Rabu, 14 Oktober 2009

Sejarah Jurnalistik

DELIK PERS DALAM SEJARAH JURNALISTIK

Oleh: Ali Sadikin

A. Sejarah Jurnalistik

Keperluan dan kebutuhan manusia mengetahui akan apa yang sedang terjadi merupakan cikal bakal kelahiran jurnalisme selama berabad-abad. Sejarah jurnalistik dimulai ketika sekitar tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada perwiranya di propinsi-propinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma 2.000 tahun yang lalu zaman Romawi kuno pada masa pemerintahan Cayus Julius Caesar ( 100-44 SM ). Disetiap lapangan terbuka tempat rakyat banyak berkumpul dipancangkan papan tulis putih berisi berbagai pengumuman. Papan tulis putih disebut Forum Romanum. Papan pengumunan tersebut dibagi dua macam. Pertama, Acta Senatus yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna Populi Romawi ( tindakan-tindakan harian rakyat Romawi ), yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-berita lainnya, seperti berita kelahiran dan kematian. Acta Diurna ini merupakan alat propangganda pemerintah Romawi yang memuat berta-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui rakyat banyak.

Jurnalistik atau jurnalisme berasal dari perkataan journ atau journal. Dalam bahasa Perancis berarti catatan harian atau catatan mengenai kegiatan sehari-hari. Journal berasal dari bahasa Latin diurnalis artinya harian atau setiap hari. Kemudian berkembang menjadi perkataan jurnalis yaitu orang-orang yang melakukan kegiatan pencatatan atau pelaporan setiap hari atau disebut melakukan kegiatan jurnalistik. Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencarai fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalistik adalah kegiatan yang menjadikan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya dengan baik. Secara teknis jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya.

Wartawan pertama lahir pada zaman Romawi, dimasa itu wartawan adalah budak-budak belian yang oleh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun dengan tulisan. Para pejabat Roma tersebut sangat membutuhkan berita dan informasi agar selalu mengikuti kejadian-kejadian baik di daerah ketika sedang ada di kota, maupun kejadian di kota Roma ketika sedang bertugas di daerah. Banyak diantara budak atau orang-orang yang diberi tugas sebagai pengumpul berita itu melakukan kerjasama dalam memperoleh berita dan melaporkan kepada orang yang menugaskannya.

Menurut catatan sejarah, surat kabar cetak terbit di Cina pada tahun 911. Namanya King Pau, surat kabar milik pemerintah pada masa Kaisar Quang Soo. Surat kabar ini diterbitkan dengan peraturan khusus dari kaisar. Mula-mula terbit tidak tetap, baru pada tahun 1351 sudah terbit seminggu sekali.Isinya dalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita istana. Terbit tengah hari dengan harga dua cash. Pada tahun 1885 sudah terbit setiap hari dengan tiga edisi.

Di Eropa selama abad pertengahan siaran berita ditulis tangan, jurnalisme itu sendiri baru benar-benar dimulai ketika huruf-huruf lepas untuk percetakan mulai digunakan pada sekitar tahun 1440. Dengan mesin cetak, lembaran-lembaran berita dan pamlet-pamlet dapat dicetak dengan kecepatan tinggi, dalam jumlah yang lebih banyak dan ongkos yang lebih murah. Tetapi tidak begitu jelas kapan surat kabar cetakan pertama terbit dan siapa penerbitnya. Baru pada tahun 1605 Abraham Verhoeven di Antwerpen Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tijdinghen yang berbentuk selebaran. Pada tahun 1617 selebaran tersebut terbit secara teratur yaitu 8-9 hari sekali, tahun 1620 sudah memakai nomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdinghen. Bentuknya seperti buku dari delapan halaman, formatnya kecil seperti format selebaran, judul beritanya panjang-panjang, dibawahnya terdapat kata-kata yang menarik dengan huruf-huruf tebal.

Pada tahun 1629 Nieuwe Tijdinghen berganti nama menjadi Wekelijksche Tijdinghen. Waktu itu masa peralihan dari selebaran menjadi surat kabar. Isinya makin lengkap dengan segala macam peristiwa. Hari terbit dan nomor urut sudah teratur , surat kabar tersebut mempunyai ilustrasi dengan menggunakan klise dari kayu. Isinya sensasi dari pembaca, misalnya peristiwa perampokan, pembunuhan dan sebagainya.

Di Jerman, surat kabar yang pertama terbit adalah pada tahun 1609, di Wolfenbuttel dengan nama Avisa Relation Order Zietung. Juga terbit surat kabar pada tahun yang sama Relations di Strassburg, diterbitkan oleh Johan Carolus. Kemudian menyusul di Belanda terbit surat kabar Courante Uyt Italian en Duytschland pada tahun 1618, diterbitkan oleh Caspar Van Hilten di kota Amsterdam. Curant of General News terbit di Inggris pada tahun 1662, pemerintah Perancis pada tahun 1631 menerbitkan surat kabar Gasette de France. Di Italia surat kabar sudah ada pada tahun 1636, semua surat kabar cetakan tersebut terbit seminggu sekali. Surat kabar abad 17 rata-rata bertiras sekitar 100 sampai 200 eksemplar sekali terbit. Kecuali surat kabar cetak Frankfuter Journal sudah mencapai 1500 eksemplar sekali terbit pada tahun1680.

Surat kabar pertama yang terbit harian adalah Einkommende Zeitung di Liepzig, Jerman pada tahun 1702. Disusul terbit Daily Courant di London yang menjadi surat kabar harian pertama di Inggris yang berhasil diterbitkan. Berkembangan surat kabar menjadi pesat ketika mesin-mesin cetakan baru ditemukan. Mesin yang lebih baik dalam mempercepat produksi koran dengan ongkos yang lebih murah. Juga perkembangan masyarakat Eropa dengan meningkatnya jumlah penduduk yang berpenghasilan besar dan lebih banyak diantara mereka yang belajar membaca akibat revuolusi industri, maka semakin besar pula permintaan akan surat kabar.

Dalam catatan sejarah, surat kabar Di Amerika pada tahun 1883 terbit di New York dengan nama Penny Newspaper, dengan harga satu penny. Penerbitnya adalah Benyamin H Day. Isinya berita pendek yang ditulis dengan huruf hidup, memuat liputan secara rinci tentang berita-berita kepolisian untuk pertama kalinya. Berita human interest dengan biaya murah tersebut menyebabakan sirkulasinya sangat cepat dan luas. Kini di Amerika sebelum krisis ekonomi melanda beredar sekitar 60.000.000 eksemplar harian setiap harinya.

