hingga film yang diproduksi oleh para profesional. Digital
Storytelling tidak hanya tentang penceritaan yang dilakukan oleh orang-orang
terlatih seperti copywriter, visualizer, pekerja film, drama, atau media. Digital
Storytelling berkaitan dengan literasi visual dan narasi digital yang dilakukan
oleh masyarakat berbasis teknologi digital.
Mediasi dan mediatisasi
Mediasi dan Mediatisasi
diperkenalkan dalam kajian media sebelum teknologi digital diaplikasikan dalam
storytelling. Definisi kedua konsep ini tumpang tindih dan sering diperdebatkan
mana yang lebih tepat untuk mengkaji media bagi masyarakat. Mediasi dianggap
memiliki definisi yang lebih netral terkait transmisi atau pertukaran pesan
melalui media tanpa berhubungan langsung dengan otonomi media atau pengaruhnya
bagi masyarakat, sedangkan Mediatisasi lebih memiliki muatan manipulatif dan
cenderung digunakan dalam iklan komersial maupun konteks politik.
Mediasi menitikberatkan
pada media dan bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi melalui media
tersebut. Mengkaji terutama transmisi pesan dan aspek semiotik pada media
sehingga simbol dalam hubungan antara media sebagai pesan dan penerima pesan
dapat dipahami. Mediasi lebih menyorot
aspek “teknis” bagaimana komunikasi berlangsung. Mediasi menyelidiki bagaimana
media dapat menyampaikan pesan, bagaimana penerima pesan saling memahami
simbol-simbol yang dikomunikasikan oleh media tanpa memandang pengaruhnya.
Mediatisasi berkaitan
dengan pengaruh media terhadap khalayak dan bagaimana kemudian khalayak menjadi
sangat bergantung pada media. Mediatisasi berkaitan erat dengan hubungan media
dan perubahan sosio-kultural dalam masyarakat. Mediatisasi adalah proses sosial
dimana masyarakat menjadi jenuh dan terbanjiri oleh media sehingga media dan
masyarakat dianggap tidak lagi dapat dipisahkan.
“Mediatization
is a social process whereby the society is saturated and inundated by the media
to the extent that the media cannot longer be thought of separated from other
institutions within the society”- Stig Hjarvard
Dengan mediasi dan mediatisasi, kita
dapat mengkaji bagaimana masyarakat periklanan dalam televisi mengkonstruksi
dan membangun kesadaran palsu melalui digital strorytelling untuk member kesan
kuat terhadap produk yang diiklankan. Iklan-iklan berisikan manipulasi
fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi yang memunculkan suatu
pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.
Sumber tulisan
Lundby, Knut. 2008. Digital Storytelling, Mediatized
Stories: Self-Representations in New Media. New York, Washinton,
D.C./Baltimore, Bern, Frankfurt am Main, Berlin, Brussels, Vienna, Oxford:
Peter Lang.
Lundby, Knut. (Ed) (2008). Digital Storytelling,
Mediatized Stories: Self-Representations in New Media. New York, Peter Lang
Publishing Inc. 2008.
Piliang, A
Yasraf.2003. Hantu-hantu Politik dan matinya Sosial. Solo. Tiga Serangkai.
Hartley, John
dan McWilliam, Kelly. 2009.Story Circle: Digital Storytelling Around the World
(ed). West Sussex. Blackwell Publishing.
Sachari,
Agus. 2007.Budaya Visual Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Miller, H
Carolyn.2008. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to Interactive
Entertainment 2nd-ed. Oxford. c.
Bungin,
Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta. Kencana Prenada Media
Group.
[1] Mantan Ketum HMI Pustara Periode I, Wasekjen
PTKP PB HMI 2006-2008. Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Pengajar STAI
Publisistik Thawalib Jakarta. Mahasiswa Megister Ilmu Komunikasi Universitas
Mercubuana Jakarta.