Jumat, 15 November 2013

Budaya Visual dan Media Digital Storytelling

Budaya Visual dan Media Digital Storytelling
Oleh :  Ali Sodikin [1]

Masa kecil penulis yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah dan kebetulan rumah orang tua berada di samping  masjid membuat banyak kenangan tentang kegiatan keagamaan. Ada pengajian rutin setiap seminggu sekali di masjid tersebut. Anak-anak yang tinggal disekitar masjid biasanya ikut-ikutan mendengarkan ceramah dari para kyai atau ustdaz, meski pada akhirnya kita sebagai anak-anak lebih senang bermain-main. Karena sesungguhnya motif mengikuti pengajian tersebut adalah agar mendapat bagian kue-kue yang biasanya disediakan oleh ibu-ibu jamaah.
Namun sedikit banyak kita masih ingat bagaimana para kyai atau ustadz berceramah di hadapan para jamaah.  Tentang apa saja yang berkaitan dengan soal-soal agama. Termasuk cerita tentang nabi-nabi utusan Allah.  Para penceramah biasanya bercerita secara lisan dengan berbagai gaya termasuk diselipi lelucon dan sebagainya.
Ketika sekolah di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, guru-guru juga banyak yang suka mendongeng. Namun cara mendongengnya sudah mulai berkembang dengan dilengkapi buku-buku dan juga disertai gambar-gambar di papan tulis.
Dari cerita dan dongeng yang disampaikan oleh ustadz dan guru-guru, kian berkembang mendengarkan radio dan televisi. Di era tersebut radio-radio siaran swasta  tumbuh berkembang di  kota penulis.  Siaran yang biasanya kita tunggu-tunggu adalah sandiawara radio. Kita lebih meresapi sandiwara radio tersebut karena dibumbui dengan suara musik-musik, suara-suara kuda, benda tajam saliang berbenturan ketika silakon sedang berkelahi dan sebagainya.
Acara televisi yang menarik adalah film-film kartun dan ketika lahir salah satu televisi pendidikan, kita mulai gemar menonton karena ada film-film Bolliwood yang banyak adegan perangnya.  Ada perkembangan yang sangat pesat pada teknologi komunikasi dan informasi, menyebabkan sebuah cerita atau dongeng-dongeng yang pada awalnya diceritakan secara lisan menjadi lebih hidup dengan visual atau audiovisual.
Dengan perkembangan teknologi, cerita atau dongeng tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku-buku. Lebih maju lagi sebuah cerita, dongeng, peristiwa dan kejadian didokumentasikan dalam bentuk digital. Perubahan besar terjadi karena, cerita-cerita tersebut bukan lagi para ustadz, guru atau orang tua, tetapi cerita dalam bentuk  sandiwara radio, film, kartun, animasi dan sebagainya.
Perkembangan yang sangat pesat pada penemuan teknologi terjadi juga pada teknologi komunikasi dan informasi. Kondisi tersebut  melahirkan apa yang disebut sebagai budaya visual. Menurut  Pilliang (2003:151-152) dominasi dunia citraan tersebut telah menciptakan sebuah budaya baru yang disebut budaya visual (visual culture), yaitu sebuah budaya yang bertumpu pada unsur-unsur visual sebagai unsur utama pembentuknya.
Masih menurut Piliang, kondisi tersebut bukan hanya berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga memicu perkembangan ilmu imologi. Suatu keilmuan tentang  komunikasi dan pencitraan. Bagaimana citra atau image dibentuk lebih sempurna dengan peran teknologi informasi. Imu imologi menjadikan media-media seperti televisi, video, internet, satelit dan virtual berperan besar dalam mengkonstruksi pencitraan dan pengemasan. Bahkan media-media tersebut mampu menciptakan animasi-animasi yang dikemas sedemikian rupa hingga seakan-akan menjadi sesuatu yang nyata, meski pada dasarnya adalah semu atau maya.
Definisi lain soal budaya visual disampaikan Sachari (2007). Menurut  Sachari, budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep (nilai) dan kebudayaan materi (benda) yang dapat segera ditangkap oleh indera visual (mata), dan dipahami sebagai model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. (Sachari. 2007:1).
Sachari (2007) menjelaskan bahwa budaya visual tak sekedar pakaian dari sebuah dunia material, namun merupakan sebuah subtansi dari struktur budaya pembentuknya.  Faktor-faktor pembentuknya adalah kreatifitas nilai, inovasi, penciptaan teknologi baru, ideologi, komunikasi, strata sosial, sistem sosial , konflik sosial, globalisasi ekonomi, hingga hal-hal yang mendasar dalam terciptanya suatu peradaban.
Salah satu contoh adalah dalam dunia periklanan yang sangat kapitalistik. Pada pemikiran klasik, iklan melalui media apapun termasuk televisi, fokus utamanya adalah menjual barang dan jasa bukan menghibur. Menurut Horace Schwerin yang dikutip oleh David Ogilvy (1987; 170) tidak ada hubungannya antara rasa suka kepada iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut.  Namun kini, perkataan Schwerin tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur  sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik.
Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi pencitraan itu dilakukan malalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu.  Ini adalah contoh bagaimana teknologi mampu menciptakan theatre of mind dalam dunia kognitif masyarakat.
Pencitraan yang dikonstruksi ini sangat penting dalam mengendalikan kemauan copywriter dan produsen. Dan ketika pencitraan itu dimaknakan oleh pemirsa sebagai kemauan copywriter, maka sesungguhnya terjadi kesadaran palsu terhadap realitas semu yang digambarkan dalam iklan sebagai suatu hiper-realitas.
Pada umumnya pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan. Walaupun tidak jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa pencitraan terhadap satu objek iklan. Pada beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai berikut :
Pertama, citra perempuan yang menurut Tomagola (1998: 333-334), citra perempuan ini digambarkan sebagai citra pigura, citra pilar, citra pinggiran, dan citra pergaulan.  Dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis seperti menstruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut panjang (iklan-iklan sampho) dan sebagainya.  Dengan imologi citra tersebut menjadi sangat kuat dan seakan perempuan  yang sempurna adalah perempuan yang ada dalam iklan.
Kedua, citra maskulin. Iklan-iklan jenis ini mempertontonkan  kejantanan, otot laki-laki, ketengkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian dari citra maskulin.
Ketiga, citra kemewahan dan eksklusif.  Suatu realitas kehidupan yang banyak diidamkan orang adalah kemewahan dan eksklusif. Banyak orang bekerja keras, berjuang bahkan harus korupsi untuk memperoleh realitas kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi memproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud member simbol-simbol kemewahan ke dalam objek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial. Kelima citra kenikmatan, keenam citra manfaat, ketujuh citra persahabatan, dan kedelapan citra seksisme dan seksualitas.  
Perkembangan dalam budaya manusia dalam berkomunikasi untuk kepentingan apapun termasuk iklan  dengan memanfaatkan kemajuan teknologi multimedia  inilah yang disebut digital storytelling.  Citra iklan makin canggih dengan makin beragam produk lewat media  gambar, musik, narasi dan suara secara bersamaan, sehingga memberikan dimensi dan warna yang lebih hidup bagi karakter, situasi, pengalaman, dan realitas tertentu.
Digital Storytelling is the modern expression of the ancient art of storytelling. Digital stories derive their power by weaving images, music, narrative and voice together, thereby giving deep dimension and vivid color to characters, situations, experiences, and insights. Tell your story now digitally” – Leslie Rule, Digital Storytelling Association.
Digital Storytelling meliputi praktik bercerita dengan menggunakan media digital dalam multimedia seperti slideshow, narasi di blog dan media sosial, narasi interaktif dan game, video amatir di Youtube, hingga film yang diproduksi oleh para profesional. Digital Storytelling tidak hanya tentang penceritaan yang dilakukan oleh orang-orang terlatih seperti copywriter, visualizer,  pekerja film, drama, atau media. Digital Storytelling berkaitan dengan literasi visual dan narasi digital yang dilakukan oleh masyarakat berbasis teknologi digital.