Jurnalisme kini berkembang tumbuh jauh melampaui surat kabar pada awal kelahirannya, majalah mulai berkembang sekitar dua abad yang lalu. Radio komersial dan majalah-majalah berita muncul diatas panggung pada tahun 1920-an. Televisi komersial booming pasca Perang Dunia II. Dan kini Media begitu pesat dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Di Indonesia, aktifitas jurnalistik dapat ditelusuri dari jaman penjajahan Belanda. Bersamaan dengan ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke Asia, terjadi asimilasi budaya dengan segala konsekuensinya, berkembang agama, perilaku, teknologi dan surat kabar pada abad 18 sampai di Hindia Belanda ( belum ada nama Indonesia pada masa itu ). Tepatnya pada tahun 1744, sudah ada surat kabar yang terbit di Jakarta ( dulu bernama Batavia ) dengan nama BataviascheNouvelles diterbitkan dan dalam penguasaan kapitalis Belanda. Pada tahun 1776 dikota yang sama terbit surat kabar Vendu Niews yang kondentrasi pada berita pelelangan, semuanya mengunakan bahasa Belanda. Surat kabar lainnya terbit menyusul sampai dengan abad ke-19, semua dikuasai dan dikelola oleh orang-orang Belanda dan dikonsumsi sebagai bacaan orang-orang Belanda dan sebagian kecil orang pribumi yang telah mendapat pendidikan dan mengerti bahasa Belanda. Jurnalistik tersebut jelas membawa suara pemerintahan kolonial Belanda.

Koran pertama yang terbit sebagai bacaan orang pribumi muncul pada tahun 1854 yaitu Majalah Bianglala, disusul pada tahun 1885 bernama Bromartani, keduanya terbit di Weltevreden. Pada tahun1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.

Abad 20 muncul surat kabar pertama milik bangsa Indonesia, di Bandung dengan nama Medan Prijaji, diterbitkan oleh Tirto Hadisurjo atau Raden Mas Djokomono. Awalnya pada tahun 1907 berbentuk mingguan, baru tahun1910 berubah menjadi terbit harian. Tirto Hadisurjo di anggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalisme modern di Indonesia. Baik dilihat dari cara pemberitaan ataupun pemuatan karangan dan iklan.

Kemerdekaan membawa dampak luas bagi kondisi penerbitan surat kabar di Indonesia, masa awal-awal kemerdekaan 1945, pers kita mengalami apa yang disebut masa bulan madu. Di jakarta dan kota-kota lainnya bermunculan surat kabar baru.Pers kita pada waktu itu disebut sebagai pers perjuangan. Orientasinya adalah bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Tidak ada tugas yang lebih mulia bagi pers kita pada waktu itu selain mengibarkan merah putih setinggi-tingginya.

Pers Indonesia hanyut dalam eforia revolusi dan tergoda oleh dunia politik praktis, ini terjadi pada tahun 1950-an. Meraka banyak memerankan diri sebagai corong dan terompet partai-partai politik besar. Inilah masa ketika pers kita disebut sebagai pers partisan. Pers dengan sadar memilih sebagai juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers diartikan bebas memilih salah satu partai politik sebagai induk semang dan bukan kebebasan untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarakat luas. Pers menjadi sekterian, pers tidak lagi mengabdi pada kebenaran untuk rakyat melainkan pada kemenangan untuk para pejabat partai.

Pasca peristiwa G 30 S, pers Indonesia lebih berorientasi dibidang ekonomi ketimbang politik. Pada masa itu peran partai-partai politik mulai surut dan berkembang embrio ide profesionalisme. Sistem ekonomi yang diterapkan pemerintah setelah tahun 1969 memberi ruang besar dan kuat bagi pasar internasional. Timbul persaingan produk, promosi dan periklanan. Bisnis iklan berkembang dan mimbar promosi lewat iklan tumbuh pesat bagi surat kabar. Sejumlah kecil surat kabar ibukota dan beberapa kota besar di Indonesia berhasil meraih sejumlah besar iklan yang saling mempertarungkan mutu produk dan jasa. Surat kabar dari kelompok tersebut berhasil mengembangkan sampai 12 halaman setiap hari, bahkan kadang-kadang 16-20 halaman, dengan luas iklan komersial sudah mencapai titik ideal, yaitu sekitar 50-60 persen dari seluruh luas halaman.

Beberapa majalah mingguan, dwimingguan dan bulanan, juga berhasil tampil dengan 60 lebih dari 100 halaman sekali terbit, atau hanpir 100 halaman untuk berkala ukuran saku, dengan luas iklan mendekati titik ideal sekitar 30-35 persen dari seluruh halaman. Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, kebebasan pers Indonesia lebih banyak bersinggungan dimensi, unsur, nilai dan roh ekonomi.

Reformasi 1998 telah membawa perubahan besar disegala bidang, terutama perubahan politik. Pers kita juga mengalami eforia, kebebasan pers mengalami perubahan drastis. Departemen Penerangan, malaikat pencabut nyawa pers Indonesia dibubarkan. Undang-undang dan pemerintah baru memberikan ruang seluas-luasnya kepada siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers dan berbentuk badan hukum Indonesia.

B. Seluk Beluk Pers

Banyak definisi pers yang dikemukan para pakar jurnalistik. Pers berasal dari bahasa Belanda yang artinya menekan atau mengepres, dalam bahasa Inggris disebut press yang kurang lebih berarti sama. Secara harifiah pers mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Pengertian secara luas pers bukan hanya merujuk pada kegiatan media cetak berkala tetapi menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik separti radia, televisi dan juga media online internet.

Pers mempunyai filisofi yaitu tata nilai atau prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Falsafah pers disusun berdasarkan sistem politik yang dianut oleh masyarakat dimana pers yang bersangkutan hidup. Masing-masing negara berbeda dalam menerapkan falsafah pers, Amerika misalnya menganut liberlistis ( bukan libertarian, teori ini sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 ), berbeda dengan Cina dan Uni Soviet yang menganut filsafat Komunistis. Soviet berubah ketika dilebur menjadi Rusia pada tahun 1991. Falsafah pers Indonesia sekarang menganut sistem demokratis berbeda dengan Myanmar yang militeristik.

Lebih jelas buku klasik karya tiga guru besar ilmu komunikasi dari Universitas Illinois Amerika Serikat, F. Siebert, T. Peterson dan Wilbur Schramm yang berjudul Four Theories of the Press ( empat teori tentang pers) memaparkan filsafat-filsafat yang menjadi teori pers pada tahun 1956. Melengkapi karya tersebut pada tahun 1980 muncul teori baru tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa yang dipelopori oleh William L.Rivers, Wilbur Schramm dan Clifford G. Christians dalam buku mereka yang berjudul Responsibility in Mass Communication.

Baik Siebert maupun Rivers pada prinsipnya sama mewakili pandangan barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. Ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, negara, kebenaran dan tentang perilaku moral. Bagi Siebert dan kawan-kawan ketiga cara itu menjadi landasan untuk lahirnya empat teori tentang pers atau Four Theories of the Press. Bagi Rivers dan kawan-kawan hal tersebut menjadi konsep dasar untuk mengembangkan teori baru tentang tanggung jawab sosial dalam komunikasi massa. Teori baru Rivers merupakan perkembangan dari teori Libertarian, tetapi dianggap tidak terlalu jauh dengan teori tanggung jawab sosial yang ada dalam empat teori tentang persnya Siebert. Yang perlu dicatat barangkali adalah bahwa penerimaan atas teori Rivers dan kawan-kawan didukung oleh kecurigaan dan ketidakpuasan orang terhadap Libertarianisme dari jurnalisme yang terlalu pers-sentris.

Pandangan normatif Siebert tentang bagaimana media massa berfungsi dalam berbagai tipe masyarakat, asumsi dasarnya adalah bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur sosial dan politik dimana ia beroperasi. Dan berdasarkan sistem sosial dan politik yang berlaku di dunia pada waktu itu maka dikembangkan empat teori tentang pers yang sampai kini pengaruhnya masih sangat besar.

Teori pertama dari Four Theories of the Press adalah Authoritarian Theory ( teori pers otoriter ).Teori ini di akui sebagai yang paling tua dalam sejarah pers yaitu pada abad ke-16, berasal dari filsafat kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Penetapan tentang hal-hal yang benar dipercayakan hanya pada segelintir orang bijaksana yang mampu memimpin. Pendekatan dilakukan dari atas kebawah, pers harus mendukung dan mengabdi pada negara. Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial, maka bagi seorang individu hanya dengan menempatkan diri dibawah kekuasaan negara, individu tersebut dapat mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai seorang beradab.

Kedua, Libertarian Theory ( teori pers bebas ), dan mencapai puncak pada abad 19. Manusia dipandang sebagai mahluk rasional yang dapat membedakan benar dan salah. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat pemerintah. Pers dituntut untuk mengawasi pemerintah. Maka lahir istilah pers sebagai The Fourth Estate atau pilar kekuasaan keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh karenanya pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Upaya mencari kebenaran semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya akan bertahan, dan yang sebaliknya akan lenyap.

Gagasan John Milton tentang proses menemukan sendiri kebenaran ( self righting process ) dan kebebasan menjual gagasan ( free market of ideas ) menjadi sentral dalam teori pers bebas ini. Berdasarkan gagasan Milton pers bebas dikontrol oleh self rigthing process of truth, free market of ideas dan pengadilan. Implikasinya adalah semua gagasan harus memiliki kesempatan yang sama ke semua saluran komunikasi dan setiap orang juga punya akses yang sama pula kesana.

Teori pers bebas pada akhirnya paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Karenanya pers bebas paling banyak memberikan informasi, paling banyak memberikan hiburan dan paling banyak terjual tirasnya. Namun ironisnya pers bebas pada kenyataannya paling sedikit memberikan kebajikan menurut ukuran umum dan paling sedikit mengontrol pemerintah. Pers bebas asik dengan dunianya sendiri dan kurang tertarik dengan kepentingan msyarakat, pers bebas pada akhirnya hanya mengabdi pada keuntungan materi.

Ketiga, Social Responsibility Theory ( teori pers bertanggung jawab sosial ). Teori ini dipandang sebagai modifikasi dua teori sebelumnya. Teori ini dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-prinsip teori bebas pers terlalu menyederhanakan masalah kerena yang menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan ke publik dan dalam versi apa terutama hanyalah pemilik dan operator pers. Ingat power tends to corrupt, absolutly power absolutly corrupts. Pers teori bebas tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertanggung jawab sosial mengatasi kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggung jawab sosial. Pada tahun 1949 formulasi tersebut secara jelas terlihat dalam laporan Commision on The Freedom of the Press yang diketuai oleh Robert Hutchins.

Komisi ini mengajukan 5 syarat untuk pers bertanggung jawab kepada masyarakat. Selanjutnya komisi ini terkenal dengan sebutan Hutchins Commision. 5 Prasyarat tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap dan cerdas dalam kontek yang memberikannya makna ( Media harus akurat ; tidak boleh bohong, harus memisahkan fakta opini, harus melaporkan dengan cara yang memberikan arti secara internasional, dan harus lebih dalam daripada hanya sekedar menyajikan fakta-fakta dan harus melaporkan kebenaran ).
  2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. Dalam arti harus menjadi sarana umum dan memuat gagasan dari manapun meski bertentangan dengan gagasan sendiri.Sebagai dasar pelaporan yang objektif bagi semua pandangan dan kepentingan yang penting, maka media harus dapat mewakilinya, artinya media harus mengidentifikasi sumber informasi sendiri bagi sebuah masyarakat yang bebas.
  3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili kelompok konsituen dan masyarakat. Jika media gagal menyajikan gambaran suatu kelompok sosial dengan benar akibatnya penyesatan. Kebenaran tentang kelompok manapun harus diwakili dan mencakup nilai dan aspirasi mereka, tak terkecuali kelemahan dan sifat buruk suatu kelompok.
  4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai yang ada dalam masyarakat, karena sebagai instrumen pendidikan media harus memikul tanggung jawab untuk menyatakan dan menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan masyarakat.
  5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi yang tersembunyi pada suatu saat, ini berkaitan dengan kebutuhan pendistribusian berita dan opini secara luas.

Melalui jalan yang panjang komisi Hutchins memperjuangkan agar media Amerika lebih memperhatikan kepentingan masyarakat. Meski laporan komisi ini sedikit banyak mempengaruhi pers Amerika dan meramaikan forum-forum diskusi bagaimana seharusnya media bersikap, namun baru pada tahun 1956 pers Amerika mulai meninggalkan prinsip-prinsip teori pers libertarian yang bebas tanpa batas bergeser ke pers yang bertanggung jawab sosial. Ini tahun terbitnya buku Four Theories of the Press, kebebasan pers yang dikehendaki masyarakat Amerika yaitu kebebasan yang selalu dengan syarat terhadap kewajiban pers kepada masyarakat.

Kemudian enam fungsi pers ditetapkan, yakni :

  1. Melayani sistem politik yang memungkinkan informasi, diskusi dan konsiderasi tentang masalah-masalah publik dapat diakses masyarakat.
  2. Memberikan informasi kepada publik untuk memungkinkan publik bertindak bagi kepentingan sendiri.
  3. Melindungi hak-hak individu dengan bertindak sebagai Watchdog ( anjing penjaga ) terhadap pemerintah.
  4. Melayani sistem ekonomi, misalnya dengan mempertemukan pembeli dan penjual melalui media iklan.
  5. Memberikan hiburan ( hanya hiburan yang baik) yang dimaksudkan, jenis apaun hiburan itu.
  6. Memelihara otonomi di bidang finansial agar tidak terjadi ketergantungan kepada kepentingan-kepentingan dan pengaruh tertentu.