Mediasi dan mediatisasi
Mediasi dan Mediatisasi diperkenalkan dalam kajian media sebelum teknologi digital diaplikasikan dalam storytelling. Definisi kedua konsep ini tumpang tindih dan sering diperdebatkan mana yang lebih tepat untuk mengkaji media bagi masyarakat. Mediasi dianggap memiliki definisi yang lebih netral terkait transmisi atau pertukaran pesan melalui media tanpa berhubungan langsung dengan otonomi media atau pengaruhnya bagi masyarakat, sedangkan Mediatisasi lebih memiliki muatan manipulatif dan cenderung digunakan dalam iklan komersial maupun konteks politik.

Mediasi menitikberatkan pada media dan bagaimana terjadi interaksi dan komunikasi melalui media tersebut. Mengkaji terutama transmisi pesan dan aspek semiotik pada media sehingga simbol dalam hubungan antara media sebagai pesan dan penerima pesan dapat dipahami.  Mediasi lebih menyorot aspek “teknis” bagaimana komunikasi berlangsung. Mediasi menyelidiki bagaimana media dapat menyampaikan pesan, bagaimana penerima pesan saling memahami simbol-simbol yang dikomunikasikan oleh media tanpa memandang pengaruhnya.

Mediatisasi berkaitan dengan pengaruh media terhadap khalayak dan bagaimana kemudian khalayak menjadi sangat bergantung pada media. Mediatisasi berkaitan erat dengan hubungan media dan perubahan sosio-kultural dalam masyarakat. Mediatisasi adalah proses sosial dimana masyarakat menjadi jenuh dan terbanjiri oleh media sehingga media dan masyarakat dianggap tidak lagi dapat dipisahkan.

Mediatization is a social process whereby the society is saturated and inundated by the media to the extent that the media cannot longer be thought of separated from other institutions within the society”- Stig Hjarvard

Dengan mediasi dan mediatisasi, kita dapat mengkaji bagaimana masyarakat periklanan dalam televisi mengkonstruksi dan membangun kesadaran palsu melalui digital strorytelling untuk member kesan kuat terhadap produk yang diiklankan. Iklan-iklan berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.





Sumber tulisan
Lundby, Knut. 2008. Digital Storytelling, Mediatized Stories: Self-Representations in New Media. New York, Washinton, D.C./Baltimore, Bern, Frankfurt am Main, Berlin, Brussels, Vienna, Oxford: Peter Lang.
Lundby, Knut. (Ed) (2008). Digital Storytelling, Mediatized Stories: Self-Representations in New Media. New York, Peter Lang Publishing Inc. 2008.
 Piliang, A Yasraf.2003. Hantu-hantu Politik dan matinya Sosial. Solo. Tiga Serangkai.
 Hartley, John dan McWilliam, Kelly. 2009.Story Circle: Digital Storytelling Around the World (ed). West Sussex. Blackwell Publishing.
 Sachari, Agus. 2007.Budaya Visual Indonesia. Jakarta. Penerbit Erlangga.
 Miller, H Carolyn.2008. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to Interactive Entertainment 2nd-ed. Oxford. c.
 Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.


 [1] Mantan Ketum HMI Pustara Periode I, Wasekjen PTKP PB HMI 2006-2008. Direktur Eksekutif Jakarta Studi Center, Pengajar STAI Publisistik Thawalib Jakarta. Mahasiswa Megister Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Jakarta.