Teori pers bertangung jawab sosial memungkinkan dimilikinya tanggung jawab dengan memberikan banyak informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkat kecerdasan. Juga memiliki prinsip-prinsip etika dibelakang cita-cita bahwa pers bukan hanya akan mewakili kelompok masyarakat mayoritas tapi juga memberikan jaminan hak-hak bagi golongan minoritas dan oposisi dapat bersuara lewat medianya. Teori ini banyak digunakan oleh pers di negara-negara dengan sistem politik demokratis dan ketatanegaraannya, dimana rakyatnya telah mencapai tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, sehingga dapat bersuara yang berpengaruh dan menentukan terhadap pejabat-pejabat yang melayani mereka.

Keempat, The Soviet Communist Theory ( teori pers komunis Soviet ), teori ini baru tumbuh dua tahun pasca revolusi Oktober 1907 di Rusia. Akarnya adalah teori pers authoritarian theory. 10 sampai 11 negara yang bergabung dibawah payung kekuasaan Uni Republik Sosialis Soviet dulu menganut teori pers ini. Teori pers ini menopang kehidupan sistem sosialis Soviet Rusia dan memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah. Tidak ada kebebasan pers, yang ada pers pemerintah. Segala sesuatu yang memerlukan keputusan dan penetapan dilakukan oleh pejabat pemerintah.

Ciri-ciri teori pers komunis Soviet sebagai berikut :

  1. Dihilangkannya motif profit pada media.
  2. Menomorduakn topikalitas ( gagasan dan opini yang berkembang di masyarakat ).
  3. Berorientasi pada perkembangan dan perubahan masyarakat dalam rangka mencapai tahap kehidupan komunis.

Selain empat teori pers di atas, ada teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. Teori ini di gagas oleh Denis McQuail dalam tulisanya Uncertainty about the Audience and the Organization of Mass Communications. McQuail mengaitkan teori ini dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri sistem komunikasi yang sudah maju, seperti infrastruktur komunikasi, ketrampilan profesional, sumberdaya produksi dan kultural, audiens yang tersedia. Dan mempunyai ketergantungan pada negara maju untuk teknologinya, skill, dan produk kulturalnya. Ciri negara tersebut tujuan utamanya adalah pembangunan, dengan para politisinya yang berangsur-angsur sadar akan keadaan mereka yang sama. Unsur normatif yang esensi teori pers pembangunan adalah bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan nasional, untuk otonomi dan identitas kebudayaan nasional. Prefensi diberikan kepada teori yang menekankan keterlibatan akar rumput.

Dalil yang digunakan sebagai prinsip-prinsip adalah :

- Pers harus menerima dan melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang positif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional.

- Kebebasan pers harus terbuka bagi pembatasan sesuai dengan prioritas-prioritas ekonomi, kebutuhan pembangunan bagi masyarakat.

- Pers harus memberikan prioritas dalam isinya kepada budaya dan bahasa nasional.

- Pers harus memberikan prioritas dalam berita dan informasi untuk menghubungkan dengan negara-negara berkembang lain yang berdekatan secara geografis, budaya dan politis.

- Para pekerja pers mempunyai tanggung jawab maupun kebebasan dalam tugas menghimpun dan menyebarkan informasinya.

- Negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam, atau membatasi operasi-operasi media pers, penyelenggaraan sensor, pemberian subsidi dan kontrol langsung dibenarkan atas nama demi kepentingan tujuan pembangunan.

Terungkap dalam Michael Kunczik, concepts of journalism, North and South, Fredrich Ebert Stichtung,1988, konsep teori pers pembangunan pada awalnya digagas oleh tokoh pergerakan kemerdekaan Afrika yang juga seorang jurnalis seperti Kwame Nkrumah dari Ghana, pemimpin umum Accra Evening News Jomo Kenyatta dan Julius Nyerere dari Tanzania pada tahun 1960. Kemudian gagasan ini menjadi bahan diskusi di Philipine University of Los Banos, Filipina. Setelah terbentuknya Press Foundation of Asia pada tahun1967, konsep jurnalisme pembangunan menjadi perhatian lebih besar dari negara-negara berkembang . Apalagi setelah DEPTH-News ( Development, Economic, and Population Theme ) pada awal 1970-an menyelenggarakan pelatihan bagi aplikasi jurnalisme pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.

Teori pers partisipan demokratik, McQuail dalam bukunya Mass Communication Teory, mengatakan bahwa teori ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah maju. Lahir sebagai reaksi atas komersialisasi dan monopoli media yang dimiliki oleh swasta. Juga reaksi atas sentralisme birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggung jawab sosial. Ia melihat organisasi siaran publik khususnya, sebagai terlalu paternalistik, elitis, terlalu dekat kekuasaan, terlalu responsif terhadap tekanan-tekanan politis dan ekonomi, terlalu monolitik dan terlalu diprofesionalkan. Teori ini mencerminkan kekecewaan terhadap partai-partai politik yang mapan dan terhadap sistem demokrasi perwakilan yang nampak menjadi tercerabut dari akar rumput asalnya. Intinya pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyarakat politis. Teori ini menyukai keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat dan interaksi.

Teori-teori pers yang ada pada akhirnya menyepakati suatu kesepahaman tentang fungsi pers. Ada banyak literatur yang membahas soal fungsi pers, namun pada dasarnya fungsi utama yang berlaku universal ada lima, fungsi ini dapat ditemukan di semua negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu :

  1. Informasi ( to Inform )
  2. Edukasi ( to educate)
  3. Koreksi ( to influence)
  4. Rekreasi ( to entertain )
  5. Mediasi ( to mediate )

I. Informasi

Fungsi utama pers adalah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kreteria dasar aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimbang, relevan, bermanfaat dan sebagainya.

2. Edukasi

Informasi yang disebarluaskan pers dalam bentuk apapun hendaknya dalam kerangka mendidik. Inilah yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Menurut Wilbur Schramm dalam Men, Messeges and Media (1973 ), ia menegaskan pers bagi masyarakat adalah watcher, teacher and forum ( pengamat, guru dan forum ). Setiap hari pers melaporkan berita, memberi tinjauan atau analisa atas berbagai peristiwa dan kecenderungan yang terjadi, serta berperan mewariskan nilai-nilai luhur universal, nilai dasar nasional, dan kandungan budaya-budaya lokal dari satu generasi ke generasi berikutnya secara estafet. Meski pers juga sebagai lembaga ekonomi yang dituntut berorientasi komersial dalam rangka mencari profit dan keuntungan finansial, tetapi pers sama sekali tidak boleh mengurangi apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya. Pers harus mau dan mampu menjadi guru bangsa.

3.Koreksi

Sebagai pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers harus mengawasi dan mengontrol pemerintah agar kekuasaan mereka tidak korup dan absolut. Loed Acton pujangga Inggris abad 18, menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut maka penyalahgunaannya juga akan absolut. Power tends to corrupt, absolutly power absolutly corrupts.

Dalam negara-negara demokratis pers mengemban fungsi pengawas dan kontrol pemerintah dan masyarakat. Pers harus menyalak ketika melihat penyimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat atau negara, istilahnya watchdog. Pers institusi yang tidak boleh tidur dalam sekejapun. Pers juga sebagai institusi sosial yang harus senatiasa bersikap independen dan menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

4. Rekreasi

Fungsi pers juga menghibur dan memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan juga menyehatkan bagi masyarakat. Hiburan yang disebarluaskan dalam bentuk dan jenis apapun tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.

5. Mediasi

Fungsi pers yang kelima adalah sebagai penghubung atau fasilitator dan mediator. Menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya diseluruh wilayah negara bahkan dunia. Dengan kemampuannya pers menyajikan laporan berita berbagai peristiwa didunia dalam lembaran tertata rapi dan menarik, menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, orang satu dengan peristiwa lain, orang satu dengan orang lain baik lokal, regional, nasional dan internasional dalam waktu yang bersamaan. Mcluhan dalam bukunya Understanding Media (1966) menyimpulkan pers adalah perpanjangan dan perluasan manusia ( the extented of man ).

C. Belenggu Kebebasan Pers.

Pada tanggal 9 September 2003, Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonis penjara lima bulan kepada Karim Paputungan pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka. Karim oleh pengadilan dianggap bersalah melanggar pasal 310 ayat (2) KUHP yang antara lain berbunyi : dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan. Kasus tersebut bermula gara-gara pemuatan foto parodi Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002.

Pers Indonesia juga menangis ketika Pengadilan Jakarta Pusat memerintahkan dilakukan sita jamin atas rumah tinggal Gunawan Muhamad, pemimpin umum majalah Berita dan Tempo dan juga atas kantor Majalah Tempo. Rumah Gunawan disita jamin merespon pengaduan Tomy Winata bos Grup Artha Graha. Jangan sampai Republik ini jatuh ke tangan preman, pernyataan gunawan tersebut dianggap Tomy sebagai pencemaran nama baik. Kantor Majalah Tempo disita jamin untuk menindaklanjuti vonis terhadap Pemimpin Redaksi Tempo, Bambang Harimukti dan dua wartawan Tempo, Ahmad Taufik dan Tengku Iskandar Ali, yang diadukan Tomy atas tuduhan pemuatan berita bohong Majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tanah Abang (3-9 Maret 2003 ). Gunawan juga dianggap bersalah melanggar pasal 310 ayat (2).

Lebih mengenaskan lagi adalah nasib kedua wartawan Tempo, mereka didakwa telah melanggar pasal XIV ayat (1) dan (2) UU No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP. Ancaman hukuman untuk pelanggaran tersebut maksimal 10 tahun. Kedua wartawan itu juga didakwa melanggar pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan.

Kedua kasus tersebut menunjukkan kepada kita, meskipun kebebasan pers Indonesia dijamin oleh konstitusi maupun undang-undang, namun pada pelaksanaannya masih mengalami hambatan. Hal tersebut terjadi pertama, produk-produk hukum kolonial peninggalan Belanda yang sampai sekarang masih dipergunakan di Indonesia. Kedua, sikap sebagian besar para hakim kita tidak memiliki semangat inovatif yang diperlukan untuk membangun hukum yang lebih maju melalui keputusan-keputusannya.

Padahal dengan dikeluarkannya UU Pers No. 40/1999 dan diperkuat Amandemen ke-2 UUD’45, seharusnya pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut kinerja pers hendaknya tidak lagi dikenakan pasal-pasal KUHP yang berjiwa kolonial, harusnya hakim dapat mempelopori ke arah itu dengan menjatuhkan sanksi-sanksi yang didasarkan UU Pers saja. Dan keputusan hakim semacam ini bisa dijadikan sebagai preseden hukum yang ideal yang mengarah kepada yurisprudensi ( keputusan hakim yang sudah mendapat kekuatan hukum yang tetap yang dapat dipakai hakim-hakim lain untuk dasar pengambilan putusan dalamsuatu perkara ).

Sedangkan kita tahu pemerintah kolonial Belanda merancang pasal-pasal KUHP delik pers itu bukan untuk melindungi kemerdekaan pers, tetapi untuk memenjarakan siapa saja yang berani mengkritik pemerintah. Dengan adanya UU Pers No. 40/1999 seharusnya menjadi lex specialis, sehingga sesuai dengan asas hukum lex specialis derogate lex generalis, maka UU Pers ini dapat menyampingkan undang-undang lainnya sepanjang menyangkut delik pers. Kemajuan hukum semacam inilah yang sebenarnya didambakan oleh bangsa ini, sehingga hukum yang bercita-cita menegakkan keadilan bisa di capai. Bagaimana dengan RUU Rahasia Negara ?

D. Hukum dan Etika Pers

Dalam sistem hukum yang normal di suatu negara terdapat sembilan komponen hukum yang harus diperhatikan dan berjalan simultan : masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, ilmu hukum, konsep hukum, pembentukan hukum, penerapan hukum dan evaluasi hukum. Hal ini berlaku bagi semua unsur masyarakat pada sebuah negara termasuk dunia pers. Ruang lingkup hukum dan panduan normatif etika pers harus menjadi pengetahuan, penghayatan, pengamalan para jurnalis dan praktisi bisnis media massa.

Kasus delik pers yang dialami insan pers Indonesia sudah terjadi sejak kelahiran pers itu sendiri, dari zaman kolonial Belanda, pemerintahan Orde Lama, Orde Baru bahkan di masa sekarang masa keterbukaan politik dan demokrasi. Hal ini sangat menyita pikiran, waktu dan biaya. Langkah preventif harus dikuasai dengan baik bagi semua pekerja pers. Cara yang paling baik adalah dengan tidak melakukan aktifitas jurnalistik yang dapat menjerat mereka dalam perkara hukum dan etika pers. Kalaupun terpaksa melakukan langkah kuratif, maka harus diperjuangkan jangan sampai wartawan, reporter dan editor terkena vonis hukum dan harus mendekam dalam penjara.

Sejarah hukum itu sendiri sudah ada sejak zaman jauh sebelum Masehi ( SM ). Literatur yang ada mencatat pada tahun 1.800 SM, Raja Babilonia Cammurabi telah menggunakan undang-undang untuk menyelesaikan pertentangan ras Babilonia Utara dengan Babilonia Selatan dan menyatukan menjadi satu Babilonia. Code Cammurabi kemudian dikenal sebagai undang-undang tertua dalam sejarah peradaban manusia.

Namun pemikiran tentang hukum baru mendapatkan akarnya pada zaman Yunani, pada abad kelima sebelum Masehi. Milite, bagian jajahan Yunani tempat kelahiran pemikiran ini. Socrates, Plato dan murid terbesarnya Aristoteles serta Epicurus adalah empat nama besar pemikir hukum dan negara yang tercatat sepanjang sejarah tersebut. Inti pemikiran mereka adalah masalah-masalah kewajiban dan keharusan negara, keharusan adanya hukum dan negara, hukum dan keadilan. Negara diadakan untuk memberi keadilan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan jukum keadilan itu harus diwujudkan negara.

Hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku ( ethical control ) dalam segala sistem kehidupan bernegara termasuk juga terhadap sistem komunikasi. Wujudnya adalah norma, dan merupakan produk kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.Hukum merupakan perintah searah dari penguasa ( law as a command of the law giver ) menurut paradigma hukum cybernetics. Masyarakat harus taat dan tidak dapat menyimpang dari apa yang sudah digariskan hukum, karena penyimpangan adalah mengakibatkan sanksi hukum. Hakekat sanksi hukum adalah paksaan untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah hukum, dalam sistem ini masyarakat dianggap hanya satu pilihan yaitu taat pada perintah.

Paul Bohannan, mengatakan sanksi merupakan perangkat yang mengatur bagaimana perangkat-perangkat hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial yang memungkinkan masyarakat hidup dalam sistem ini secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan. Kaidah hukum sebagai salah satu jenis kaidah sosial membutuhkan sanksi sebagai unsur yang ensesial.Sanksi yang berasal dari luar diri manusia atau eksternal merupakan unsur ensesial dari kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Sanksi sifatnya dipaksakan oleh otoritas atau aparat negara yang melaksanakan penegakkan hukum.

Sanksi membuat tujuan hukum diharapkan dapat tercapai. Marwan Mas mengatakan keberadaan hukum dalam masyarakat sebenarnya tidak hanya sebagai sarana menertibkan kehidupan masyarakat tetapi juga sarana yang mampu mengubah pola pokir dan perilaku masyarakat. Jika praktik hukum tidak mampu mencapai tujuan hukum, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan pudar.

Cicero, fisuf yang hidup pada masa abad satu sebelum Masehi melontarkan adigium Ubi societes, ubi ius, tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat. Ungkapan ini kemudian menjadi sangat terkenal dan secara sederhana memberi gambaran lengkap tentang hubungan hukum dengan masyarakat. Hukum dibentuk oleh , dan diberlakukan untuk masyarakat, hukum diadakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Artinya tidak ada seorangpun yang kebal hukum, tak terkecuali wartawan. Setiap orang berkedudukan sama dimata hukum. Prinsip hukum ini harus dipahami dengan baik oleh para jurnalis, wartawan, reporter, editor dan penerbit media massa.

Pers adalah pemegang kekuasaan keempat, namun seperti yang ditegaskan Oemar Seno Adji dalam Mass Media dan Hukum, kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat, bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari ekspresion yang dikemukakan negara-negara sosialis.Kebebasan bukan tanpa batas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya.

Kebebasan pers merupakan kebebasan dengan batas-batas tertentu dalam sebuah lingkungan, syarat-syarat limitatif dan demokrasi, seperti hukum nasional, internasional dan ilmu hukum. Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban-kewajiban.

Dalam kehidupan masyarakat selain ada hukum tertulis yang bersifat memaksa, terdapat pula peraturan-peraturan tidak tertulis sebagai hasil kesepakatan-kesepakatan antar masyarakat yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, peraturan ini disebut etika. Kalau hukum sifatnya memaksa, etika lebih bersandar pada hati nurani setiap individu. Banyak perbedaan antara hukum dan etika yang telah dijabarkan para ahli dan pakar. Antara lain :

  1. Hukum memberikan putusan hukumnya perbuatan, etika memberikan penilaian baik dan buruknya. Putusan hukum menetapkan boleh tidaknya suatu perbuatan dengan sanksi-sanksi kepada pelakunya, sementara etika lebih pada penilaian perbuatan baik akan mengantar kebahagiaan, perbuatan buruk mengantar seseorang pada kehinaan atau pemderitaan.
  2. Jangkauan hukum masyarakat luas sebagai mahluk sosial, etika lebih pada manusia sebagai individu.
  3. Penulisan dan penyusunan hukum lebih sistematis dalam kitab undang-undang ( kodifikasi ), maka norma hukum memiliki kepastian lebih besar dan objaktif. Sementara etika bersifat subjektif dan selalu berubah mengalami asimilasi mana yang harus dianggap etis atau tidak.
  4. Hukum mengatur tingkah laku lahiriah, etika lebih bersandar pada hati nurani atau sikap batin seseorang.
  5. Sanksi hukum memaksa, orang melanggar hukum akan terkena hukuman. Sedang etika tidak memaksa atau dipaksakan, karena bagaimanapun memaksa etika kepada masyarakat tidak akan efektif karena hanya akan menyentuh bagian luar, sementara perbuatan etis justru dari dalam. Sanksi etika dan moral lebih pada hati nurani yang tidak merasa tenang karena menuduh sipelaku tentang perbuatan yang tidak atau kurang baik.
  6. Hukum berdasar atas kehendak masyarakat, dan akhirnya menjadi kehendak negara, baik cara otoriter atau demokratis masyarakat dapat mengubah hukum. Tetapi norma etis tidak bisa diubah atau dibatalkan, masalah etika tidak dapat diputuskan hanya dengan suara terbanyak.

Filsuf S. Jack Odel menegaskan, prinsip-prinsip etika syarat wajib bagi kehidupan komunitas sosial. Tanpa itu mustahil manusia dapat hidup harmonis tanpa ketakutan, kecemasan, kekecewaan, keputusasaan, ketidakpastian dan pengertian. Etika membedakan manusia dengan hewan. Jika hewan hidup dengan insting maka manusia hidup dengan akal, karena etika tumbuh dari dalam akal.

Namun etika bukan obat mujarab yang dapat menyelesaikan persoalan praktis baik individu atau kolektif tetapi tanpa sistem etika yang jelas kita tidak bisa memilih dan bertindak secara rasional. Teori etika memberi pertimbangan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan, jelasnya etika mengarahkan kita pada pertimbangan yang relevan, alasan-alasan kebenaran, kekeliruan suatu tindakan.

Richard De George dan Karen Lebacqz dalam bukunya Business Ethics mrnjelaskan, manusia cenderung mengambil pola dan tindakan dengan cara tertentu, kecenderungan ini ditinjau secara kolektif dan disebut karakter. Seseorang yang kebiasaanya cenderung bertindak secara moral sebagai mana mestinya dianggap memiliki karakter yang baik. Jika mampu bertahan pada godaan yang kuat, misalnya tahta, harta dan wanita maka berarti ia memiliki karakter yang kuat. Sebaliknya jika seorang individu biasa bertindak secara tidak bermoral dan walau dengan niat baik tapi sering terjatuh oleh godaan, maka dianggap individu tersebut berkarakter buruk. Karena karakter dibentuk oleh tindakan sadar, pada umumnya orang bertanggung jawab sendiri secara moral atas karakter dan perbuatannya. Pada akhirnya persoalan etika dan penerapannya pada kehidupan kita akan menyimpulkan siapa diri kita.

E. Delik Pers.

Delik berasal dari perkataan Belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Pers adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media cetak, tapi saat ini mencakup semua media baik cetak, elektronik maupun online internet. Delik yang berlaku umum yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP atau undang-undang lainnya yang menyangkut hal penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah, kesusilaan, pelecehan agama, keamanan negara, kabar bohong. Tidak ada hal khusus dalam delik ini, namun karena pelanggaran delik tersebut dilakukan oleh pers maka tindak pidana itu dikatakan delik pers. Delik pers sebenarnya bukan merupakan terminologi hukum, tetapi hanya sebutan atau konvensi dikalangan masyarakat, khususnya praktisi dan pengamat hukum.

Menurut ahli hukum delik pers adalah setiap pengumuman dan atau menyebarluaskan pikiran melalui penerbitan pers, terdapat tiga kreteria yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melaui pers dapat digolongkan sebagai delik pers :

  1. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan.
  2. Merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
  3. Harus dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan, jadi unsur terpenting adalah publikasi.

Masih terdapat dua unsur lagi yang harus dipenuhi supaya seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawaban dan dituntut secara hukum, yaitu :

  1. Wartawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya isi berita dan tulisan dimaksud.
  2. Wartawan bersangkutan sadar sepenuhnya bahwa tulisan yang dimuat dapat dipidana.

Jika kedua unsur tersebut tidak terpenuhi, maka wartawan tidak dapat dituntut atau diminta pertanggungjawabannya secara hukum.

Menurut Mr. D. Hazewinkel Suringa dalam Inleiding tot de studie van het Strafrecht mengatkan delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi pers, lebih lanjut Suringa menjelaskan delik pers adalah delik yang bisa mendatangkan kerugian pada seseorang, masyarakat, negara atau pemerintah. Penekanannya dalam hal ini adalah pihak yang melakukan dan pihak yang dirugikan bisa siapa saja atau apa saja, orang atau lembaga, asalkan perbuatannya bisa dipidana.

Delik Pers terdapat padanannya dalam bahasa Inggris yakni libel. The New Webster Dictionary mengartikan sebagai a malicious writing or respresentation which brings its object into contempt or exposes him to public derision ( tulisan atau pernyataan jahat yang menyebabkan objeknya berada dalam keadaan hina atau menyebabkan dia menjadi cemooh publik ). Dalam kamus Inggris yang lain libel diartikan sebagai any written, printed, or pictorial statement that demages a person by defaming his character or exposing him to ridicule ( pernyataan apapun melalui tulisan, barang cetakan atau gambar yang merugikan seseorang seseorang dengan mencemarkan nama baiknya atau membuatnya menjadi bahan ejekan ).

Dalam konteks hukum kita definisi Suringa lebih tepat karena sifatnya lebih luas.Delik pers dan libel ada perbedaan secara prinsip menyangkut perbedaan tujuannya. Hukum yang menyangkut libel berasal dari barat dengan sistem politiknya bersifat liberal maka tujuan utamanya adalah melindungi individu-individu warganegaranya. Sementara hukum yang menyangkut delik pers dibentuk pada masa pemerintahan kolonial Belanda bertujuan selain melindungi warganegara tetapi juga bertujuan melindungi kekuasaan penjajah. Karena pada waktu itu banyak pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia sering menyampaikan pikiran, gagasan, pendapat dan kritikan terhadap pemerintah kolonial melalui tulisan-tulisan di surat kabar.

Delik pers terdiri dari dua jenis, delik aduan dan delik biasa. Kasus pers baru akan muncul hanyalah apabila ada pihak yang mengadukannya kepada pihak kepolisian akibat pemberitaan pers, ini disebut delik pers aduan. Delik ini mengatur pelanggaran pidana pers kepada orang perorangan, diatur salam pasal-pasal 310 sampai pasal 315 KUHP. Pasal 310 KUHP,misalnya berbunyi : (1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Bila hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Contoh kasus delik ini adalah kasus Karim Paputungan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka gara-gara memuat foto parodi Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Jaksa menuntut Karim dengan Pasal 310 ayat (2) KUHPdan hakim Pengadilan Jakarta Selatan pada tanggal 9 September 2003 menjatuhkan vonis lima bulan penjara.

Sementara delik biasa berarti kasus pers tersebut muncul dengan sendirinya tanpa didahului dengan munculnya pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan pers.Delik biasa terutama berkaitan dengan lembaga kepresidenan, artinya tanpa pengaduan dari pihak manapun, kalau suatu pemberitaan pers dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, maka aparat kepolisian secara otomatis akan memproses secara hukum. Karena kejahatan terhadap martabat Presiden atau Wakil Presiden menyangkut martabat negara, sehingga demi kepentingan umum perbuatan penghinaan tersebut perlu ditindak tanpa memerlukan pengaduan.

Contoh kasus paling aktual adalah diadukannya penanggung jawab Harian Rakyat Merdeka ke Pengadilan Jakarta Selatan dengan tuduhan telah menyerang kehormatan Presiden Megawati. Dalam tuntutannya Jaksa menggunakan Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, subsider melanggar Pasal 137 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Delik pers biasa yang juga terdapat dalam KUHP adalah menyangkut membocorkan rahasia negara (pasal 322 KUHP), penghinaan kepada kepala negara sahabat (pasal 144 KUHP), menodai bendera dan lambang negara (pasal 154a KUHP), penodaan terhadap agama (pasal 156a KUHP), menghasut supaya orang melakukan perbuatan pidana atau kekerasan terhadap penguasa (pasal 160 KUHP), menghina penguasa dan badan hukum (pasal 207 KUHP), melanggar kesusilaan/pornografi (pasal 282 KUHP).

Selain dalam pasal-pasal KUHP masih ada ketentuan menyangkut delik pers, yaitu pasal 1 ayat (3) Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang mencetak barang cetakan yang terlarang. Pasal 19 UU No. 21 tahun 1982 serta pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946 tentang penyiaran kabar bohong dan kabar-kabat tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran.

Semua pasal-pasal tersebut dianggap kalangan pakar, pengamat, dan praktisi pers sebagai proses sistematis kearah kriminalisasi pers.Seharusnya pasal yang menyangkut delik pers dalam KUHP tidak diberlakukan lagi karena UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang mengatur kehidupan pers merupakan lex specialis, sehingga sudah sepatutnya undang-undang inilah yang mengatur kehidupan pers.Apalagi Amandemen ke-2 UUD ‘ 45 menjamin secara lebih rinci hak-hak kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat.

F. Media Baru dan Regulasi yang Kedodoran.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat memunculkan fenomena media baru. Straubhaar dalam bukunya New Media ( 2009 ) menunjukkan kehadiran teknologi multimedia. Teknologi inilah yang memungkinkan terjadinya konvergensi teknologi media, telekomunikasi dan komputer. Perkembangan inin bukan hanya menantang produk dan layanan yang sudah ada dipasar, teknologi ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Termasuk dalam pola konsumsi media, seperti beralihnya pembaca surat kabar cetak ke media online internet.

Media baru ini bukan hanya lebih mudah diakses tetapi juga murah serta cepat karena dapat diakses lewat telepon seluler. Dari data yang dirilis Newspaper Association of Amerika pada tahun 2008, terjadi kenaikan pengunjung surat kabar online 12,1 persen. Tahun 2007 jumlah pengunjung 60 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi 67,3 juta. Situs surat kabar nama besar yang paling banyak diakses, seperti The New York times, USA Today, The Washington Post.

Tahun 2005 Philip Mayer membuat pernyataan bahwa media cetak akan mati pada tahun 2042. Semua praktisi pers merasa terancam dengan pernyataan ini, namun hal ini dibantah oleh Rupert Murdock dan Noam Chomsky. Hal tersebut tidak akan terjadi asal media cetak menghentikan arogansinya dan memberikan perhatian kepada kebutuhan masyarakat khususnya anak muda dan tidak bersikukuh dengan kelebihan-kelebihan yang dimilki.

Ninok Leksono redaktur Harian Kompas mengatakan menghadapi fenomena ini, pertama, perilaku manajemen pers harus mengubah orientasi bisnis yang semula, misalnya didominasi media cetak atau radio, televisi, online saja, kedepan tidak dapat dipisah-pisahkan. CEO media harus berfikir bisnis multimedia dan manajemen mengkonvergensikan divisi bisnis medianya. Kedua, perilaku sumber daya manusia muali dari distribusi sampai redaksi juga dituntut berubah, karena jurnalis new media tuntutan deadline bukan lagi menjelang koran akan dicetak tetapi continuous deadline. Ketiga, kecepatan dan akurasi berita. Dibutuhkan kecepatan berita yang juga didukung akurasinya.

Prof. Sasa Djuarsa. Phd dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap FISIP UI, mengatakan perkembangan media baru akan membawa perubahan besar terhadap pola dan perilaku komunikasi masyarakat dalm konteks kehidupan individual, sosial budaya, ekonomi, bisnis dan politik. Maka diperlukan penataan kembali kebijakan dan regulasi komunikasi nasional, terobosan baru dengan cara konvergensi didua bidang hukum dan kelembagaan.

Konvergensi dibidang hukum adalah dengan mengintegrasikan berbagai produk hukum dan peraturan yang ada kedalam satu kesatuan produk hukum yang komprehensif dan terpadu untuk menghilangkan adanya ketidakkonsistenan dan ketidakselarasan regulasi akibat tumpang tindihnya produk hukum kita. Perlu dicatat produk-produk hukum yang telah ada adalah UU Pers, UU Penyiaran, UU Telekomunikasi dan juga UU ITE yang telah memakan korban seorang ibu rumah tangga, belum lagi RUU Rahasia Negara yang sedang digodok di DPR. Dibidang kelembagaan adalah dengan cara mengitegrasikan lembaga dan instansi negara yang mengatur bidang komunikasi dan lembaga menjadi satu lembaga.

Memang Menkominfo M Nuh mengatakan akan menggabungkan tiga produk undang-undang yang ada yaitu UU Pers, UU Penyiaran dan UU telekomunikasi dalam menghadapi era media baru. Tantangan yang harus dihadapi insan pers ke depan kelihatanya makin berat dan kompleks, mengingat UU Pers No. 40 Tahun 1999 masih diabaikan oleh para penegak hukum kita terutama dalam kasus-kasus pelanggaran pers atau delik pers, juga UU ITE yang kontroversial ditambah RUU Rahasia Negara.

Khusus soal, RUU Rahasia Negara terdapat banyak pasal yang dalam praktiknya nanti akan lebih membebani subjek hukum, dalam hal ini masyarakat, ketimbang pemerintah. Dalam sejumlah pasalnya dimungkinkan seorang atau korporasi dijatuhi hukuman pidana atau denda berat lantaran sekedar menerima atau memperoleh sesuatu yang dikategorikan rahasia negara. Wartawan atau media massa dengan hanya mendapatkan informasi berkategori rahasia negara saja tanpa perlu mempublikasikannya, bisa dipidana dengan RUU RN itu. Namun pengelola rahasia negara hampir tidak kena masalah. Kalangan pers sebenarnya sudah kaya pengalaman jika berurusan dengan pemerintah dalam kasus seperti ini. Pada masa Orde Baru, dalam UU Pokok Pers tidak ada yang namanya bredel. Tetapi dalam PP atau Peraturan Menteri, SIUPP bisa dicabut. Hal serupa bisa terjadi pada RUU RN, dimana keberadaan aturan perundang-undangan menjadi tidak berdaya dan justru dilemahkan oleh sebuah PP.

Hal tersebut menyadarkan kita bahwa pemerintah masih belum berubah watak kekuasaannya. Kebebasan pers kembali terancam. Dalam hal perkembangan multimedia menyongsong era media baru pemerintah seperti gagap merespon. Sampai saat ini belum ada produk hukum yang konprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari pengaruh negatif kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi dan memberi kepastian hukum dalam industri media baru.

Daftar Pustaka

Sumadiria, AS Haris. 2008. Jurnalistik Indonesia – Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Kusumaningrat, Hikmat. Kusumaningrat, Purnama. 2007. Jurnalistik – Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Kompas, 28 Juni 2009, hlm 1-15. “ Pelajaran di Tengah Prahara.”

Kompas, 30 Juni 2009, hlm 7. “ Strategi 3 M, Sebuah Keniscayaan.”

Kompas, 30 Juni 2009, hlm 11. “ Publik Harus Waspada- Jangan Sampai Kontroversi UU ITE Terulang pada RUU RN.”

Tempointeraktif.com, 28 Desember 2008. Era Media Baru Sudah di Depan Mata.

Mediaindo.co.id, 28 November 2007. Rektor UI Kukuhkan Dua Guru Besar.

Kabarindonesia.com, 18 Desember 2007. Sikapi Konvergensi Media, Pemerintah Akan Gabungkan 3 UU.